Senin, 06 Juni 2016

TA’ARULD WA TARJIH



JUDUL      : TA’ARULD WA TARJIH
PENULIS  : AHMAD ADABY A.R


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ilmu ushul fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istimbat hukum dalam islam. Itulah ebabnya tidak mengherankan jika dalm pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu inidimasukan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dapat dikatakan untuk enjaga agar proses ijtihad dan istimbad tetap berada dalam korido yang semestinya atau tidak menyalahi peraturan-peraturan dalam islam.
Meskipun demikian ada satu faktor yang tidak dapat dipungkiri bahwa pebguasaan ilmu ushul fiqh tidaklah mudah serta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istimbad para mujtahid. Disamping faktor eksternal ushul fiqh itu sendiri seperi penentuan dalam keshahihanya. Sedangkan internal ushul fiqh sendiri pada bagian masalahnya mengalami perdebatan dikalangan para ushuluyyin. Dan kemudian muncullah ilmu-ilmu seperti tentang ta’arudh dan tarjih yang akan dipaparkan dimakalah ini.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian ta’aruld wa tarjih?
2.      Bagaimana contoh dari ta’aruid wa tarjih?
3.      Bagaimana prosedur dari ta’ruld wa tarjih?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ta’aruld wa tarjih
Kata ta’aruld secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Sedangakan menurut istilah, seperti yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.[1]
Adapun menurut para ulama’ memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’aruld, diantaranya:
1.      Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’aruld, adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu.
2.      Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dab At-Taftazani, ta’aruld adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
3.      Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’aruld adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.[2]
Pada dasarnya, seperti yang ditegaskan oleh Wahbah Zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan Rasulnya. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’aruld  antara dua atau bebebrapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangkan pikir ini, maka ta’aruld mungkin terjadi baik pada dalil-dalil yang qath’i, maupun dalil yang zhanni. [3]
Begitu pun Imam Asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qathi’ (di anggap kebenaranya) maupun pada dalil yang zhanni (kebenaran di anggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya. Misalnya Al-Qur’an dengan Hadist Ahad, maka yang diambil adalah Al-Qur’an.[4]
Tarjih secara bahasa (etimologi) berarti “menguatkan”, atau membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Sedangkan secara istilah (terminologi), ada beberapa definisi dari ulama ushul fiqh yaitu
1.      Menurut Ulama Hanafiyah, “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.” Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sedeajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukung.
2.      Menurut Jumhur Ulama, “menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.” Maksudnya jumhur ulama mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qathi. Juga tidak termasuk antar yang qath’i dengan yang zhanni.[5]
3.      Menurut al-Baidawi, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk diamalkan.[6]
Para ulama’ sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Diantara alasanya, para sahabat dalam banyak kasus telah melakukan pen-tarjih-an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para sahabat lebih menguatkan hadist yang dikeluarkan oleh Siti Aisyah tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu alat vital lelaki maupun lata vital perempuan (H.R. Muslim dan Turmudzi), dari pada hadist yang diterima dari Abu Hurairoh, “Air berasal dari air”. (H.R. Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban).[7]
Dari definisi itu diketahui bahwa dua dalil yang bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah sama-sama zhanni . berbeda dengan itu menurut kalangan Hanafiyah, dua dalil yang bertentangan yang akan di tarjih salah satunya itu bisa jadi sama-sama qathi, atau sama-sama zhanni. Oleh sebab itu, mereka mendefinisikan tarjih sebagai upaya mencari keunggulan salah satudari dua dalil yang sma atas yang lain. Dlam definisi itu tidak dibatasi dengan dua dalil yang Zhanni saja.[8]
Jadi ta’aruld wa Tarjih adalah kontradiksi antara dua nash dan memenangkan salah satu antara dua dalil.
Jika terdpat dua nash yang kontradiktif menurut arti lahirnya, maka harus di adakan pembahasan untuk memadukan keduannya dengan cara-cara memadukan yang shahih. Jika tidak mungkin maka harus diadakan pembahasan dan ijtihad untuk memenangkan salah satunya dengan cara memenangkan dalil. Jika keduanya tidak mungkin dipadukan dan tidak mungkin dipadukan dan tidak mungkin dipadukan salah satu tetapi diketahui waktu datangnya lebih akhir menasakh yang lebih dulu. Dan jika tidak diketahui waktu turunya, maka pelaksanaan keduanya mauquf (dihentikan).[9]
            Kontradiksi antara dua dalil syara’ itu tidak terjadi kecuali kedua dalil itu sama kuatnya. Jika salah satunya lebih kuat, maka hukum yang diikuti adalah yang dituntutoleh dalil yang lebih kuat, tidak perlu memperhatikaan lawannya yang dituntut oleh dalil yang lain. Atas keterangan ini, maka tidak terjadi kontrakdiksi antara nash yang pasti dan nash yang dugaan dan tidak terjadi pula antara nash, ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu mungkin terjadi antara dua ayat, dua hadist mutawatir, anara ayat dengan hadist mutawatir, dua hadist yang tidak mutawatir atau antara dua qias.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak ada kontradiksi yang hakiki antara dua ayat, antara dua hadist shahih atau antara ayat dengan hadist shahih. Jika tampak kontradiksi antara dua nash diantara nash-nash ini, maka kontrakdiksi itu hanya pada lahirnya saja, yang tampak menurut pandangan kita, dan bukan kontradiksi yang hakiki. Karena syari’ yang Maha Esa dan Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan satu dalil yang menuntut suatu hukum dalam suatu kejadian dan juga mengeluarkan dalil lain yang menuntut suatu hukum dalam kejadian yang sama, yang sama hukum itu berlawanan dengan hukum pertama dalam waktu yang bersamaan.
Jika terdapat dua nash yang lahirnya terdapat kontradiksi maka harus berijtihad untuk mengalihkan keduanya dari makna lahir. Keduanya tidak diartikan secara hakiki adalah demi mensucikan Dzat Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha bijakasana dari kontradiksi dari perundangannya . jika mungkin untuk menghilangkan kontradiksi lahir antara kedua nash dengan jlan memandukanya, maka harus dipadukan dan keduanya harus diamalkan. Paduan ini adalah sebagai penjelasan, karena hakikatnya tidak ada kontradiksi antara keduanya.[10]
B.     Contoh Ta’aruld wa tarjih
Contoh dari Ta’aruldwatarjihadalah :
1.      Firman Allah Swt
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن  ترك جيرا الوصية للولدين والأقربين بالمعرف  حقا على المتقين
                        Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kirabatnya yang makruf. (QS. al-Baqarah:180)
Dan firman Allah Swt
                        وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن
                        Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS. an-Nisaa’: 11) sampai akhor ayat waris
                        Ayat pertama mewajibkan kepada muwarist (yang mewaristkan) jika telah mendekati kematian untuk berwasiat tentang hartanya kepada kedua orang tua dan kerabatnya yang makruf. Sedangkan ayat kedua mewajibkan hak bagian warist bagi masing-masing orang tua, anak dan kerabat dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewaristkan. Kedu ayat ini lahirnya bertentangan dan mungkin memadukan diantara keduanya yang dimaksud pada ayat dalam surat al-Baqarah adalah orang tua dan kerabat yang terhalang mendapat bagian waris, misalnya karena berbeda agama.

2.      Firman Allah Swt
والذ يتوفون منكم ويدرورن ازواجا يتر بصن با نفسهن اربعة  اشهر وعشرا

Artinya: “orang-orag yang meninggal diantaramu dengan tidak meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari ...(QS. al-Baqarah: 234)
Dan firman Allah Swt.:
.     واولات اللأ حمال أ جلهن أنيضعن حلهن
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah samapi mereka melahirkan kandungannya. (Qs. at Thalaq: 4)
Mungkin memadukan kedua ayat ini dengan pengertian bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya beriddah dengan waktu yang paling lama, jika melahirkan kandunganya sebelum masa empat bulan sepuluh hari sejak waktu kematian suaminya, maka menunggu sampai empat bulan sepuluh hari, jika telah lewat empat bulan sepuluh haridan belum melahirkan kandunganya.[11]
3.      Hadist
Hadist pertama:

Dari Ibn Abbas bahwa ia pernah berkata: “Rasulallah Saw telah menikah dengan Maimunah, sedang Nabi Saw dalam keadaan ihram haji”. (HR. Muslim)
Hadist kedua:
     
      Dari Yazid Ibn Al-Asham, ia berkata: “Maimunah binti Al-Harist telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulallah Saw nikah dengan dia, sedang beliau dalam halal (tidak dalam ibadah haji)”. (HR. Muslim)
      Dari dua riwayar tersebut kelihatannya bertentangan, pada riwayat hadist pertama, Nabi menikah dalam keadaan ihram haji, sedangkan pada hadist kedua, beliau menikah sedang tidak menjalani ibadah haji.[12]

C.     Prosedur Ta’aruld wa tarjih
Menurut kalangan Syafi’iyah. Seperti yang dijelaskan Wahbah Zuhaili, jika terjadi ta’arud antara dua dalil, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:
a.       Denganmengkompromikanantaraduadalilituselamaadapeluanguntukitu, karenamengamalkankeduadalilitulebihbaikdarihanyamengfungsikansatudalilsaja. Contohnya, dalamayat 234 surat Al-Baqarah Allah berfirman:
والذ يتوفون منكم ويدرورن ازواجا يتر بصن با نفسهن اربعة  اشهر وعشرا
Orang-orang yang meninggalduniadiantaramudenganmeninggalkanistri-istri (hendaklahparaistriitu) menangguhkandirinya (beri’ddah) empatbulansepuluhhari ..(QS Al-Baqarah : 234)

واولات اللأ حمال أ جلهن أنيضعن حلهن
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktuiddahmerekaituialahsampaimerekamelahirkankandungannya.(QS At-Thalaq: 4).
Ayatpertamatersebutbersifatumumyaitusetiapperempuan yang ditinggalkanmatisuamibaikhamilatautidakhamilwajibber-iddahselamaempatbulansepuluhhari. Dan ayatkeduatersebutjugabermaknaumum, yaitusetiapwanitahamilbaikditinggalsuamimatiatauberceraihidupwajibber­-iddahsampaimelahirkankandungannya.
Dengandemikianantaraduaayattersebutbilasepintaslaluterdapatpertentanganmengenai ‘iddahwanitahamil yang ditinggalmatisuami.Namunpertentanganitu, sepertidikemukakanoleh Abdul-KarimZaidan, ahliUshulFiqhberkembangsaanIrak, dapatdikompromikansehinggakeduaayattersebutdapatdifungsikan.Duaayattersebutbiladikompromikan, makakesimpulan yang dapat di ambiladalahbahwa ‘iddahperempuanhamil yang kematiansuamiadalahmasaterpanjangdarikeduabentuk ‘iddah, yaitusampaimelahirkanatauempatbulansepuluhhari. Artinya, jiakperempuanitumelahirkansebelumsampaiempatbulansepuluhharisejaksuaminyameninggal, maka ‘iddahnyamenungguempatbulansepuluhhari, danjikasampaiempatbulansepuluhhariperempuanitubelumjugamelahirkan, maka ;iddahnyasampaiiamelahirkankandungannya.
b.      Jikatidakdapatdikompromikan, makajalankeluarnyaadalahdenganjalantarjih.
c.       Selanjutnyajikatidakadapeluanguntuk men­-tarjihsalahsatudarikeduanya, makalangkahselanjutnyaadalahdenganmenelitimanadiantaraduadalilitu yang lebihduludatangnya. Jikasudahdiketahui, makadalil yang terdahuludianggabtelahdinasakh (dibatalkan) olehdalil yang kemudian, dan
d.      Jikatidakmungkinmengetahuimana yang terdahulu, makajalankeluarnyadengantidakmemakaiduadalilitudandalamkeadaandemikian, seorangmujtahidhendaklahmerujukkepadadalil yang lebihrendahbobotnya.
Alin bin Saif al-Din al-Mahdiahliushulfiqhdarikalangansyafiiyahmenjelaskansecararincimetodetarjih. Metodetarjih yang berhubungandenganpertentanganantaraduanashataulebihantara lain secara global adalah:
a.       Tarjihdarisegisanad. Tarjihdarisegiinimungkindilakukanantaralaindenganmenelitirawi yang menurutjamhurulamaushulfiqh, hadis yang diriwayatkanolehperawi yang lebihbanyakjumlahnya, didahulukanatashadist yang lebihsedikit.
b.      Tarjihdarisegimatan yang mungkindilakukandenganbeberapabentukantaralain; bahwabilamanaterjadipertentanganantaraduadaliltentanghukumsuatumasalah, makadalil yang melarangdidahulukanatasdalil yang membolehkan.
c.       Tarjihdarisegiadanyafaktorluar yang mendukungsalahsatudariduadalil yang bertentangan. Dalil yang didukungolehdalil yang laintermasukdalil yang merupakanhasilijtihad, didahulukanatasdalil yang tidakterdapatdukungna[13].





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kata ta’aruld secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Sedangakan menurut istilah, seperti yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Sedangkan, Tarjih secara bahasa (etimologi) berarti “menguatkan”, atau membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan.
Jadi ta’aruld wa Tarjih adalah kontradiksi antara dua nash dan memenangkan salah satu antara dua dalil. Kontradiksi antara dua dalil syara’ itu tidak terjadi kecuali kedua dalil itu sama kuatnya. Jika salah satunya lebih kuat, maka hukum yang diikuti adalah yang dituntutoleh dalil yang lebih kuat, tidak perlu memperhatikaan lawannya yang dituntut oleh dalil yang lain. Atas keterangan ini, maka tidak terjadi kontrakdiksi antara nash yang pasti dan nash yang dugaan dan tidak terjadi pula antara nash, ijma’ dan qiyas











DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV  Pustaka Setia, 2010.
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Drs. Moh Riva’i, Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, 1993.




[1] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 238
[2]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV  Pustaka Setia, 2010), 225
[3]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 239
[4]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV  Pustaka Setia, 2010), 226
[5]Ibid,,,242-244
[6]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 241
[7]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh,,,243
[8]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh,,, 242
[9]Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 336
[10]Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 337-338
[11]Ibid,,, 338-340
[12]Drs. Moh Riva’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma’arif, 1993),131
[13]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 240-242.

NASKHUL HUKMI ( MEN NASHK HUKUM)



JUDUL      :  NASKHUL HUKMI ( MEN NASHK HUKUM)
PENULIS  :  AHMAD ADABY A.R

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan Assunah merupakan sumber hukum islam yang menggunakan bahasa arab. Jika ingin memahami dan mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut maka harus mengetahui seluk beluk bahasa arab dan harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). 
Dalam memahami petunjuk nash, bukan hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu, dan mencari ilat yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertianya menjadi rasional. Jalan tersebut oleh ahli ushul fiqih dinamai dilalat al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat al-nass, dan dilalat al-iqtida.
. Dalam makalah ini membahas Thoriqotut dilalatun nash (methode pengambilan makna nash).

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimakasud nasakh ?
2.      Apa hikmah dari nasakh ?
3.      Apa sajakah macam-macam dari nasakh ?
4.      Bagaimanakah batasan dari nasakh itu sendiri ?
C. Tujuan
1.      Mengetahui definisi nasakh
2.      Memahami hikmah dari nasakh
3.      Mengetahui macam-macam nasakh






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian nasakh
Dari segi bahasa (lughah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan, misalnya dalam kalimat : nasahkat arriyaahu atsaral qaumi
                                                                            نَسَخَتْ اَلرِّيَاحُ أَثَارَاْلقَوْمِ
Artinya : “angin telah menghapus jejak suatu hukum”
Sedangkan definisi nasakh menurut ulama ushul fiqh, yang mashur ada dua yaitu:  
1.      penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
2.      pembatalan hukum syara’ yanng ditetapkan terdahulu dari orangn mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yanng datang kemudian”
Dari kedua difinisi tersebut, para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini : (Tajuddi : 50)
a.       Pembatalan itu harus dilakukan melalui tununan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
b.      Yang di batalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus)
c.       Nasikkh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna (pengecualian) tidak disebut nasakh.[1]
 Nasakh menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan pelaksanan hukum syara’ dengan dalil yang dtang kemudia, yang membatalkan itu secara jelas (eksplisit) tau yang terkandung (implisit), keseluruhan atau sebagian, sesuai dengan tuntutan kemaslahatan. Atau berarrti menampakkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[2]
B.  Hikmah nasakhah
Nasakh ini dapat terjadi pada undang-undang Allah dan undang-undang manusia. Karena tujuan dari setiap perundangan, baik tuhan maupun manusia. Sedangkan kemaslahatan manusia itu dapat berubah menurut perubahan keadaan mereka. Hukum terkadang diundang kan demi kemaslahatan yang dituntut oleh sebab-sebab tertentu. Jika sebab tidak ada, maka tidak ada kemaslahatan dalam ketetapan hukum itu. Seperti pernah diterangkan, bahwa sekelompok umat islam datang ke kota Madinah pada hari raya korban, kemudian Rasulullah menghendaki agar mereka membuat kemakmuran diantara orang muslim. Maka Rasul melarang orang muslimin untuk menyimpan daging korban mereka sampai kelompok itu menerima bagian daging  korban. Ketika kelompok itu telah meninggalkan kota Madinah, maka beliau membolehkan kaum muslimin untuk menyimpan daging korban mereka. Beliau bersabda :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فَزُوْرُوْهاَ فَأِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ الْحَيَوةَ الَاخِرَةَ
Artinya:“Aku hanya melarang kalian untuk menyimpan daging korban itu demi sekelompok orang yang menuju kota ini. Ingat, sekarang simpanlah daging-daging itu”
Juga karena keadilan penetapan hukum itu menuntut secara bertahap dan idak mengejutkan orang yang menerima syariat sehingga berat untuk melaksanakannya, atau berat untuk meninggalkannya. Tahapan ini menuntut adanya keadilan dan bergantian, seperti terjadi pada hukum khamar. Allah SWT pada permulaanya tiadak mengharamkannya, tetapi menjelaskan bahwa didalamnya terkandung bahaya yang besar dan manfat bagi manusia, dan bahayanya lebih besar dari manfatnya. Ini adalah persiapan dan pendahuluan menuju pengharaman, karena sesuatu yang bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya mendorong akal untuk meninggalkannya. Kemudian Allah melarang umat islam untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk. Ini adalah pendahuluan kedua untuk pengharaman dan pelarangannya, karena waktu shalat itu banyak dan terpisah-pisah, maka umat islam tidak mungkin selamat jika meminummnya, karena mereka punya kewajiban menjaga waktu shalat padahal mereka dalam keadaan mabuk. Kemudian datang naskh yang tegas yang menerangkan bahwa khamer adalah kotoran dari perbuatan setan dan perintah untuk menjauhinya. Demikian juga dalam urutan pewarisan, proses itu pada permulaan islam tetap sebagaimana berlaku di kalangan arab jahiliyah. Kemudian islam mulai membuat keadilan secara bertahap, pertama dalah penghapusan hak waris bagi anak angkat. Kemudian di undangkan hukum waris secara rinci yang menghancurkan sendi-sendi kezhaliman yang menjadi kebiasaan orang-orang jahiliyanh dalam mengatur pewarisan harta pusaka.[3]
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disyari’atkannya berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik didunia maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Berkaitan dengan itu, syar’i (Allah SWT) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada di masyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin. Akan tetapi, tidak berarrti bahwa Syar’i tidak mengetahui kejadian yang akan terjadi, justru disinilah kelebihan Islam, yakni menetapkan hukum secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, persoalan nasakh itu hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup, makna setelah Rasulullah SAW itu wafat, tidak ada lai nasakh.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum islam dan adaya tahapan dalam penetapan hukum islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara (Al-Buthi: 223-226)[4]      
C. Macam – macam nasakh
Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi beberapa macam, diantaraya:
1.      Nasakh yang tidak ada gantinya, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
2.      Nasakh yang ada penggantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat, seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lima kali saja.
3.      Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perempuan tua yang sudah menikah.
4.      Nasakh hukum ayat, namun teks nya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedakah kepada bagi orang miskin bagi mereka yang berbicara dengan nabi.
5.      Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan 10 kali.(H.R.Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
6.      Terjadinya penambahan hukum dari hukum yanng pertama. Menurut Ulama Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
Jumhur ulama lebih memerinci hukum tambahan ini:
a)      Apabila hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang ditambah, tidak dinamakan nasakh karena keduanya terpisah, seperti penambahan kewajiban shalat pada ayat yang menerangkan kewajiban zakat, maka perintah shalat tidak terpengaruh kepada zakat.
b)      Apabila hukum yang di-nsakh berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu dinamakan nasakh. Seperti penambahan rakaat pada shalat subuh yang dua rakaat, berarti megubah esensi dari shalat itu sendiri.
c)      Apa bila penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula. Misalnya hukuman dera bagi orang yang menuduh oranng lain berbuat zina, yaitu 80 dera di tambah 20 pukulan. Terhadap hukuman tersebut terjadi perbedaan pendapat dari kalangan ulama ushul menurut jumhur tidak dinamakan nasakh, karena esensinnya msih tetap. Akan tetapi, menurut Hanafiyah, termasuk nasakh, karena hukum asalnya telah berubah.
7.      Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyariatkan. Menurut kesepakatan para ulama dikatakan nasakh, tetapi mereka tidak memberikan contohnya.[5] 
Naskh yang tegas (eksplisit) dan yang terkandung (implisit). Nasakh yang tegas adalah jika Syar’i menertapkan naskh yang tegas dalam penetapan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan hukum sebelumnya.
Seperti firman Allah: (Al-Anfal 66-65)  
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُون
Artinya : “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.
       الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ                  
Artinya : “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Nasakh yang tegas inilah yang sering terjadi dalam pembentukan undang-undang positif. Karena kebanyakan undang-undang yang dikeluarkan untuk menandingi undang-undang sebelumnya, ditetapkan secara tegas untuk membatalkan nasakh yang terdapat dalam undang-undang terdahulu, untuk menunjukkan batalnya semua hukum dalam undang-undanng terdahulu ynan tidak sesuai dengan nasakh yang ditetapkan dalam undang-undang yang baru. Seperti masalah kepemilikan dalam undang-undang tahun 1930 yang ditetapkan secara tegas untuk membatalkan undang-undag tahun 1923. Juga seperti undang-undang tentann administrasi yang ditetapkan secara tegas untuk membatalkan pasal dalam undang-undang sipil.
Sedangkan nasakh yang bersifat impilsit adalah jika syar’i tidak menegaskan dalam nasakh yang datang kemudian untuk membatalkan nasakh hukum yang sebelumnya, tetapi dia menetapkan hukum yang yang terdahulu. Tidak mungkin memadukan kedua hukum itu kecuali denagn mengindahkan salah satunya, sehingga dianggap bahwa hukum yang baru menghapus huikum yang lama secara implisit.
Nasakh yang implisit itu banyak terjadi pada hukum Allah Swt: (Al-Baqarah 180)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْن وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوف حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِين
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.                                                                         
Menunjukkan bahwa seorang pemilk harta ang menghadapi kematian, wajib berwasiat kepada kedua orang tuanya dan kerabatnya dari hrta tingalannya secara baik. Juaga dalam ayat Allah Swt (An-Nisa’ 11)
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا  أَوْدَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: ”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menunjukkan bahwa Allah Swt, membagi harta warisan dari setiap pemiliknya dianatara ahli warisnya berdasarkan tuntutan kebijksanaan-Nya, tidak menganngap bahwa pembagian itu adalah hak yang mewariskan sendiri. Hukum ini berlawanan dengan hukum yang pertama, maka pendapar jumhur ulama, hukum kedua ini menghapus hukum yang pertama. Oleh kareana itu, setelah turun ayat ahli waris Rasulullah Saw, bersabda:

اِنّ اللّهَ أَعْطَى لِكُلِّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah memberikan hak bagi yang berhak, maka tidak ada wasiat dari ahli waris”.
Contoh nasakh secara implisit dari hukum positif adalah masalah kepemilikan yang dikeluarkan dengan undang-undang tahun 1923. Undang-undang ini mengandung banyak hukum yang berlawanan dengan hukum dalam undang-undang sebelumya, tetapi tidak ditetapkan secara tegas idalam pembatalannya, sehingga dikatakan menghapus hukumnya secara implisit.undang-undang hukuman yang baru tidak menetapkan secara tegas tentang pembatalan hukum yang berlawanan dengannnya dari undang-undang hukuman terdahulu, maka dikatakan menghapus hukumannya secara implisit. Para pembesar hukum menganggap cukup dengan nasakh secara implisiyt ini dan tidak memerlukan ketegasan nasakh. Karena nasakh seperti ni adalah menguatkan sesuatu yang tidak memerlukan penguat. Sesungguhnya penetapan yang dilakukan syari’ atas hukum yang berlawanan dengan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak mungkin untuk memadukan kedua hukum itu adalah pengalihan syar’i dari hukumnya yang dahulu serta membatalknnya tanpa membutuhkan ketegasan bahwa syar’i beralih dari hukum itu atau membatalkannya.
Terkadang nasakh itu kulliy (secara keseluruhan)  dan kadang nasakh tu juz’i (kepada sebagian).
Nasakh kulliy adalah jika syar’i membatalkan hukum yang ditetapkan lebih dulu secara keseluruhan dengan menyangkut keseluruhan mukallaf. Seperti syari’ membatalkan wasiat untuk dua orang tua dan kerabat dengan penetapan hukum waris dan larangan wasiat kepada ahli waris. Juga seperti membatalkan hukum iddah bagi perempuan yang ditinngal mati suaminya selama setahun dengan iddah selama empat bulan sepuluh hari. Allah Swt telah berfirman : (Al-baqarah: 240)
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Kemudian Allah berfirman (Al-baqarah:234)
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Nasakh juz’i adalah apabila hukum itu disyariatkan secara umum yang mencakup semua individu mukallaf, kemudian hukum ini tidak berlaku bagi sebagian ndividu mukallaf. Atau hukum itu disyariatkan secara mutlak kemudian tidak berlaku alam sebagian kondisi. Maka nasakh yang menghapus itu tidak dapat membatalkan pelaksanaan hukum yang pertama secara keselurhan, tetapi dapat membtalkan hanya untuk sebagian individu atau sebagian kondisi saja.
Misalnya adalah firman Allah Swt : (an-Nur :4)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)   dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Ayat ini menunjukkan bahwa penuduh wanita bersuami berzina yang tidak dapat menghadirkan empat orang saksi atas tuduhannya, harus didera sebanyak delapan puluh kali, baik dia atau suaminya atau bukan. Dari firman Allah Swt : (an Nur :6)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya:”Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.
Ayat ini menunjukkan bahwa jika si penuduh itu adalah suaminya, maka tidak didera, tetapi harus melakukan sumpah li’an (saling mengutuk) bersama istrinya. Jadi nasah yang kedua ini menghapus hukum dera menuduh zina hanya untuk suami saja.
Nasakh ini disebut nasakh juz’iy jika mulanya hukum itu disyariatkan secara umum dan tetap pada kemutlakannya. Tidak lama kemudian disyariatkan hukum kedua untuk sebagian individu atu dibatasi dengan batasan tertentu. Tetapi jika hukum itu dalam undanng-undang berbentuk umum dan dalam undang-undang yang sama terdapat takhshish hukum bagi sebagian individunya, maka takhshish ini adalah menjelaskan maksud dari yang mutlak, bukan nasakh.
Inilah arti dari ucapan ulama ushul: mengeluarkan sebagian individu yang umum dari hukmnya, atau membatasi yang mutlak dengan batasan jika dengan dallil yang menyertai penetapan hukum umum atau mutlak maka disebut penjelas maksud dari yang umum atau mutlak sebagai pengecualian, bukan nasakh
Hukum-hukum syara’, meskipun diundangkan secara bertahap dalam masa 22 tahun lebih beberapa bulan saja, tetapi setelah wafatnya Rasulullah dan tetapnya perundangan hukum, maka hukum-hukum itu menjadi satu undang-undang milik kaum muslimin. Yang khusus menjelaskan yang umum dan yang terbataas menjelaskan yang mutlak tidak peduli bahwa ayat ini dibaca setelah ayat itu atau surat ini urutannya setelah surat yang ada ayat itu, kecuali yang sudah ditetapkan sebagai nasikh (penghapus) dan mansukh (yang dhapus.
Kadamg-kadang nasakh tu dengan menetapkan hukum sebagai pengganti hukum, seperti penggantian kewajiban wasiat unuk kedua orang tua dan kerabat dengan bagian waris. Juga seperti penggantian menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat menjadi ke ka’bah. Seperti mengganti masa iddah bagi wanita yang ditingal mati suaminya selam setahun dengan iddah selam empat bulan sepuluh hari. Dan kadang-kadang nasakh itu terjadi hanya dengan mengabaikan kawin mut’ah (kawin untuk kesenangan sejenak).
Sebagaimana boleh terjadi hukum yang disyariatkan itu sama dengan hukum yang dinasakh atau lebih ringan bagi mukallaf, maka boleh pula nasakh itu dengan hukum yang lebih berat. Karena pembatalan dan penggantian ini adalah dituntut oleh kemaslahatan mukallaf. Terkadang kemaslahatan itu menuntut hukum yang lebih berat dari apada yan nasakh. Pengharaman khamer dan judi adalah lebih berat bagi mereka dari pada diperbolehkan, tetapi tujuannya adalah kemaslahatan. Firman Allah Swt: (Al-baqarah:106)
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu
Yang dimaksud dengan khairun (lebih baik) ialah sesuatu yang lebih menguntungkan mukallaf, baik itu lebih berat bagi mereka, sama atau lebih ringan. Ini apabila yang dimaksud dengannya adalah ayat-ayat al-Qur’an dalam irman Allah Swt: maa nasakh min aayat.     
D. Batasan nasakh
Masalah yang tak kalah penting disoroti adalah sejauh mana jangkauan nashk itu? Apakah semua ketentuan hukum dalam syariat ada kemungkinannya terjangkau naskh? dalam hal ini imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanutnya,Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah berdusta. Sejalan ini Imam Thabari mempertegas, naskh-mansukh yang terjadi antara ayat –ayat al-qur’an yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya,itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh. Ungkapan ini cukup penting diperhatiakan, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas, dibiang ilmu hukum dapat kita lihat gambarnya pada hukum dasar, msalnya pada undang-undang dasar negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada hukum organik atau peraturan, posisi dan area naskh, dengan demikian, dengan mudah kita dapat menenal beberapa persyaratan yaitu:
1.    Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selamanya.
2.    Ketentuan hukum teresebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadialan untuk piihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3.    Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah mengakhiri pemberlakuan ketentan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4.    Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.[6]

























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al- qur’an merupakan kesatuan utuh yang tidak ada pertentangan antra yang satu dengan lainnya. Masing- masing saling menjelaskan Al-qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dha. Adanya nasikh- mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunya al-quran itu Sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
Dari segi bahasa (lughah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Nasakh menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan pelaksanan hukum syara’ dengan dalil yang dtang kemudia, yang membatalkan itu secara jelas (eksplisit) tau yang terkandung (implisit).
Para ulama yang mengaki keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi beberapa macam, diantaraya:
1.         Nasakh yang tidak ada gantinya
2.         Nasakh yang ada penggantinya
3.         Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat
4.         Nasakh hukum ayat
5.         Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus
6.         Terjadinya penambahan hukum dari hukum yanng pertama
7.         Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyariatkan.












DAFTAR PUSTAKA
v  Syafe’i Rachmat, MA. ILMU USHUL FIQIH,(Bandung:CV pustaka setia)
v  Kallaf Abdul Wahab,ILMU USHUL FIKIH(Jakarta: Pustaka Amani)
v  agus-makalah. Blogspot.sg/2010/01/nasikh-mansukh.html?m=1




[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., ILMU USHUL FIQIH,(Bandung:CV pustaka setia),231-232
[2] Prof.DR. Abdul Wahab Kallaf,ILMU USHUL FIKIH(Jakarta: Pustaka Amani),324
[3] Ibid, Prof.DR. Abdul Wahab Kallaf,ILMU USHUL FIKIH...324-325
[4] Ibid, Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., ILMU USHUL FIQIH,...232-233
[5] Ibid,... Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., ILMU USHUL FIQIH,...239-240
[6] . agus-makalah. Blogspot.sg/2010/01/nasikh-mansukh.html?m=1