Senin, 06 Juni 2016

TA’ARULD WA TARJIH



JUDUL      : TA’ARULD WA TARJIH
PENULIS  : AHMAD ADABY A.R


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ilmu ushul fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istimbat hukum dalam islam. Itulah ebabnya tidak mengherankan jika dalm pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu inidimasukan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dapat dikatakan untuk enjaga agar proses ijtihad dan istimbad tetap berada dalam korido yang semestinya atau tidak menyalahi peraturan-peraturan dalam islam.
Meskipun demikian ada satu faktor yang tidak dapat dipungkiri bahwa pebguasaan ilmu ushul fiqh tidaklah mudah serta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istimbad para mujtahid. Disamping faktor eksternal ushul fiqh itu sendiri seperi penentuan dalam keshahihanya. Sedangkan internal ushul fiqh sendiri pada bagian masalahnya mengalami perdebatan dikalangan para ushuluyyin. Dan kemudian muncullah ilmu-ilmu seperti tentang ta’arudh dan tarjih yang akan dipaparkan dimakalah ini.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian ta’aruld wa tarjih?
2.      Bagaimana contoh dari ta’aruid wa tarjih?
3.      Bagaimana prosedur dari ta’ruld wa tarjih?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ta’aruld wa tarjih
Kata ta’aruld secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Sedangakan menurut istilah, seperti yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.[1]
Adapun menurut para ulama’ memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’aruld, diantaranya:
1.      Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’aruld, adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu.
2.      Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dab At-Taftazani, ta’aruld adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
3.      Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’aruld adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.[2]
Pada dasarnya, seperti yang ditegaskan oleh Wahbah Zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan Rasulnya. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’aruld  antara dua atau bebebrapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangkan pikir ini, maka ta’aruld mungkin terjadi baik pada dalil-dalil yang qath’i, maupun dalil yang zhanni. [3]
Begitu pun Imam Asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qathi’ (di anggap kebenaranya) maupun pada dalil yang zhanni (kebenaran di anggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya. Misalnya Al-Qur’an dengan Hadist Ahad, maka yang diambil adalah Al-Qur’an.[4]
Tarjih secara bahasa (etimologi) berarti “menguatkan”, atau membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Sedangkan secara istilah (terminologi), ada beberapa definisi dari ulama ushul fiqh yaitu
1.      Menurut Ulama Hanafiyah, “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.” Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sedeajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukung.
2.      Menurut Jumhur Ulama, “menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.” Maksudnya jumhur ulama mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qathi. Juga tidak termasuk antar yang qath’i dengan yang zhanni.[5]
3.      Menurut al-Baidawi, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk diamalkan.[6]
Para ulama’ sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Diantara alasanya, para sahabat dalam banyak kasus telah melakukan pen-tarjih-an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para sahabat lebih menguatkan hadist yang dikeluarkan oleh Siti Aisyah tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu alat vital lelaki maupun lata vital perempuan (H.R. Muslim dan Turmudzi), dari pada hadist yang diterima dari Abu Hurairoh, “Air berasal dari air”. (H.R. Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban).[7]
Dari definisi itu diketahui bahwa dua dalil yang bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah sama-sama zhanni . berbeda dengan itu menurut kalangan Hanafiyah, dua dalil yang bertentangan yang akan di tarjih salah satunya itu bisa jadi sama-sama qathi, atau sama-sama zhanni. Oleh sebab itu, mereka mendefinisikan tarjih sebagai upaya mencari keunggulan salah satudari dua dalil yang sma atas yang lain. Dlam definisi itu tidak dibatasi dengan dua dalil yang Zhanni saja.[8]
Jadi ta’aruld wa Tarjih adalah kontradiksi antara dua nash dan memenangkan salah satu antara dua dalil.
Jika terdpat dua nash yang kontradiktif menurut arti lahirnya, maka harus di adakan pembahasan untuk memadukan keduannya dengan cara-cara memadukan yang shahih. Jika tidak mungkin maka harus diadakan pembahasan dan ijtihad untuk memenangkan salah satunya dengan cara memenangkan dalil. Jika keduanya tidak mungkin dipadukan dan tidak mungkin dipadukan dan tidak mungkin dipadukan salah satu tetapi diketahui waktu datangnya lebih akhir menasakh yang lebih dulu. Dan jika tidak diketahui waktu turunya, maka pelaksanaan keduanya mauquf (dihentikan).[9]
            Kontradiksi antara dua dalil syara’ itu tidak terjadi kecuali kedua dalil itu sama kuatnya. Jika salah satunya lebih kuat, maka hukum yang diikuti adalah yang dituntutoleh dalil yang lebih kuat, tidak perlu memperhatikaan lawannya yang dituntut oleh dalil yang lain. Atas keterangan ini, maka tidak terjadi kontrakdiksi antara nash yang pasti dan nash yang dugaan dan tidak terjadi pula antara nash, ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu mungkin terjadi antara dua ayat, dua hadist mutawatir, anara ayat dengan hadist mutawatir, dua hadist yang tidak mutawatir atau antara dua qias.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak ada kontradiksi yang hakiki antara dua ayat, antara dua hadist shahih atau antara ayat dengan hadist shahih. Jika tampak kontradiksi antara dua nash diantara nash-nash ini, maka kontrakdiksi itu hanya pada lahirnya saja, yang tampak menurut pandangan kita, dan bukan kontradiksi yang hakiki. Karena syari’ yang Maha Esa dan Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan satu dalil yang menuntut suatu hukum dalam suatu kejadian dan juga mengeluarkan dalil lain yang menuntut suatu hukum dalam kejadian yang sama, yang sama hukum itu berlawanan dengan hukum pertama dalam waktu yang bersamaan.
Jika terdapat dua nash yang lahirnya terdapat kontradiksi maka harus berijtihad untuk mengalihkan keduanya dari makna lahir. Keduanya tidak diartikan secara hakiki adalah demi mensucikan Dzat Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha bijakasana dari kontradiksi dari perundangannya . jika mungkin untuk menghilangkan kontradiksi lahir antara kedua nash dengan jlan memandukanya, maka harus dipadukan dan keduanya harus diamalkan. Paduan ini adalah sebagai penjelasan, karena hakikatnya tidak ada kontradiksi antara keduanya.[10]
B.     Contoh Ta’aruld wa tarjih
Contoh dari Ta’aruldwatarjihadalah :
1.      Firman Allah Swt
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن  ترك جيرا الوصية للولدين والأقربين بالمعرف  حقا على المتقين
                        Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kirabatnya yang makruf. (QS. al-Baqarah:180)
Dan firman Allah Swt
                        وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن
                        Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS. an-Nisaa’: 11) sampai akhor ayat waris
                        Ayat pertama mewajibkan kepada muwarist (yang mewaristkan) jika telah mendekati kematian untuk berwasiat tentang hartanya kepada kedua orang tua dan kerabatnya yang makruf. Sedangkan ayat kedua mewajibkan hak bagian warist bagi masing-masing orang tua, anak dan kerabat dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewaristkan. Kedu ayat ini lahirnya bertentangan dan mungkin memadukan diantara keduanya yang dimaksud pada ayat dalam surat al-Baqarah adalah orang tua dan kerabat yang terhalang mendapat bagian waris, misalnya karena berbeda agama.

2.      Firman Allah Swt
والذ يتوفون منكم ويدرورن ازواجا يتر بصن با نفسهن اربعة  اشهر وعشرا

Artinya: “orang-orag yang meninggal diantaramu dengan tidak meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari ...(QS. al-Baqarah: 234)
Dan firman Allah Swt.:
.     واولات اللأ حمال أ جلهن أنيضعن حلهن
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah samapi mereka melahirkan kandungannya. (Qs. at Thalaq: 4)
Mungkin memadukan kedua ayat ini dengan pengertian bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya beriddah dengan waktu yang paling lama, jika melahirkan kandunganya sebelum masa empat bulan sepuluh hari sejak waktu kematian suaminya, maka menunggu sampai empat bulan sepuluh hari, jika telah lewat empat bulan sepuluh haridan belum melahirkan kandunganya.[11]
3.      Hadist
Hadist pertama:

Dari Ibn Abbas bahwa ia pernah berkata: “Rasulallah Saw telah menikah dengan Maimunah, sedang Nabi Saw dalam keadaan ihram haji”. (HR. Muslim)
Hadist kedua:
     
      Dari Yazid Ibn Al-Asham, ia berkata: “Maimunah binti Al-Harist telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulallah Saw nikah dengan dia, sedang beliau dalam halal (tidak dalam ibadah haji)”. (HR. Muslim)
      Dari dua riwayar tersebut kelihatannya bertentangan, pada riwayat hadist pertama, Nabi menikah dalam keadaan ihram haji, sedangkan pada hadist kedua, beliau menikah sedang tidak menjalani ibadah haji.[12]

C.     Prosedur Ta’aruld wa tarjih
Menurut kalangan Syafi’iyah. Seperti yang dijelaskan Wahbah Zuhaili, jika terjadi ta’arud antara dua dalil, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:
a.       Denganmengkompromikanantaraduadalilituselamaadapeluanguntukitu, karenamengamalkankeduadalilitulebihbaikdarihanyamengfungsikansatudalilsaja. Contohnya, dalamayat 234 surat Al-Baqarah Allah berfirman:
والذ يتوفون منكم ويدرورن ازواجا يتر بصن با نفسهن اربعة  اشهر وعشرا
Orang-orang yang meninggalduniadiantaramudenganmeninggalkanistri-istri (hendaklahparaistriitu) menangguhkandirinya (beri’ddah) empatbulansepuluhhari ..(QS Al-Baqarah : 234)

واولات اللأ حمال أ جلهن أنيضعن حلهن
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktuiddahmerekaituialahsampaimerekamelahirkankandungannya.(QS At-Thalaq: 4).
Ayatpertamatersebutbersifatumumyaitusetiapperempuan yang ditinggalkanmatisuamibaikhamilatautidakhamilwajibber-iddahselamaempatbulansepuluhhari. Dan ayatkeduatersebutjugabermaknaumum, yaitusetiapwanitahamilbaikditinggalsuamimatiatauberceraihidupwajibber­-iddahsampaimelahirkankandungannya.
Dengandemikianantaraduaayattersebutbilasepintaslaluterdapatpertentanganmengenai ‘iddahwanitahamil yang ditinggalmatisuami.Namunpertentanganitu, sepertidikemukakanoleh Abdul-KarimZaidan, ahliUshulFiqhberkembangsaanIrak, dapatdikompromikansehinggakeduaayattersebutdapatdifungsikan.Duaayattersebutbiladikompromikan, makakesimpulan yang dapat di ambiladalahbahwa ‘iddahperempuanhamil yang kematiansuamiadalahmasaterpanjangdarikeduabentuk ‘iddah, yaitusampaimelahirkanatauempatbulansepuluhhari. Artinya, jiakperempuanitumelahirkansebelumsampaiempatbulansepuluhharisejaksuaminyameninggal, maka ‘iddahnyamenungguempatbulansepuluhhari, danjikasampaiempatbulansepuluhhariperempuanitubelumjugamelahirkan, maka ;iddahnyasampaiiamelahirkankandungannya.
b.      Jikatidakdapatdikompromikan, makajalankeluarnyaadalahdenganjalantarjih.
c.       Selanjutnyajikatidakadapeluanguntuk men­-tarjihsalahsatudarikeduanya, makalangkahselanjutnyaadalahdenganmenelitimanadiantaraduadalilitu yang lebihduludatangnya. Jikasudahdiketahui, makadalil yang terdahuludianggabtelahdinasakh (dibatalkan) olehdalil yang kemudian, dan
d.      Jikatidakmungkinmengetahuimana yang terdahulu, makajalankeluarnyadengantidakmemakaiduadalilitudandalamkeadaandemikian, seorangmujtahidhendaklahmerujukkepadadalil yang lebihrendahbobotnya.
Alin bin Saif al-Din al-Mahdiahliushulfiqhdarikalangansyafiiyahmenjelaskansecararincimetodetarjih. Metodetarjih yang berhubungandenganpertentanganantaraduanashataulebihantara lain secara global adalah:
a.       Tarjihdarisegisanad. Tarjihdarisegiinimungkindilakukanantaralaindenganmenelitirawi yang menurutjamhurulamaushulfiqh, hadis yang diriwayatkanolehperawi yang lebihbanyakjumlahnya, didahulukanatashadist yang lebihsedikit.
b.      Tarjihdarisegimatan yang mungkindilakukandenganbeberapabentukantaralain; bahwabilamanaterjadipertentanganantaraduadaliltentanghukumsuatumasalah, makadalil yang melarangdidahulukanatasdalil yang membolehkan.
c.       Tarjihdarisegiadanyafaktorluar yang mendukungsalahsatudariduadalil yang bertentangan. Dalil yang didukungolehdalil yang laintermasukdalil yang merupakanhasilijtihad, didahulukanatasdalil yang tidakterdapatdukungna[13].





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kata ta’aruld secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Sedangakan menurut istilah, seperti yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Sedangkan, Tarjih secara bahasa (etimologi) berarti “menguatkan”, atau membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan.
Jadi ta’aruld wa Tarjih adalah kontradiksi antara dua nash dan memenangkan salah satu antara dua dalil. Kontradiksi antara dua dalil syara’ itu tidak terjadi kecuali kedua dalil itu sama kuatnya. Jika salah satunya lebih kuat, maka hukum yang diikuti adalah yang dituntutoleh dalil yang lebih kuat, tidak perlu memperhatikaan lawannya yang dituntut oleh dalil yang lain. Atas keterangan ini, maka tidak terjadi kontrakdiksi antara nash yang pasti dan nash yang dugaan dan tidak terjadi pula antara nash, ijma’ dan qiyas











DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV  Pustaka Setia, 2010.
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Drs. Moh Riva’i, Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, 1993.




[1] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 238
[2]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV  Pustaka Setia, 2010), 225
[3]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 239
[4]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV  Pustaka Setia, 2010), 226
[5]Ibid,,,242-244
[6]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 241
[7]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh,,,243
[8]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh,,, 242
[9]Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 336
[10]Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 337-338
[11]Ibid,,, 338-340
[12]Drs. Moh Riva’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma’arif, 1993),131
[13]Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 240-242.

1 komentar:

  1. untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
    thanks berat udah pada berkunjung kesini :)

    BalasHapus