MAKALAH USHUL FIQH
(MAFHUM MUKHOLAFAH)
PENULIS : AHMAD ADABY A.R
NIM : 130721100061
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik
itu yang terdapat dalam al-Qur’anmaupun as-Sunnah. Ketika
seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath-kan sebuah hukum
baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak
disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau
mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Para
ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhalafah meskipun imam Abu
Hanifah mengingkari dalam menggunakan mafhum mukhalafah tersebut.
Maka dari
itu pada makalah ini kami ingin mengulasnya lebih lanjut, semoga apa yang kami
terngakan dapat dipahami dengan mudah lagi bermasnfaat. Segala puji hanya untuk
Allah,sholawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad bin Abdullah
selaku penutup para nabi.
.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian dari
mafhum mukhalafah?
2.
Apa saja macam-macam mafhum mukhalafah?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui
pengertian mafhum mukhalafah
2.
Untuk mengetahui
macam-macam mafhum mukhalafah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
MAFHUM MUKHALAFAH
Mafhum
secara bahasa ialah “sesuatu yang dipahami dari suatu teks”, dan menurut
istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).”
Mafhum
al mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang
lahir dari lafadz itu berlaku bagi
masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan
dengan hukum yang lahir darimantuq-nya, karena tidak adanya batasan
(kayd) yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum
mukhalafah disebut juga dalil khitab.Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum
yang tidak disebut. Dinamai dalil khitab karena dalil hukum diambil dari jenis khitab-nya atau karena khitabnya
menunjukkan atas hukum itu. (Asy- syaukani, 1933 1799).[1]
Mafhum
mukholafah menurut jumhur ulama Ushul Fiqh,
seperti dinukil Mustafa Sa’id al- Khin, adalah penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang
tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafhum mukholafahdidapati pada objek hukum yang dikaitkan dengan
sifat, syarat, batasan waktu, atau jumlah bilangan tertentu sehingga hukum
sebaliknya menurut mayoritas UlamaUshul Fiqh secara sah dapat ditarik bilamana
objek hukum itu terlepas dari berbagai kaitan tersebut.Berbeda dengan itu,
kalangan hanafiyah menolak mafhum
mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum. Alasan mereka yakni bahwa
dapat di buktikan dalam al-qur’an di mana apabila mahfum mukhalafah di fungsikan, akan rusaklah pemahaman ayat hukum
misalnya ayat 130 surat Al-Imran:
Artinya:
hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertaqwalah kamu kepada Allah upaya kamu mendapat keberuntungan.(QS.
Ali-Imran/ 3:130).
Mafhum
Mukhalafah dari ayat tersebut berarti
halalnya riba yang tidak berlipat ganda, namun pemahaman seperti itu adalah
keliru, karena riba yang tidak berlipat gandapun haram hukumnya. Hal itu
menunjukan bahwa mafhum mukhalafah
tidak dapat difungsikan dalam al-qur’an.
Menurut mayoritas ulama’ mafhum mukhalafah dapat dijadikan dalil
kecuali diketahui bahwa penyebutan sifat, batas waktu, dan jumlah bilangan itu
bukan untuk tujuan tasyri’
(pembentukan hukum). Contoh mafhum
mukholafah adalah hadist riwayat
Bukori dari Anas yang menceritakan keterangan rasulullah tentang zakat
binatang ternak, diantaranya kewajiban menzakatkan binatang ternak kambing as-saimah (yang diternak di padang
rumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya). Hadist tersebut menurut jumhur
ulama menunjuk dua hukum. Pertama,
hukum yang ditarik melalui mantuq,
yaitu kewajiban membayar zakat ternak berupa kambing as-saimah.Kedua, hukum yang ditarik melalui mafhum mukhalafah, yaitu tidak ada kewajiban menzakatkan kambing
yang al-ma’lufah (diambilkan
makananya) dan pendapat ini disepakati oleh sebagian Hanafiyah.[2]
Mereka yang berbeda pendapat dengan jumhur
adalah dalam menentukan apa yang menjadi dalilnya. Jika jumhur berdalilkan mafhum mukholafah, maka kalangan
hanafiyah berpendapat bahwa hukum itu bukan berdasarkan mafhum mukhalafah, melainkan dari hukum asalnya.Hukum asalnya ialah
tidak ada beban taklif membayar zakat
bagi harta berupa binatang selama tidak ada dalil yang mewajibkannya.
Jumhur ulama mensyaratkan beberapa
syarat untuk diterimanya mafhum mukhalafah menjadi dalil. Antara
lain, jangan ada dalil khusus selain
mafhum mukhalafah yang menjelaskan hukum masalah dimana sifat atau syarat
tidak didapati. Jika ada dalil lain yang menjelaskan hukumnya, maka mafhum mukhalafah tidak dapat
difungsikan dan yang berlaku adalah kehendak dalil tersebut. Contohnya Ya’la
bin Umayyah seorang sahabat ketika mendengar firman Allah surah An-Nisa ayat
100 yang membenarkan mengqashar
shalat dalam perjalanan jika dalam keadaan takut kepada musuh, kepada Umar bin
Khattab ia berkata: “bagaimana kita bisa mengqashar shalat dalam keadaan aman”. Rupanya Umar in Khaab juga
mempertanyakan hal tersebut. Pertanyaan itu timbul tidak lain dari pemahaman mafhum mukhalafah dari ayat tersebut
yaitu tidak dibenarkan meng-qashar shalat dalam keadaan aman. Karena memahami mafhum mukhalafah itu, sebagian sahabat
merasa ragu, dsebabkan ada sebagian mereka yang mengqashar shalat dalam keadaan aman. Begitu masalah itu disampaikan
pada Rasulullah, ia membenarkan pernyataan dua sahabat itu namun ia menjelaskan
bahwa mengqashar shalat dalam keadaan
aman dibenarkan sebagai hukum pengecualian dengan mengatakan bahwa hal yang
serupa itu adalah :shadaqah yang di shadaqah-kan Allah kepada kalian, maka
terimalah sedekah-Nya itu.
Syarat lain bahwa mafhum mukhalafahbaru
berfungsi bilamana menyebutkan kaitan sifat, syarat, batasan waktu atau jumlah
bilangan itu bermaksud untuk tasyri’.
Hal itu mengingat kenyataannya
tidak selalu penyebutan kaitan-kaitan seperti itu bermaksud untuk tasyri’,
tetapi diantaranya ada yang untuk al-taghrib
(agar orang menyenanginya), untuk bayan al-waqi’ (menjelaskan yang banyak terjadi), atau untuk al-tanfir (membuat orang tidak suka mendekatinya).[3]
2.
MACAM-MACAM
MAFHUM MUKHALAFAH
a. Mafhum
al washfi (sifat)
Mafhum sifat yaitu mempertalikan
hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya. Misalnya firman allah tentang
kifarat membunuh:
“maka dengan
memerdekakan hamba yang mukmin.” (Q.S. an Nisa (4):92)
Kalau hamba sahaya yang tidak mukmin di
anggap tidak cukup.
Menurut Prof. Dr Rachmat Syafei
mafhum sifat adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menunjukkan berlakunya
kebaikan hukum terhadap yang tidak disebutkan, karena tidak terdapat sifat yang
menjadi qayid pada lafadz tersebut.[4]seperti
sebuah hadistyang menjelaskan wajibnya zakat terhadap kambing as-saimah. Dan
secara mafhumnya mukhalafahnya tidak ada kewajiban zakat terhadap kambing yang
ma’lufah (diberi makan).
Hal ini karena tidak ada sifat yang
digembalakan secara bebas (sa’um) yang menjadi qayid wajibnya zakat menurut mantuqnya.Yang
dimaksud sifat disini adalah mutlaq sifat.
Mafhum sifat dapat dijadikan hujjah
dan juga tidak dapat dijadikan hujjah.Mafhum sifat dapat dijadikan sebagai
hujjah apabila suatu hukum dikaitkan dengan suatu sifat maka hukum itu tidak
ada apabila sifatnya tidak ada. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-syafi’I,
Ahmad bin Hanbal, Al-asy’ary dan segolongan dari kalangan mutakallimin. Alasan
mereka adalah sebagai berikut:
·
Para ahli bahasa
memakai mafhum sifat.
·
Dicantumkannya suatu
sifat dan pembatasan suatu kalimat pasti mempunyai kegunaan.
Mafhum sifat tidak dapat dijadikan
hujjah karena bukan merupakan suatu metode untuk menetapkan suatu hukum.
Apabila suatu hukum dibatasi dengan sifat
tidak berarti bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya sifat tersebut.
Apabila ternyata ada suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dibatasi
dengan sifat, hal ini tidak berarti hukum itu diambil dari mafhum sifatnya
karena ada dalil lain. Pendapat ini dipegang dari golongan Hanafiyah,
Malikiyah, Al-Ghazali,dan al-Amidi dari golongan syafi’iyah. (Al- amidi,
1968,III : 103)
b. Mafhum
al –Ghayah
Mafhum ghayah yaitu lafal yang
menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batas).Hukum
yang terdapat sesudah adanya ghayah (lafal
yang menunjukkan adanya batas) selalu berlainan dengan hukum yang sebelimnya.
Misalnya firman Allah:
“apabila kamu hendak shalat, cucilah muka-muka kamu dan tangan-tangan
kamu sampai kedua siku.” (Q.S.
Al-Maidah (5):6)
Dengan perkataan sampai kedua siku,
berarti tidak perlu mencuci lebih dari itu karena batas inilah yang Allah
perintahkan.Juga tidak boleh kurang dari siku karena kalau kurang berarti tidak
menurut perintah Allah.
Dan hukum yang terjadi sesudah ghayah tersebut
berbeda dengan hukum yang terjadi sebelum ghayah. Misalnya, firman Allah
swt.dalam surat al-Baqarah : 222 yang berbunyi :
“dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”
ayat ini menunjukkan seorang suami diperbolehkan
mencampuri isterinya setelah isteri tersebut suci dari haid.
c. Mafhum
Al-Syarth
Mafhum al-syarth adalahadalah menetapkan
kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah
hilang (at-Tholaq: 6): Misalnya, firman Allah swt.dalam
surat ath-Thalaq:6 yang berbunyi :
“kemudian jika suami mentalaqnya (sesudah talaq kedua) maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang
lain.”
ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberi kan
nafakah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi
jika isteri tersebut sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhum
al-mukhâlafah dapat dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam
keadaan hamil, maka bekas suaminya teidak berkewajiban memberikan nafkah.
Sedangkan dengan mengunakan mafhum as-syarth dapat
dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang
dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali isteri tersebut
dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil.
d.
Mafhum ‘adad
Mafhum ‘adad yaitu mempertalikan
hukum kepada bilangan (adad) yang tertentu, seperti firman Allah:
“orang-orang yang menuduh terhadap wanita-wanita yang baik (berbuat
zina)dan mereka tidak membawa empat orang saksi maka deralah mereka (yang
menuduh) delapan puluh kali dera.” (Q.S. An-Nur (24):4)
Dari ayat ini dapat dipahami
apabila orang yang menuduh zina itu mendatangkan empat orang saksi, hukum had tidak dapat di jalankan.[5]
Mafhum al-'adad adalah penetapan kebalikan dari
suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak
terpenuhi. Misalnya, firman Allah swt.dalam
surat an-Nur : 2 yang berbunyi :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”
Dalam ayat ini ditetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus
kali bagi siapa saja yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi
atau ditambah.Larangan ini adalah didasarkan pada mafhum al-mukhâlafah,
yakni jika suatu hukuman (sanksi) telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh
ditambah atau dikurangi.
e. Mafhum Al-Laqob
Mafhum al-Laqab
adalah
menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim ‘alam atau isim nau’.[6]
Contohnya yaitu seperti sabda Nabi SAW. seperti lafadz “fi al-Ghanami
zakatun”. Artinya pada gandum
dikenakan zakat. Dengan mafhum laqob maka ditetapkan hukum zakat tidak
dikenakan selain gandum.[7]
f. Mafhum
al-Hashr
Mafhum al-hashr adalah penetapan dari kebalikan
suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innamâ,
illâ", dan lain sebagainya. Misalnya, firman Allah swt. yang
berbunyi QS. an-Nisa' ayat 171:
“Wahai Ahli
Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu , dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya
yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya . Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan
: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah
menjadi Pemelihara.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Mafhum
al mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang
lahir dari lafadz itu berlaku bagi
masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan
dengan hukum yang lahir darimantuq-nya, karena tidak adanya batasan
(kayd) yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum
mukhalafah disebut juga dalil khitab.Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum
yang tidak disebut. Dinamai dalil khitab karena dalil hukum diambil dari jenis khitab-nya atau karena khitabnya
menunjukkan atas hukum itu.
Macam-macam mafhum mukhalafah diantaranya adalah:
a. Mafhum
al washfi (sifat)
Mafhum sifat
yaitu mempertalikan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya.
b.
Mafhum al –Ghayah.
Mafhum ghayah
yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batas).Hukum yang terdapat sesudah adanya ghayah (lafal yang menunjukkan adanya
batas) selalu berlainan dengan hukum yang sebelumnya.
c. Mafhum
Al-Syarth
Mafhum al-syarth
adalah adalah
menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat
tersebut telah hilang
d. Mafhum
‘adad
Mafhum ‘adad
yaitu mempertalikan hukum kepada bilangan (adad) yang tertentu,
e. Mafhum
Al-Laqob
Mafhum Al- Laqob adalah menggantungkan adanya sebuah hukum
dengan isim 'alam atau isim nau'.
Prof. DR. Rachmat Syafei, MA. ILMU USHUL FIQH(Bandumg: CV Pustaka
Setia,2010)
Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein,
M.A., USHUL FIQH (Jakarta:Kencana,2005)
Drs. Moh Rifa’I, ushul fiqh (Bandung,
PT, ALMAA’RIF:1973)
Irsyad al-Fuhul. Imam
as-Syaukani. Juz 2,
[1] Prof. DR. Rachmat Syafei, MA.ILMU
USHUL FIQH(Bandumg: CV Pustaka Setia,2010) hlm.216-217
[2] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., USHUL FIQH
(Jakarta:Kencana,2005) hlm215-216
[3]Prof. Dr. Satria Effendi. Ibid ,. Hlm218
[4] Prof. Dr. Rachmat syafei, ibid.. hlm220.221
[5] Drs. Moh Rifa’I, ushul fiqh (Bandung, PT, ALMAA’RIF:1973)
hlm90-91
[7] http://muhammad-fachmi-hidayat.blogspot.com/2013/03/makalah-ushul-fikih-mafhum-mukhalafah.html. diakses pada tanggal 10/03/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar