Senin, 06 Juni 2016

MAKALAH USHUL FIQH (MAFHUM MUKHOLAFAH)



MAKALAH USHUL FIQH
(MAFHUM MUKHOLAFAH)


PENULIS : AHMAD ADABY A.R
NIM          :                130721100061



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Segala perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’anmaupun as-Sunnah. Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath­-kan sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Para ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhalafah  meskipun imam Abu Hanifah mengingkari dalam menggunakan mafhum mukhalafah tersebut.
          Maka dari itu pada makalah ini kami ingin mengulasnya lebih lanjut, semoga apa yang kami terngakan dapat dipahami dengan mudah lagi bermasnfaat. Segala puji hanya untuk Allah,sholawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad bin Abdullah selaku penutup para nabi.
.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.         Apa pengertian dari mafhum mukhalafah?
2.         Apa saja macam-macam mafhum mukhalafah?

C.    TUJUAN
1.         Untuk mengetahui pengertian mafhum mukhalafah
2.         Untuk mengetahui macam-macam mafhum mukhalafah



BAB II
PEMBAHASAN

1.      PENGERTIAN MAFHUM MUKHALAFAH
Mafhum secara bahasa ialah “sesuatu yang dipahami dari suatu teks”, dan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).”
Mafhum al mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir  darimantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab.Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut. Dinamai dalil khitab  karena dalil hukum diambil dari jenis khitab-nya atau karena khitabnya menunjukkan atas hukum itu. (Asy- syaukani, 1933 1799).[1]
Mafhum mukholafah menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, seperti dinukil Mustafa Sa’id al- Khin, adalah penunjukan lafal  atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafhum mukholafahdidapati pada objek hukum yang dikaitkan dengan sifat, syarat, batasan waktu, atau jumlah bilangan tertentu sehingga hukum sebaliknya menurut mayoritas UlamaUshul Fiqh secara sah dapat ditarik bilamana objek hukum itu terlepas dari berbagai kaitan tersebut.Berbeda dengan itu, kalangan hanafiyah menolak mafhum mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum. Alasan mereka yakni bahwa dapat di buktikan dalam al-qur’an di mana apabila mahfum mukhalafah di fungsikan, akan rusaklah pemahaman ayat hukum misalnya ayat 130 surat Al-Imran:
Artinya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah upaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Ali-Imran/ 3:130).
            Mafhum Mukhalafah  dari ayat tersebut berarti halalnya riba yang tidak berlipat ganda, namun pemahaman seperti itu adalah keliru, karena riba yang tidak berlipat gandapun haram hukumnya. Hal itu menunjukan bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat difungsikan dalam al-qur’an.
Menurut mayoritas ulama’ mafhum mukhalafah dapat dijadikan dalil kecuali diketahui bahwa penyebutan sifat, batas waktu, dan jumlah bilangan itu bukan untuk tujuan tasyri’ (pembentukan hukum). Contoh mafhum mukholafah adalah hadist riwayat  Bukori dari Anas yang menceritakan keterangan rasulullah tentang zakat binatang ternak, diantaranya kewajiban menzakatkan binatang ternak kambing as-saimah (yang diternak di padang rumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya). Hadist tersebut menurut jumhur ulama menunjuk dua hukum. Pertama, hukum yang ditarik melalui mantuq, yaitu kewajiban membayar zakat ternak berupa kambing as-saimah.Kedua, hukum yang ditarik melalui mafhum mukhalafah, yaitu tidak ada kewajiban menzakatkan kambing yang al-ma’lufah (diambilkan makananya) dan pendapat ini disepakati oleh sebagian Hanafiyah.[2]
 Mereka yang berbeda pendapat dengan jumhur adalah dalam menentukan apa yang menjadi dalilnya. Jika jumhur berdalilkan mafhum mukholafah, maka kalangan hanafiyah berpendapat bahwa hukum itu bukan berdasarkan mafhum mukhalafah, melainkan dari hukum asalnya.Hukum asalnya ialah tidak ada beban taklif membayar zakat bagi harta berupa binatang selama tidak ada dalil yang mewajibkannya.
Jumhur ulama mensyaratkan beberapa syarat  untuk diterimanya mafhum mukhalafah menjadi dalil. Antara lain, jangan ada dalil khusus selain mafhum mukhalafah yang menjelaskan hukum masalah dimana sifat atau syarat tidak didapati. Jika ada dalil lain yang menjelaskan hukumnya, maka mafhum mukhalafah tidak dapat difungsikan dan yang berlaku adalah kehendak dalil tersebut. Contohnya Ya’la bin Umayyah seorang sahabat ketika mendengar firman Allah surah An-Nisa ayat 100 yang membenarkan mengqashar shalat dalam perjalanan jika dalam keadaan takut kepada musuh, kepada Umar bin Khattab ia berkata: “bagaimana kita bisa mengqashar shalat dalam keadaan aman”. Rupanya Umar in Khaab juga mempertanyakan hal tersebut. Pertanyaan itu timbul tidak lain dari pemahaman mafhum mukhalafah dari ayat tersebut yaitu tidak dibenarkan meng-qashar shalat dalam keadaan aman. Karena memahami mafhum mukhalafah itu, sebagian sahabat merasa ragu, dsebabkan ada sebagian mereka yang mengqashar shalat dalam keadaan aman. Begitu masalah itu disampaikan pada Rasulullah, ia membenarkan pernyataan dua sahabat itu namun ia menjelaskan bahwa mengqashar shalat dalam keadaan aman dibenarkan sebagai hukum pengecualian dengan mengatakan bahwa hal yang serupa itu adalah :shadaqah yang di shadaqah-kan Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya itu.
Syarat lain bahwa mafhum mukhalafahbaru berfungsi bilamana menyebutkan kaitan sifat, syarat, batasan waktu atau jumlah bilangan itu bermaksud untuk tasyri’. Hal itu mengingat kenyataannya tidak selalu penyebutan kaitan-kaitan seperti itu bermaksud untuk tasyri’, tetapi diantaranya ada yang untuk al-taghrib (agar orang menyenanginya), untuk bayan al-waqi’ (menjelaskan yang banyak terjadi), atau untuk al-tanfir (membuat orang tidak suka mendekatinya).[3]
2.      MACAM-MACAM MAFHUM MUKHALAFAH
a.       Mafhum al washfi (sifat)
Mafhum sifat yaitu mempertalikan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya. Misalnya firman allah tentang kifarat membunuh:
maka dengan memerdekakan hamba yang mukmin.” (Q.S. an Nisa (4):92)
Kalau hamba sahaya yang tidak mukmin di anggap tidak cukup.
Menurut Prof. Dr Rachmat Syafei mafhum sifat adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menunjukkan berlakunya kebaikan hukum terhadap yang tidak disebutkan, karena tidak terdapat sifat yang menjadi qayid pada lafadz tersebut.[4]seperti sebuah hadistyang menjelaskan wajibnya zakat terhadap kambing as-saimah. Dan secara mafhumnya mukhalafahnya tidak ada kewajiban zakat terhadap kambing yang ma’lufah (diberi makan).
Hal ini karena tidak ada sifat yang digembalakan secara bebas (sa’um) yang menjadi qayid wajibnya zakat menurut mantuqnya.Yang dimaksud sifat disini adalah mutlaq sifat.
Mafhum sifat dapat dijadikan hujjah dan juga tidak dapat dijadikan hujjah.Mafhum sifat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila suatu hukum dikaitkan dengan suatu sifat maka hukum itu tidak ada apabila sifatnya tidak ada. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Al-asy’ary dan segolongan dari kalangan mutakallimin. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
·           Para ahli bahasa memakai mafhum sifat.
·           Dicantumkannya suatu sifat dan pembatasan suatu kalimat pasti mempunyai kegunaan.
Mafhum sifat tidak dapat dijadikan hujjah karena bukan merupakan suatu metode untuk menetapkan suatu hukum. Apabila suatu hukum dibatasi dengan sifat  tidak berarti bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya sifat tersebut. Apabila ternyata ada suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dibatasi dengan sifat, hal ini tidak berarti hukum itu diambil dari mafhum sifatnya karena ada dalil lain. Pendapat ini dipegang dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, Al-Ghazali,dan al-Amidi dari golongan syafi’iyah. (Al- amidi, 1968,III : 103)
b.      Mafhum al –Ghayah
Mafhum ghayah yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batas).Hukum yang terdapat sesudah adanya ghayah (lafal yang menunjukkan adanya batas) selalu berlainan dengan hukum yang sebelimnya. Misalnya firman Allah:
apabila kamu hendak shalat, cucilah muka-muka kamu dan tangan-tangan kamu sampai kedua siku.”  (Q.S. Al-Maidah (5):6)
Dengan perkataan sampai kedua siku, berarti tidak perlu mencuci lebih dari itu karena batas inilah yang Allah perintahkan.Juga tidak boleh kurang dari siku karena kalau kurang berarti tidak menurut perintah Allah.
Dan hukum yang terjadi sesudah ghayah tersebut berbeda dengan hukum yang terjadi sebelum ghayah. Misalnya, firman Allah swt.dalam surat al-Baqarah : 222 yang berbunyi :
“dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”
 ayat ini menunjukkan seorang suami diperbolehkan mencampuri isterinya setelah isteri tersebut suci dari haid.
c.       Mafhum Al-Syarth
Mafhum al-syarth adalahadalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang (at-Tholaq: 6): Misalnya, firman Allah swt.dalam surat ath-Thalaq:6 yang berbunyi :
“kemudian jika suami mentalaqnya (sesudah talaq kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain.”
ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberi kan nafakah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhum al-mukhâlafah dapat dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas suaminya teidak berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan mengunakan  mafhum as-syarth dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil.

d.      Mafhum ‘adad
Mafhum ‘adad yaitu mempertalikan hukum kepada bilangan (adad) yang tertentu, seperti firman Allah:
orang-orang yang menuduh terhadap wanita-wanita yang baik (berbuat zina)dan mereka tidak membawa empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh) delapan puluh kali dera.” (Q.S. An-Nur (24):4)
Dari ayat ini dapat dipahami apabila orang yang menuduh zina itu mendatangkan empat orang saksi, hukum had  tidak dapat di jalankan.[5]
Mafhum al-'adad adalah penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Misalnya, firman Allah swt.dalam surat an-Nur : 2 yang berbunyi :
 “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”
Dalam ayat ini ditetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus kali bagi siapa saja yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi atau ditambah.Larangan ini adalah didasarkan pada mafhum al-mukhâlafah, yakni jika suatu hukuman (sanksi) telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah atau dikurangi.
e.       Mafhum Al-Laqob
Mafhum al-Laqab adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim ‘alam atau isim nau’.[6] Contohnya yaitu seperti sabda Nabi SAW. seperti lafadz “fi al-Ghanami zakatun”.  Artinya pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqob maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan selain gandum.[7]

f.       Mafhum al-Hashr
Mafhum al-hashr adalah penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innamâ, illâ", dan lain sebagainya. Misalnya, firman Allah swt. yang berbunyi QS. an-Nisa' ayat 171:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu , dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya . Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Mafhum al mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir  darimantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab.Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut. Dinamai dalil khitab  karena dalil hukum diambil dari jenis khitab-nya atau karena khitabnya menunjukkan atas hukum itu.
Macam-macam mafhum mukhalafah diantaranya adalah:
a.       Mafhum al washfi (sifat)
Mafhum sifat yaitu mempertalikan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya.
b.      Mafhum al –Ghayah.
Mafhum ghayah yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batas).Hukum yang terdapat sesudah adanya ghayah (lafal yang menunjukkan adanya batas) selalu berlainan dengan hukum yang sebelumnya.
c.       Mafhum Al-Syarth
Mafhum al-syarth adalah adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang 
d.      Mafhum ‘adad
Mafhum ‘adad yaitu mempertalikan hukum kepada bilangan (adad) yang tertentu,
e.       Mafhum Al-Laqob
Mafhum Al- Laqob adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim 'alam atau isim nau'.


DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. Rachmat Syafei, MA. ILMU USHUL FIQH(Bandumg: CV Pustaka Setia,2010)
Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., USHUL FIQH (Jakarta:Kencana,2005)
Drs. Moh Rifa’I, ushul fiqh (Bandung, PT, ALMAA’RIF:1973)
Irsyad al-Fuhul. Imam as-Syaukani. Juz 2,



[1] Prof. DR. Rachmat Syafei, MA.ILMU USHUL FIQH(Bandumg: CV Pustaka Setia,2010) hlm.216-217
[2] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., USHUL FIQH (Jakarta:Kencana,2005) hlm215-216
[3]Prof. Dr. Satria Effendi. Ibid ,. Hlm218
[4] Prof. Dr. Rachmat syafei, ibid.. hlm220.221
[5] Drs. Moh Rifa’I, ushul fiqh (Bandung, PT, ALMAA’RIF:1973) hlm90-91
[6] . Irsyad al-fuhul. Imam as-Syaukani. Juz 2 hal. 512

Tidak ada komentar:

Posting Komentar