Senin, 06 Juni 2016

AL-KHOSH WA DILALATUHU



JUDUL     : AL-KHOSH WA DILALATUHU
PENULIS : AHMAD ADABY A.R


BAB II
PEMBAHASAN

Al Khosh wa dilalatuhu
Jika di dalam nash terdapat lafal yang khusus, maka hukumnya ditetapkan secara pasti atas yang ditunjukkannya, selama tidak ada dalil yang mentakwil dan menghendaki makna yang lain. Jika terdapat lafal yang mutlak, maka penetapan hukum harus secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Jika berbentuk perintah maka harus diartikan wajib atas apa yang diperintahkan selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti wajib. Jika berbentuk larangan maka harus diartikan haram atas apa yang dilarang selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti haram.

A.      Lafal khusus
adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satuan tertentu, berupa orang seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki laki atau beberapa satuan yang bermacam macam dan terbatas, seperti tiga belas atau seratus atau kaum atau golongan dan lafal lain yang menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.
Kadang kadang lafal khusus itu berbentuk mutlak tanpa batasan, dibatasi dengan suatu batasan,  berbentuk tuntutan melakukan perbuatan seperti "ittaqil laaha" (bertaqwalah kepada Allah), dan kadang kadang berbentuk larangan melakukan perbuatan seperti "walaa tajassasuu" (janganlah kamu memata matai), maka semua itu masuk dalam kelompok khusus yang mutlak, terbatas, perintah dan larangan.
Hukum lafal umum secara global adalah jika ia terdapat dalam nash syara' yang menunjukkan secara pasti kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara hakiki dan hukum itu ditetapkan karena petunjuknya secara pasti, bukan dugaan. Jadi hukum yang diambil dalam firman Allah:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,” (Al Maidah : 89)
Adalah kewajiban memberi makan sepuluh orang miskin, tidak boleh kurang atau lebih. Hukum yang diambil dari hadist nabi:
وفي كل اربعين شاة شاة
Jika dua nash itu berbeda dalam hukum, sebab atau kedua duanya, maka lafal yang mutlak tidak boleh diartikan terbatas, tapi yang mutlak diamalkan sebagaimana kemutlakannya pada tempatnya dan yang terbatas diamalkan menurut batasan pada tempatnya pula. Karena perbedaan hukum dan sebab atau salah satunya kadang kadang sebagai alasan perbedaan bebas dan terbatasnya lafal itu. Ini adalah pendapat sekelompok hanafi dan sebagian kelompok maliki. Sedangkan pendapat kelompok syafi'i sepakat dengan mereka pada perbedaan dua nash dalam hukum dan sebab saja. Jika perbedaan itu pada sebab tetapi sama dalam hukumnya, maka lafal yang mutlak dipahami dengan yang terbatas.
Contoh dua nash yang berbeda hukumnya tapi sama dalam sebabnya adalah firman Allah Swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. . . .” (Al Maidah:6)
Dan firmam Allah:
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.” (An Nisa’:43)
"Sebab" yang terdapat dalam kedua ayat tersebut dalah satu, yaitu bersuci untuk mendirikan sholat. "Hukum" pada ayat pertama adalah kewajiban membasuh, sedangkan pada ayat kedua adalah kewajiban mengusap.
Juga seperti firman Allah:
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
ibu-ibu istrimu (mertua) (An Nisa’:23)
Dan firmam Allah:
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri.”(An Nisa’:23)
Contoh dua nash yang sama dalam hukum tetapi berbeda dalam sebabnya adalah firman Allah tentang denda tebusan akibat membunuh dengan keliru (tidak sengaja)
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (An Nisa’:92)
Dan firmam Allah
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” (Al Mujadilah:3)
Juga firman Allah tentang kesaksian dalam akad utang piutang:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu).” (Al Baqarah:282)
Juga firman Allah tentang kesaksian dalam akad merujuk istri:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (At Thalaq:2)
Dalam dua ayat yang pertama, "hukum" adalah sama, yaitu kewajiban memerdekakan hamba sahaya. Sedangkan "sebab" kewajiban itu berbeda: pertama pembunuhan karena tidak sengaja dan kedua, keinginan orang yang berzihar untuk merujuk istrinya.
Dalam dua ayat yang kedua, "hukum" adalah sama, yaitu wajib mempersaksikan dengan dua orang orang saksi. Sedangkan "sebab" kewajiban itu berbeda: pertama ialah utang piutang dan kedua, ialah merujuk istri yang telah dizihar.
Maka lafal yang terbatas tidak dianggap menjelaskan kepada lafal yang mutlak kecuali dalam satu gambaran: yaitu jika temanya baik hukum maupun sebabnya sama. Sehingga mutlak tidak dipahami secara terbatas tetapi mutlak pada tempatnya dipahami menurut kemutlakannya dan terbatas dipahami menurut batasannya. Karena perbedaan hukum kadang menjadi sebab dalam perbedaan mutlak dan terbatasnya. Artinya, hukum pada ayat adalah kewajiban membasuh kedua tangan yang dibatasi dengan "sampai siku", tetapi hukum pada ayat tayammum adalah lewajiban mengusap kedua tangan yang tidak dibatasi dengan sampai siku. Karena tayammum adalah rukhsah yang ditetapkan sebagai keringanan ketika tidak ada air, maka diserupakan dengan keringanan pula dalam pemutlakan tangan, sehingga apa yang disebut tangan dianggap cukup untuk diusap. Demikian pula keadaannya jika sebab hukumnya berbeda. Mungkin karena pembunuhan yang tidak sengaja dituntut untuk membatasi hamba sahaya dengan "iman" adalah memberatkan hukuman, sedangkan keinginan orang yang berzihar untuk kembali tidak dituntut pemberatan ini, sehingga cukup baginya memerdekakan hamba sahaya yang bagaimanapun.[1]

B.     Al-Amru
1.         Pengertian Al Amru
Secara etimologis, al amru adalah suruhan, perintah, atau tuntutan. Konsep Al Amru dalam ushul fiqh berbeda dengan konsep Al Amru pada umumnya. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan al amru sebagaimana yang tertera dalam kaidah berikut:
طلب الفعل من الاعلى الادنى
"Satu tuntutan untuk mengerjakan atau berbuat sesuatu dari jurusan yang lebih tinggi terhadp yang lebih rendah"
Atau al amru dapat diartikan sebagai perintah seseorang yang mempunyai strata sosial tinggi kepada seseorang yang berstatus sosial lebih rendah agar melakukan sesuatu. Perintah itu dituangkan dalam keppres (keputusan presiden) atau perpres (peraturan presiden). Dalam hal ini presiden kedudukannya lebih tinggi dari pada rakyat. Atau seorang guru, yang memiliki kedudukan lebih tinggi memerintahkan murid murid untuk melakukan sesuatu, seperti menulis, membaca dan lain sebagainya.
Dalam kaidah usul fiqh tidak semua al amru dengan serta merta berkonotasi wajib. Oleh karena itu, ushul fiqh masih merumuskan kembali tentang pembahasan Al amru, apakah berkonotasi wajib atau tidak. Hal iti sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الاصل فى الامر للطلب
"Perintah itu asalnya hanya sekedar menunjukan tuntutan"[2]
2.         Macam macam amr
Bentuk amar (perintah) itu adakalanya keluar dari makna yanh asli dengan ucapan kerjakanlah dan digunakan untuk makna yang bermacam macam. Perintah menurut bentuknya sebagai berikut:
1.        Untuk menunjukan nadb (sunnah)
Misalnya:
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu (An Nuur 33)
perintah ini tidak menunjukan wajib sebab kalau menerima cicilan dihukumi wajib, berarti memaksa kepada orang yang mempunyai budak untuk melepaskan budaknya. Perintah ini hanya sunnah yang dapat memberikan dorongan kepada budak budak untuk mengubah nasibnya jadi merdeka.
2.        Untuk do'a
Misalnya:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (al Baqarah 201)
Perintah manusia kepada Allah dinamakan do'a. Jadi makna tersebut diatas, ialah kita memohon kepada Allah agar memberikan kebajikan di dunia dan di akhirat.
selanjutnya kalau permintaan dengan ucapan "kerjakan" ditunjukkan kepada yang setingkat, yaitu manusia dengan manusia dinamakan "iltimas" yaitu mengharap, misalnya "silahkan duduk"
3.        Untuk mengancam
Misalnya:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki. (Fushilat 40)
Perintah ini bukan menunjukan wajib atau sebaliknya bebas berbuat, melainkan menunjukan ancaman terhadap orang yang tidak taat kepada Allah yang berbuat sekehendaknya sendiri, dengan ancaman siksa di akhirat.
3.         Bentuk Amr
Bentuk amr ada lima macam:
1.         Dengan menggunakan fiil amr, misalnya:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
Dan dirikanlah salat. (Al Baqarah:43)
2.         Dengan fiil mudhari' yang diberi lam amar. Misalnya:
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).(Al Hajj:29)
3.         Dengan menggunakan isim fiil amr. Misalnya:
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (Al Maidah:105)
4.         Dengan menggunakan isim masdar pengganti fiil. Misalnya:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu. (Al Baqarah:83)
5.         Dengan menggunakan kalimat berita. Misalnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah:228)
Kalimat yatarabbashna = menunggu dalam ayat tersebut di atas, bentuknya sebagai khabar dan memakai fiil mudhari', tetapi maksudnya memerintah yaitu "hendaklah mereka menunggu" untuk ber iddah tiga kali suci dari haid.
4.         Perulangan dalam perintah
1.         Amr tidak menghendaki berulang ulang:
الأصل فى الأمر لايقتضى التكرار
"Pada dasarnya, perintah itu tidak menghendaki perulangan pekerjaan yang dituntut"
Artinya jika perintah itu sudah dikerjakan sekali saja, berarti sudah cukup memenuhi tuntutan perintah itu. Misalnya:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (Al Baqarah:196)
Apabila perintah ini telah dilaksanakan, meskipun hanya sekali, berarti telah cukup memenuhi, kecuali kalau ada dalil yang mengubah kewajiban itu.
2.         Amr (perintah) menghendaki berulang ulang:
الاصل فى الامر يقتصى التكرار مدة العمر مع الامكان
"Pada dasarnya, perintah itu menghendaki berulang ulangnya perbuatan yang diminta, selagi masih ada kesanggupan selama hidup"
Alasannya dalam nahi (larangan) tuntutan meninggalkan perbuatan berulang ulang setiap waktu, maka berulang ulangnya tuntutan tersebut juga berlaku dalam amr (perintah) karena kedua duanya sama sama tuntutan.
Alasan tersebut tidal tepat sebab walaupun amr dan nahi kedua duanya menghendaki tuntutan, tetapi tujuannya berbeda. Amr menghendaki terwujudnya perbuatan, sedangkan nahi menghendki ditinggalkannya perbuatan. Tuntutan amr itu dapat terlaksana dengan mengerjakan sekali saja, sedangkan dalam nahi tuntutan itu tidak dapat terpenuhi, kecuali dengan meninggalkan perbuatan itu selamanya. Karena itu mempersamakan amr dan nahi yang berbeda tujuannya itu tidak benar.
Perbedaan pendapat antara yang menghendaki berulang ulangnya pekerjaan dan yang tidak menghendakinya ialah mengenai amr (perintah) yang tidak disertai illat, sifat dan syarat.
Tetapi jika amr itu disertai oleh satu diantara illat, sifat maupun syarat maka keadaannya sebagai berikut:
a)        Jika amr itu dihibungkan dengan illat maka harus mengikuti illat tersebut. Jika ada illat, ada hukum. Jika berulang ulang illat, berulang ulang pula hukum tersebut, sebagaimana kaidah ushul fiqh menyatakan:
"Hukum itu selalu mengikuti illat, baik dikala ada illat maupun tidak ada."
b)        Apabila amr dihubungkan dengan syarat, atau sifat berulang ulang pula pekerjaan yang dituntut, demikian jika sifat dan syarat itu merupakan illat.
Contoh sifat:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,(An Nuur:2)
Contoh syarat:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
dan jika kamu junub maka mandilah,(Al Maidah:6)
c)        Jika amr dihubungkan dengan dalil lain, misalnya:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
Dan dirikanlah salat,(Al Baqarah:43)
Perintah ini menunjukkan kesegeraan wajib dan tiap tiap perintah asalnya cukup dikerjakan sekali saja. Jadi, mestinya shalat wajib itu cukup dilaksanakan sekali saja. Tetapi disamping perintah ini (shalat wajib).
5.         Kesegeraan dalam amr
Perintah adakalanya ditentukan waktunya dam adakalanya tidak. Jika suatu perintah disertai waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, perintah semacam ini mesti dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Tetapi jika tidak dihubungkan dengan waktu tertentu, perintah itu berjalan sesuai dengan dasar pokoknya, yaitu:
الاصل فى الأمر لا يقتضى الفورا
"Pada dasarnya perintah itu tidak dilaksanakan dengan segera."
Karena itu boleh ditunda mengerjakannya dengan cara yang tidak melalaikan pekerjaan itu, yakni pokoknya amr itu menuntut untuk dilaksanakan. Sungguhpun waktunya ditentukan, ada antara bagi awal dan akhirnya. Kita dapat mengambil waktu yang akhir selagi belum keluar dari batas waktu yang ditentukan, seperti perintah mengqadha' puasa ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau bepergian, sebagaimana dalam Al Qur'an:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah:184)
Sebagian ulama menyatakan bahwa perintah itu berlaku sesegera mungkin.
الاصل فى الأمر يقتضى الفور
"Pada dasarnya perintah itu menghendaki pelaksanaan yang segera"
Karena itu perintah mesti segera dilaksanakan manakala sudah ada kesanggupan mengerjakannya, seperti perintah Allah kepada malaikat yang tersebut dalam Al qur'an:
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis. (Al Baqarah:34)
Iblis yang tidak mau sujud kepada adam dengan segera dilaknat Allah, diperintahkan turun dari syurga sebagaimana yang telah tersebut dalam surah Al A'raf ayat 13 "pergilah dari tempat ini karena tempat ini tidak sepatutnya bagi engkau menyombongkan diri.
Demikianlah alasan yang menyatakan bahwa perintah itu mesti dilaksanakan dengan segera. Tetapi, alasan tersebut sebenarnya tidak tepat karena perintah sujud tersebut sebenarnya telah ditentukan juga waktunya, yaitu setelah ditiupkan ruh ke dalam tubuh nabi Adam, sebagaimana firman Allah:
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Al Hijr:29)
Jadi perintah sujud kepada nabi Adam sebenarnya suatu perintah (amr) yaitu ditentukan waktunya juga, yaitu setelah ditiupkannya ruh ke dalam tubuh nabi, oleh karena adanya qarinah ini, sujud tadi harus dilakukan dengam segera.
6.             Wasilah perbuatan
Sesuatu perintah tidak akan terlaksana, kecuali disertai sesuatu yanh dapat mewujudkan terlaksananya perintah itu. Sesuatu inilah yang disebut wasilah (perantara), baik berupa perbuatan maupun alat dan benda sebagainya. Hubungan amr dengan wasilah juga merupakan salah satu dasar dalam amr.
الأمر بالشئ امربوسا ئله
"Memerintahkan sesuatu, berarti memerintahkan pula seluruh perkaranya."
Kalau perantaraan ini tidak diperintahkan, berarti diperkenankan meninggalkan kewajiban yang dimaksud, sebab kita mengetahui bahwa kewajiban ini tidak akan terlaksana, kecuali melalui perantara. Padahal meninggalkan kewajiban ini dilarang. Demikian pula meninggalkan sesuatu yang dapat menyampaikan terlaksananya kewajiban.
Misalnya kita diperintahkan oleh syara' untuk mengerjakan shalat. Diantara syarat syah sholat ialah menutup aurat. Maka menutup aurat inipun diperintahkan juga. Untuk memenuhi perintah menutup aurat ini tidak dapat terlaksana apabila kita tidak mendapat penutupnya. Maka berusaha mendapat penutupnya itupun diperintahkan juga.
wasilah ini ada 3:
a. Wasilah yang timbulnya dari syara' (wasilah syari'ah) seperti memerintahkan sholat, berarti meliputi perintah menutup aurat
b. Wasilah yang timbulnya dari adat kebiasaan (wasilah 'urfiyah) seperti perintah naek loteng berarti meliputi perintah meletakan tangga
c. Wasilah yang timbulnya dari akal (wasilah 'aqliyah) seperti perintah menghadap, berarti meliputi perintah untuk tidak membelakangi.[3]

C.     An-Nahyu
1.         Pengertian An Nahyu
Nahi menurut bahasa artinya "mencegah" atau "melarang"
Sedangkan menurut syara' ialah:
طلب النرك من الأعلى ال الأدنى
"Merintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya dari orang yang lebih rendah tingkatannya."
Bentuk nahi hanya satu, yaitu fiil mudhari' yang disertai "la nahi". Misalnya لا تفعل janganlah mengerjakan.[4]
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara' itu berbentuk nahi atau berbentuk berita yang bermakna larangan, maka berarti haram. Yakni menuntut untuk melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.
Firman Allah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.(Al Baqarah:221)
Memberikan pengertian haram bagi seorang laki laki muslim mengawini wanita musyrik.
Apabila terdapat alasan yang dapat membelokkan makna hakiki kepada makna majazi maka pemahamannya adalah petunjuk alasan tersebut seperti do'a dalam firman Allah
ربنا لا تزغ قلوبنا
Ya tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan.
Jadi berarti makruh dalam firmam Allah:
لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. (Al Maidah:101)
Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat bahwa bentuk larangan itu termasuk lafal yang memiliki arti banyak. Bentuk larangan itu sama halnya dengan bentuk perintah, perbedaan keduanya juga sama.
Larangan itu menuntut untuk meninggalkan semuanya dengan segera. Karena yang dilarang itu tidak dapat dibuktikan kecuali jika selamanya. Artimya jika jiwa seorang mukallaf mendorong untuk berbuat yang dilarang, maka larangan itu mencegahnya. Sedangkan pengulangan sudah semestinya untuk membuktikan kepatuhan pada larangan itu. Demikian juga dengan "segera", karena larangan berbuat pada dasarnya adalah keharaman perbuatan itu sebab terdapat bahaya. Ini wajib seketika, karena seseorang yang dilarang berbuat sesuatu, ketika ia melakukannya meskipun sekali kapan saja, maka tidak terbukti bahwa ia patuh. Maka, pengulangan untuk tidak berbuat dan segera adalah termasuk konsekwensi larangan. Jadi, bentuk larangan secara mutlak bermakna segera dan berulang ulang (selalu), sedangkan bentuk perintah secara mutlak tidak berarti segera dan berulang ulang.[5]

2.      Macam macam arti nahi
a)      Untuk do’a
Misalnya:
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.(Al Baqarah:286)
Perkataan "janganlah engkau hukum kami...." bukan menunjukan larangan sebab manusia tidak berhak melarang Allah karena manusia berada di bawah kekuasaanNya, tetapi perkataan itu menunjukan permohonan sebagai do'a.
b)      Untuk memberikan pelajaran
Misalnya:
لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. (Al Maidah:101)
Larangan ini sebagai pelajaran agar kita jangan selalu menanyakan sesuatu yang akan merugikan diri, terutama hal hal yang menyangkut hubungan antara manusia dan manusia agar hubungan itu senantiasa baik antara satu dengan yang lain.
c)      Untuk memutusasakan
Misalnya:
لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. (At Tahrim:6)
Untuk memutusasakan mereka bahwa pada hari kiamat tidak ada gunanya lagi membela diri, tidak dapat lagi berharap untuk memperoleh ampunan karena pada hari kiamat pintu tobat sudah ditutup.

3.      Masa berlakunya larangan

النهي المطلق يقتضى الدوام فى جميع الأزمنة
"Larangan yang mutlak berarti menunjukan kekalnya larangan itu untuk selama lamanya sepanjang masa."
Larangan itu terbagi dua, yaitu: (1) larangan yang mutlak (bebas) yang tidak dibatasi waktunya dan (2) larangan yang terbatas (muqayyad) yang waktunya ditentukan.
a. Larangan yang bersifat mutlak, yaitu larangan yang tidak berbatas dan berlaku untuk selama lamanya. Karena larangan semacam ini mengandung mafsadat (keburukan keburukan yang dilarangNya). Keburukan itu wajib dihindari selamanya.
Firman Allah:
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,(Al Baqarah:195)
Larangan semacam ini mutlak, artinya tidak dengam syarat dan tidak dibatasi waktunya, yakni berlaku untuk selama lamanya jadi menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan itu hukumnya haram dalam keadaan bagaimana dan waktu apa pun.
b. Larangan yang terbatas (muqayyad) yakni berlaku selama waktu yang ditentukan.
Larangan yang asalnya mesti ditinggalkan untuk selama lamanya dapat berubah menjadi terbatas untuk sementara waktu jika ada keterangan yang menunjukan kesitu, misalnya:
لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (An Nisa’:43)
Larangan pada dasarnya mesti dijauhi dalam semua waktu, tetapi dalam ayat tersebut di atas, terdapat keterangan "sedang kamu dalam keadaan mabuk," untuk demikian disebut suatu "batasan". Jadi larangan shalat itu terbatas dalam keadaan mabuk, wajib kembali shalat seperti biasa, sebab kita maklum bahwa shalat itu diwajibkan atas kita lima kali sehari semalam.[6]



























BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Al Khosh wa dilalatuhu
Jika di dalam nash terdapat lafal yang khusus, maka hukumnya ditetapkan secara pasti atas yang ditunjukkannya, selama tidak ada dalil yang mentakwil dan menghendaki makna yang lain. Jika terdapat lafal yang mutlak, maka penetapan hukum harus secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Jika berbentuk perintah maka harus diartikan wajib atas apa yang diperintahkan selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti wajib. Jika berbentuk larangan maka harus diartikan haram atas apa yang dilarang selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti haram.
Lafal khusus adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satuan tertentu, berupa orang seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki laki atau beberapa satuan yang bermacam macam dan terbatas, seperti tiga belas atau seratus atau kaum atau golongan dan lafal lain yang menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.
Secara etimologis, al amru adalah suruhan, perintah, atau tuntutan. Konsep Al Amru dalam ushul fiqh berbeda dengan konsep Al Amru pada umumnya. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan al amru sebagaimana yang tertera dalam kaidah berikut:
طلب الفعل من الاعلى الادنى
"Satu tuntutan untuk mengerjakan atau berbuat sesuatu dari jurusan yang lebih tinggi terhadp yang lebih rendah"
1.      Macam macam amr
a)      Untuk menunjukan nadb (sunnah)
b)      Untuk do'a
c)      Untuk mengancam
2.      Bentuk Amr
a)     Dengan menggunakan fiil amr, misalnya:
b)     Dengan fiil mudhari' yang diberi lam amar. Misalnya:
c)     Dengan menggunakan isim fiil amr. Misalnya:
d)     Dengan menggunakan isim masdar pengganti fiil. Misalnya:
e)     Dengan menggunakan kalimat berita. Misalnya:
Sesuatu perintah tidak akan terlaksana, kecuali disertai sesuatu yanh dapat mewujudkan terlaksananya perintah itu. Sesuatu inilah yang disebut wasilah (perantara), baik berupa perbuatan maupun alat dan benda sebagainya. Hubungan amr dengan wasilah juga merupakan salah satu dasar dalam amr.
الأمر بالشئ امربوسا ئله
"Memerintahkan sesuatu, berarti memerintahkan pula seluruh perkaranya."
a. Wasilah yang timbulnya dari syara' (wasilah syari'ah) seperti memerintahkan sholat, berarti meliputi perintah menutup aurat
b. Wasilah yang timbulnya dari adat kebiasaan (wasilah 'urfiyah) seperti perintah naek loteng berarti meliputi perintah meletakan tangga
c. Wasilah yang timbulnya dari akal (wasilah 'aqliyah) seperti perintah menghadap, berarti meliputi perintah untuk tidak membelakangi.
Nahi menurut bahasa artinya "mencegah" atau "melarang"
Sedangkan menurut syara' ialah:
طلب النرك من الأعلى ال الأدنى
"Merintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya dari orang yang lebih rendah tingkatannya."
Bentuk nahi hanya satu, yaitu fiil mudhari' yang disertai "la nahi". Misalnya لا تفعل janganlah mengerjakan.
Macam macam arti nahi Untuk do’a
a)        Untuk memberikan pelajaran
b)        Untuk memutusasakan



DAFTAR PUSTAKA

Rifa’I, Drs.Moh. 1973. Ushul Fiqh. Penerbit PT Alma’arif:Bandung
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh. PT Amani:Jakarta
Waid, Abdul. 2014. Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh. PT IRCiSoD:Jokjakarta


[1]. Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta, Pustaka Amani, 2003) 286
[2]. Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh (Jogjakarta, IRCiSoD, 2014) 52-53
[3]. Drs.Moh.Rifa’i Ushul Fiqh, (Bandung, PT Alma’arif, 1987) 24-38
[4]. Ibid  42
[5]. Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh . . . 289-290
[6]. Drs.Moh.Rifa’i Ushul Fiqh . . . 44-47

1 komentar:

  1. untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
    thanks berat udah pada berkunjung kesini :)

    BalasHapus