PENULIS : AHMAD ADABY A.R
JUDUL : DEFINISI, LAFADZ-LAFADZ
Am, DALALAH AM, TASHISHUL Am, DALILUT TAHSHIS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Lafadh ‘amm ialah suatu lafadh yang menunjukkan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.Pembahasan
lafadh ‘amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena
lafadh ‘amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat
ulama’ dalam penetapan hokum. Di lain pihak, sumber hokum islam pun, Al-quran
dan Sunnah.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa
itu pengertian dari amm?
2.
Apa
saja lafal-lafal dari amm?
3.
Seperti
apa Dilalah lafadh ‘Amm?
4.
Apa
tasishul amm?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
lafazh
Pembahasan lafadh ‘amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan
tersendiri, karena lafadh ‘amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang
perdebatan pendapat ulama’ dalam penetapan hokum. Di lain pihak, sumber hokum
islam pun, Al-quran dan Sunnah, dalam banyak hal memakai lafadh umum yang
bersifat universal.
Hanafi mengartikan ‘am sebagai lafazh yang digunakan untuk
menunjukkan suatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak
dengan jumlah yang tidak terbatas.[1]
Lafadh ‘amm ialah suatu lafadh yang menunjukkan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama’
usul fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut:[2]
1.
Menurut
ulama’ hanafiyah:
كل لفظ ينتظم جمعا سواءأكان با للفظ او
بالمعنى
Artinya:
“setiap lafadh yang mencakup banyak, baik secara lafadh maupun
makna”. (Al-Badawi
I:33)
2.
Menurut
ulama’ Syafi’iyah di antaranya Al-Ghazali:
الفظ الواحدالدال من جهة واحدة على شيئين فصا عدا
Artinya:
“satu lafadh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih”.
3.
Menurut
Al-Bazdawi:
الفظ المستغر ق جميع ما يصلح له بوضع واحد
Artinya:
“ lafadh yang mencakup semua yang cocok untuk lafadh tersebut
dengan satu kata”.
Kelompok mayoritas ulama’
berpendapat bahwa dilalat al-amm terhadap satuan-satuannya bersifat zhanny dan
karenanya boleh mwn takhsis dengan dalil yang zanny seperti khabar ahad dan
qiyas.Mereka beragumen bahwa para sahabat nabi telah bersepakat (ijma’sukutiy)
bahwa aspek amm dari al-quran dapat di taksis dengan hadist ahad, dan tidak ada
satupun sahabat Nabi yang mengingkari hal demikian.[3]
B.
Lafadz-lafadz
‘amm
Lafal umum, seperti dijelaskan Musthafa Sa’id al-Khin, Guru Besar
Usul Fiqh Universitas Damaskus, dibagi kepada tiga macam:
Ø Lafal umum yang di kehendaki keumumannya karena ada dalil atau
indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan).
Misalnya ayat 6 surat Hud:
وما من دابة فى الا رض الا على الله رزقها ويعلم مستقرها
دعها كل فى كتاب مبين
Artinya:
“Dan
tidak ada suatu binatang melata pun dibumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya.Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Laut Mahfuzh).”(Q.S Hud: 6)
Yang di maksud dengan binatang
melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa
kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah
Allah yang memberi rezekinya.
Ø Lafal umul pada hal yang di maksud adalah makna khusus karena ada
indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya ayat 120 surat
al-Taubah:
ما كان لآهل المد ينة ومن حولهم من الآعراب أن يتخلفواعن
رسول الله ولا ير غبوابأ نفسهم عن نفسه ......
Artinya:
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab
Baduwi yang beriman disekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi
berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka dari
pada mencintai Rasul.”
(at-Tahbah: 120)
Sepintas lalu dipahami bahwa ayat
tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang
Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut
menyertai Rasulullah pergi berperang.Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut
bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.[4]
Ø Lafal umum yang terbatas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya ayat
228 Surat al-Baqarah:
والمطلقات
يتربصن بأ نفسهن ثلثة قروء ......
Artinya:
“Dan
wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (Q.S al-Baqarah: 228)
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita-wanita
yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwayang dinaksud
adalah makna umumnya itu atau sebagian cakupannya. Dalam hal ini, menurut
jumhur ulama Usul Fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Adib Shaleh, kaidah Usul
Fiqh yang berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada pen takhshish nya, ayat itu
harus diterapkan ke pada semua satuan cakupannya secara umum.
Berkaitan dengan lafal umum, perlu dibahas tentang takhsis.Seperti
di kemukakan Khudari Bik dalam bukunya Usul al-Fiqh, takhsis adalah penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan suatu lafal umum adalah sebagian dari cakupannya,
bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari
satuan-satuan yang dicakup oleh lafal umum dengan dalil.
Di antara dalil-dalil pen takhsis, adalah takhsis dengan ayat
Al-Quran, takhsis dengan sunnah, dan takhsis dengan qiyas. Lafal umum setelah
di takhsis, keumumannya menjadi khusus (makna sebagian).Makna sebagian yang
masih tinggal itulah sesungguhnya yang dimaksud oleh ayat umum semenjak
diturunkan atau oleh hadist semenjak diucapkan.Para ulama usul fiqh sepakat
bahwa ayat-ayat al-quran, dan hadist mutawatir (hadis yang di riwayatkan
sekelmpok orang banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat mentakhsis
ayat-ayat umum dalam al-quran.
Demikian pula hadist masyhur (hadist yang dimasa sahabat adalah
hadist ahad, yaitu diriwayatkan oleh perorangan, tetapi kemudian menjadi hadist
mutawatirpada periode tabi’in), di akui sebagai pen-takhsis, karena dimulai
sebagai dalil-dalil yang sama kuatnya.
Perbedaan pendapat terjadi pada hadist ahad, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh seorang yang tidak mencapai tingkat hadist mutawatir atau
hadist amsyhur, apakah sah sebagai pen-takhsis atautidak sah.Perbedaan pendapat
ini berawal dari perbedaan dalam menilai bobot dalalat (penunjukan) lafal umum
kepada seluruh satuannya.
Menurut Abu Hanifah, penunjukan lafal umum kepada seluruh satuan
yang dicakupkan adalah pasti (qath’i). keqath’ian nya berlaku selama
belumterbukti pernah di takhsis oleh dalil yang sama bobotnya, seperti oleh
ayat al-quran, hadist mutawatir atau hadist masyhur.
Aliran ini menggunakan alasan kebahasaan, bahwa suatu lafal
bilamana telah ditetapkan oleh penciptanya untuk seluruh cakupannya, maka lafal
itu menunjuk kepada seluruh satuannya itu secara pasti dan dalam pemakaiannya
harus sesuai dengan makna penciptaannya itu, karena makna itulah makna hakikat
dari lafal itu.Jika seseorang bermaksud menggunakan suatu lafal kepada selain
pengertian aslinya itu, maka perlu diiringi dengan tanda-tanda yang menunjukkan
kepeda pengertian yang dimaksudnya itu.Selama tidak ada tanda, maka secara
qath’I (pasti) kta ahrus mengartiakan dengan pengertian hakikatnya, yaitu makna
umum.Pengertian seperti inilah, seperti dikemukakan Abu Zahrah, yang dimaksud
dengan qath’I dari lafal umum.Adapun
adanya kemungkinan pengertian lain yang tidak didukung oleh dalil atau
hanya didasarkan atas khayal (imajinasi), tidak memengaruhi kepastian
penunjukan suatu lafal kepada pengertiannya. Atas dasar itu, kalangan Hanafiyah
tidak menerima hadis ahad sebagai pentakhsis ayat-ayat umum dalam
al-quran.Alasannya karena antara pen-takhsis dan yang di takhsis harus seimbang
kekuatannya.Sedangkan hadist ahad tidak seimbang dengan ayat-ayat umum dalam
al-quran.
Hadist ahad meskipun dalalahnya bisa qath’I, namun dari segi
kebenaran datangnya dari Rasullullah adalah zhanni (dugaan kuat, tidak mencapai
tingkat pasti). Sedangkan ayat-ayat umum dalam al-quran, baik dari segi
kebenaran datangnya dari allah maupun dari segi penunjukkannya kepada
pengertian umum adalah qath’I. sesuatu yang zhanni tidak kuat men takhsis dalil
yang qath’i.[5]
Berbeda dengan itu mayoritas ulama secara tegas menagtakan bahwa
lafal umum terhadap seluruh satuan cakupannya bersifat zhanni karena
kemungkinan besar ayat-ayat umum itu telah pernah di takhsis oleh dalil yang
sama kuat dengannya. Menurut mereka, berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa
pada umumnya lafal-lafal umum dalam al-quran terbukti telah di takhsis,
sehingga popular dikalangan para ahlinya ungkapan bahwa:
“tidak ada teksyang umum kecuali telah di takhsis”
Berdasarkan hal tersebut, jumhur ulama Usul Fiqh berpendapat, lafal
umum dalama al-quran dapat di takhsis oleh hadis ahad. Mereka beralasan antara
lain dengan merujuk kepada kesepakatan para sahabat untuk mentakhsis ayat-ayat
al-quran dengan hadis ahad. Contohnya ayat 23, dan 24 surat An-Nisa’:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ
تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا (النساء /3: 23)
Artinya:“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Selanjutnya
Allah berfirman:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ
تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Artinya:“Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban”
Ayat
yang disebut terakhir ini bersifat umum karena mencakup bolehnya memadu istri
dengan bibinya atau tantenya. Namun demikian, keumuman ayat tersebut oleh para
sahabat telah di taksis dengan hadist ahad
yang artinya:
عَنْ
أَبِى هريرة قل نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن تنكح المرأة على عمتها أو
خالتها {رواه البخارى}
Artinya: “dari abu khurairah berkata, Rasulullah SAW melarang untuk
menikahi (memadu) wanita bersama bibinya dan tidak boleh pula bersama tantenya”
( HR. Bukhari)
Dengan demikiyan, hukum haram memadu wanita dengan bibi atau tantenya telah
dikeluarkan (di-takhsis) dari keumuman ayat tersebut.
Perbedaan pendapat tersebut telah berpengaruh besar kepada perbedaan
pendapat ulama dalam bidang fiqh. Antara lain contohnya, seperti dikemukakan
surat al-din ‘Umar Ibnu Ishaq Al-Ghaznawi (w. 793H), ahli ushul fiqh
perbandingan dari kalangan Hanafiyah, adalah surat N-Nahl ayat 80:
وَمِنْ أَصْوَافِهَا
وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ ( النحل/ 16: 8)
...dan (dijadikannya pula) dari bulu
domba, bulu unta, dan bulu kambing yang di sembelih atau yang berupa bangkai
(tanpa di sembelih) yang dijadikan Allah untuk di pakai oleh manusia.
Berdasarkan keumuman ayat tersebut, kalangan hanafiyah berpendapat bahwa
bulu bangkai domba, bangkai unta dan bangkai kambing yang tidak disembelih
adalah suci, bahkan abu hanifah menambahkan tanduk, gigi, dan tulangnya menurut
jumhur ulama, keumuman ayat tersebut telah ditakhsis dan hadis riwayat abu daud
yang melarang memanfaatkan bangkai (binatang yang tidak disembelih). Dengan
demikiyan, menurut mayoritas ulama fiqh, yang dimaksud oleh ayat itu adalah
bulu domba atau unta atau kambing yang disembelih, bukan bangkai yang tidak
disembelih.
C.
Dilalah
lafadh ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafadh ‘amm yang disertai qarinah
(indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’I
dilalah.Merekapun sepakat bahwa lafadh ‘amm yang di sertai qarinah yang
menunjukkan bahwa yang di maksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus
pula.Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafadh ‘amm yang mutlaq
tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau
tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.[6]
Menurut hanafiyyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qath’i,
menurut Hanafiyah ialah:
لايحتمل احتمالانا شئاعن دليل
Artinya:
“tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”
Namun bukan berarti tidak ada kemungkinan taksis sama sekali. Oleh
karena itu, untuk menetapkan ke qadh’ian lafadh ‘amm, pada mulanya tidak boleh
di taksis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah nya
zhanni.
Mereka beralasan, sesungguhnya suatu lafad apabila di pasangkan (di
wadha’kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada
dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan:
ان لفظ العام موضوع حقيقة لاستغراق جميع ما
يصدق عليه معناه من الأ فرادوالفظ حين اطلا قه يد ل على معنا ه الحقيقى قطعا فالعا
م المطلق عن قرينة تخصصه يدل على العموم قطعا ولا ينصرف عن معنا ه الحقيقى الا بد
ليل
Artinya:
“sesungguhnya lafadh amm merupakan suatu hakikat, karena kosong
dari segala yang menunjukkan satu (makna khusus). Dan suatu lafadh, jika dalam
keadaan mutlak, maka menunjukkan pada maknanya yang hakiki, yakni mutlak. Begitu
pula lafadh amm yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya
menunjukkan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki,
kecuali dengan dalil”
Menurut jumhur ulama’(Malikiyyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah),
dilalah amm adalah zanni. Mereka beralasan, dilalah amm ini termasuk dilalah
zahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis.Dan kemungkinan ini pada lafadh amm
banyak sekali.Selama kemiungkinannya tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan
menyatakan bahwa dilalahnya qath’I.sehubungan dengan hal itu, ibnu Abbas
berkata:
ليس فى القران عا م الاوخصص الا قوله تعلى:والله بكل شئ ء عليم
Artinya:
“ dalam al-Quran semua lafadh umum itu ada taksisnya, kecuali
firman Allah SWT.,dan Allah maha mengetahui atas segala sesuatu’’
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi:
مامن عام الا وقدخصص
Artinya:
“tidaklah ada (lafadh) yang umum kecuali sudah di taksis”
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur, “ kemungkinan itu tidak
dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan
dari dalil.
Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi
prinsib bagi mereka masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat
besar pada perbedaan pendapat diantara mereka dalam beberapa masalah, yaitu
antara lain:[7]
a)
Apakah
boleh lafadh amm yang qath’I tsubut di taksis oleh dalil zanni?
b)
Apabila
ada suatu nash yang menggunakan lafadh amm di suatu tempat dan di tempat lain
menggunakan lafah khash, yang satu sama lainnyasaling bertentangan. Apakah hal
ini bisa dikatakan sebagai ta’arud (saling bertentangan)?
Pada masalah pertama: menurut
As-Syafi’iah dan Ahmad, apabila pertentangan anatara lafadh khash yang terdapat
pada khabar ahad dengan lafadh amm Al-Quran, maka khabar ahad itu dapat
mentaksis lafadh amm Al-Quran. Sekalipun lafadh Al-Quran itu qath’I subutnya,
dilalahnya zanni.Sebliknya khash khabar ahad sungguhpun zhanni subutnya, tetapi
qath’I dilalahnya.Menurut pendapat ini, As-Sunnah di pandang sebagai penjelasan
terhadap Al-Quran, walaupun khabar ahad.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak
dapat mentaksis al-quran, kecuali lafadh amm al-quran itu sebelumnya telah
terkene taksis. Mereka memandang bahwa dilalah amm itu qath’I, seperti yang
telah di uraikan dimuka, dan takhsis bukanlah merupakan suatu penjelasan,
melainkan pembatalan pemakian sebagian satuan lafadh am. Mereka menetapkan
bahwa lafadh amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan
penjelasan. Oleh sebab itu, hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudh,
karena ayat mengenai wudhu, yaitu surat al-maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan
tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan jumhur ulama mewajibkan
tertib dalam berwudhu karena berdasarkan hadist yang berbunyi:
لايقبل الله صلاة امرئ حتى يضع الطهر مواضعه فليغسل وجهه ثم يديه
Arinya:
“ Allah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci
sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya
kemudian dua tangannya.”
Hadist ini menunjukkan keharusan
tertib dalam berwudhu. Hanafiyah memandang tertib itu hanya sunnah mu’akkadah
saja.
Lain halnya Imam Malik, sungguhpun
memandang bahwa lafad amm al-quran adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan
khabar ahad dapat mentaksis lafadh amm al-quran. Ia kadang-kadang berpegang
pada lafadh amm al-quran dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-
taksis lafadh amm al-quran dengan khabar ahad.[8]
Misalnya firman Allah SWT:
واحل لكم ما وراءذلك
Artinya:
“ dan allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah
disebut).”
Di takhsis dengan hadist:
لاتنكح المرأة على عمتها ولا خا لتها
Artinya:
“ wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya,baik dari pihak
ayah maupun ibu.”
Menurut Imam Malik, khabar ahad yang dapat mentaksis lafadh amm
Al-quran ialah khabar ahad yang didukung oleh pembuatan penduduk Madinah atau
dengan qiyas.
Diantara masalah furu’ yang diperselisihkan akibat perbedaan
prinsip di atas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai
bismilah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan bismillah
tidak halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:
ولا تأ كلواممالم يذكراسم الله عليه وانه لفسق
Artinya:
“janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan) yang belum disebut
bismillah terhadap binatang tersebut (ketika disembelih). Karena itu adalah
perbuatan dosa.”
(Al-An’am:121)
Mereka tidak mau men taksis nya dengan hadis Rasul yang berbunyi :
المسلم يذ بح على اسم الله سمى اولم يسم
Artinya:
“seseorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah
(ucapkan bismillah) atau tidak.”
Sebab hadist ini zhanni wurudnya sekalipun qath’I dilalahnya.
Adapun masalah yang kedua, yaitu: ta’arudu al-am al-khash
(pertentangan antara ‘amm dan khash). Menurut Hanafiyah apabila lafad amm dan
khash itu berbarengan waktu turunnya, maka lafadh khash dapat men taksis lafadh
‘amm.Dan apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh mansukh.[9]
Menurut jumhur, hal tersebut toidak bisa dikatakan taarud, sebab
finhsi lafad khash disini sebagai penjelasan terhadap ‘amm, seperti nisab zakat
hasil bumi. Menurut jumhur ulama, nisab zakat hasil bumi adalah lima ausaq,
berdasarkan atas hadist:
ليس فيما دون خمسة او سق صدقة
Artinya:
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.”(H.R
Bukhari dan Muslim)
Hadist ini dijadikan pentaksis terhadap hadist :
فيما سقت السماء ولعيون اوكان عثريا العشر وفيما سقى با نضخ نصف العشر
Artinya:
“zakat hasil bumi yang diairi sumber air atau air hujan adalah
10% sedangkan zakat yang diairi irigasi adalah 5%”.
(H.R Al-Bukhari dan Ashhabu Sunan)
Menurut hanafiyah, zakat hasil bumi
diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati.Mereka
berpegang pada hadist yang kedua yang bersifat ‘amm.Sedangkan pada hadist yang
khusus, yaitu hadist pertama, mereka menakwilkannya, dan menyatakan bahwa
hadist tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima
ausaq itu senilai dengan dua ratus dirham.[10]
D.
Tashisul
‘am
Yang berkaitan dengan lafadz umum, perlu di bahas tentang
tahsis.Sepertii kemukakan khudhari beik dalam bukunya ushul fiqh, takhsis
adalah penjelasan bahwa yang di maksud suatu lafadz umum adalah sebagian dari
cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan srbagian dari
satuan-satuan yang di cakup oleh lafadz umum dengan dalil. Di antara
dalil-dalil pentakhsis adalah takhsis dengan ayat al-qur-an, takhsis dengan
as-sunnah dan takhsis dengan qiyas.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
lafadh ‘amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri,
karena lafadh ‘amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan
pendapat ulama’ dalam penetapan hokum. Di lain pihak, sumber hokum islam pun,
Al-quran dan Sunnah, dalam banyak hal memakai lafadh umum yang bersifat
universal.
Lafadh ‘amm ialah suatu lafadh yang menunjukkan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.Menurut Abu
Hanifah, penunjukan lafal umum kepada seluruh satuan yang dicakupkan adalah
pasti (qath’i). keqath’ian nya berlaku selama belumterbukti pernah di takhsis
oleh dalil yang sama bobotnya, seperti oleh ayat al-quran, hadist mutawatir
atau hadist masyhur.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR.
RachmatSyare’I, MA. Ilmuusulfiqih,Bandung: PustakaSetia, 2010.
Prof. Dr. H.
Satria Effendi,M.Zein,M.A. Usulfiqh, Jakarta: Kencana , 2012.
Drs.Beni Ahmad
Saebani,M.Si. Drs. H. Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh,Bandung : CV Pustaka
Setia,2009.
Dr. Asmawi,
M.Ag. PerbandinganUsul Fiqh,Jakarta: Amzah, 2011.
[1]Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si.
Drs. H. Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh,Bandung : CV Pustaka Setia,2009.
Hal 243
[2]Prof.
DR. RachmatSyare’I, MA. Ilmuusulfiqih,Bandung: PustakaSetia, 2010. Hal
193-194
[4]Prof. Dr. H. Satria Effendi,M.Zein,M.A. Usulfiqh,
Jakarta: Kencana , 2012. Hal 199
[5] Ibid, hal 202
[7] Ibid, hal 196
[8] Ibid, hal 197
[9] Ibid, hal 199
[10] Ibid, 199-200
[11] Syeikh Muhammad Bin Shaleh al-Utsaimin, Ushul fiqh, (kairo Darul Aqiqah,2013) hal 60
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)