Ushul Fiqh
“Ranah/Wilayah Ijtihad”
Disusun
Oleh :
Ahmad Adaby
A.R 130721100061
Kamila
rosyada 130721100047
Mohamad.Duhri 130721100019
Sitiholifah 130721100015
Ekonomi
Syariah “A”
Universitas
Negeri Trunojoyo Madura
Prodi
Ekonomi Syariah
2015
|
Kata Pengantar
Pertama-tama kami ingin
ucapakan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberkati kami
sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Kami juga ingin mengucapakan terima
kasih pada seluruh pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini
dan berbagai sumber yang telah kami pakai sebagai data dan fakta pada makalah
ini.
Kami sadar bahwa makalah ini
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami bersedia menerima kritik dan saran
supaya kami bisa memperbaiki makalah kami di masa datang. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca sehingga para pembaca dapat memahami tentang Ranah/Wilayah Ijtihad.
Penulis,
Daftar Isi
Halaman
judul.................................................................................................. 1
Kata
pengantar................................................................................................. 2
Daftar
isi........................................................................................................... 3
Bab 1 Pendahuluan
A. Latar
belakang............................................................................... 4
Bab 2 Pembahasan
A. Pengertian
Ijtihad........................................................................ 5
B. Pentingnya
Ijtihad....................................................................... 5
C. Bidang
Ijtihad............................................................................. 7
D. Contoh......................................................................................... 8
E. Hal
Penting Beraitan dengan Ijtihad........................................... 9
Bab 3 Penutup
A. Kesimpulan................................................................................... 10
Daftar Pustaka.................................................................................................. 11
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam sejarah pemikiran
islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi ajaran Al-qur’an dan
Hadits memang menghendaki adanya ijtiihad. Al-qur’an dan hadits kebanyakan
hanya menjelaskan garis besarnya saja, maka ulama berusaha menggali maksud dan
rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.
Kemudian setelah wafatnya
Rasulullah islam semakin luas dan para sahabat menyebar keberbagai penjuru
sehingga mereka dihadapkan pada berbagai persoalan yang tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-qur’an dan al-hadits. Hal itu, mengharuskan mereka
menyelesaikannya dengan cara ijtihad.
Pada masa berikutnya
peristiwa-peristiwa baaru semakin kompleks, sehingga para pemuka Agama yang
sudah mempunyai keilmuan yang sangat luas merespon belbagai persoalan itu
dengan metode ijtihad yang mereka konsep.
Jadi, begitu pentingnya
memahami ijtihad sebagai kunci untuk menyelesaikan problem-problem yang
dihadapi oleh umat islam sejak dulu, sekarang dan yang akan mendatang. Ijtihad
sebagai sumber ketiga setelah Al-qur’an dan Hadits. Inilah yang membuat islam
tidak kehilangan karakternya sebagai agama yang dinamis. makalah ini penulis
mengulas sedikit tentang ijtihad, berkisar bagaimana pengertian
ijtihad, pentingnya ijtihad, bidang ijtihad, contoh dari ijtihad, hal penting beraitan
dengan ijtihad, syarat mujtahid?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad
Kata
ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga
baik fisik maupun pikiran. Dikalangan ulama ushul fiqh terdapat beberapa
redaksi dalam mendefinisikan ijtihad, namun intinya adalah sama. Sebagai
contoh, Ibn Abd al-Syakur, dari kalangan hanafiyah mendefiniskan sebagai:
“pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke
tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi
berupaya lebih dari itu”.
Sedangkan
al-Baidawi, ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan sebagai:
“pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’”. Lebih
jelas lagi definisi ijtihad menurut Abu Zahra ahli ushul fiqh yang hidup pada
awal abad kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “pengerahan seorang
ahli fikih akan kemampuan dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan
amal perbuatan dari satu persatu dalilnya”.
Definisi
ijtihad lain yang dikemukakan oleh Abu zahra adalah: “mencurahkan seluruh
kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbat-kan hukum syara’, maupun
dalam penerapannya”. Berdasarkan definisi ini ijtihad terbagi kepada dua macam,
yaitu ijtihad untuk membentuk atau meng-istinbat-kan hukum dari dalilnya, dan
ijtihad untuk menerapkannya[1].
B. Pentingnya
Ijtihad
“Jika setelah
kegaiban Qa’im-mu tiada lagi seorang pun dari para ulama yang: mengajak kepada
beliau (sang Imam); membimbing orang-orang menuju beliau; melindungi agama
beliau dengan hujjah Allah; menyelamatkan hamba-hamba Allah yang lemah dari
perangkap Iblis (Setan) dan kotorannya, dan jebakan musuh-musuh (bagi
Ahlulbait), maka tidak akan tersisa lagi seorang pun (di muka Bumi) kecuali dia
akan meninggalkan agama Allah. Namun, para ulama telah mengikhlaskan diri
menjadi pelindung jiwa para pengikut kami yang lemah sebagaimana seorang kapten
kapal mengendalikan kehidupan dan keselamatan orang-orang yang di atas
kapalnya. Maka, paraulamaadalah
orang-orang terbaikdalampandangan Allah, yang MahamuliadanMahaagung.”Biharul
Anwar, juz 2, hal. 6, bag. 8, had. 12
SelamakehidupanNabi Muhammad (salambaginyadankeluarganya),
beliauadalahwewenangtunggaldalamseluruhperkara agama danpolitik,
danperkara-perkara yang berkaitandengan agama ataupunmasalah-masalah yang
berkembangdalammasyarakatdisampaikankepadabeliauataukepada orang yang
telahbeliauberikanwewenang (berdasarkanpetunjukdari Allah) atasparamukmin.
Dengankepergianbeliau, rantaipenerus – 12 Imam – pun bermula. Pemimpinpertama
yang ditunjuksecaraekplisitadalah Ali bin AbiThalib (salambaginya)
danpenerusterakhiradalah Imam keduabelas, al-Hujjah bin al-Hasan al-Askari
(semoga Allah mempercepatkemunculannya).
Kepemimpinan
Imam kedua belas sangat berbeda dengan kesebelas imam sebelumnya atas berkat
kebijaksanaan Allah, dia diwajibkan memasuki dua bentuk kegaiban yang berbeda
dan terpisah. Kegaibankecilbeliauberlangsungselamalebihdari
60 tahunketikaempat orang
wakilkhususditunjuk.Merekabertanggungjawabmenyampaikanpertanyaan-pertanyaantentangmasalahsehari-haridarimukminkepada
Imam, mengumpulkanberbagaidanakeislaman (khumus, zakat, dll.)
danmenyalurkannyamenurutarahan Imam, dantugas-tugaslainnya.
Setelahkematianwakilkeempatpadatahun 328 H, pintuperwakilankhusus pun
ditutup. Namun, pembimbingantidaklahberhentidanberdasarkanarahan yang
dikeluarkanoleh Imam keduabelas, mereka (paramukmin) harusmengikutiparaulama
(Fuqaha) yang“...menjagajiwanya, melindungiagamanya,
danmengikutiperintahTuannya (Allah)...” Maka, perwakilanumumtersebutdibebankan
di pundakparamarjataqlid.[2]
C. Bidang
Ijtihad
Bidang / hal-hal yang di jadikan ijtihad
yaitu permasalahan yang tidak di tegaskan langsung oleh nash yang jelas dan
pasti.tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat dalam nash yang
jelas dan pasti.
Jika kejadian yang hendak di ketahui
hukum sayaraknya itu telah di tunjukan oleh dalil yang syarih dan petunjuk seta
maknanya adalah pasti, maka tidak ada peluang untuk berijtihad.
Atas dasar ini maka semua ayat-ayat
hukum yang di tafsiri dan telah menunjukan arti dengan jelas serta tidak
mungkin di takwil maka wajib menerapkannya dan tidak ada peluang untuk
berijtihad dalam kajian yang di terapkan itu[3].
Dalam
firman allah yang artinya
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman
Tidakadaijtihaddalamhaljumlahhitunganderabegitu pula
dalamsetiaphukumanataudenda yang di tentukan.
Lebihrincinyamedanijtihadsebagaiberikut:
·
Masalah-masalahbaru yang
hukumnyabelumdiketahuidanditegaskanolehnash Al-Qur’an atau As-Sunahsecarajelas.
·
Masalah-masalahbaru yang
hukumnyabelumdiijma’iolehulama’ atauaimamatulmujtahidin.
·
Nash-nashdhonnydandalil-dalilhukum
yang diperselisihkan.
·
Hukum Islam yang ma’qululma’naatauta’aqquly
(illat-nyadapatdiketahuimujtahid)[4]
D. Contoh
Salah
satu contoh dari ijtihad adalah suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar ibn
Khattab, di mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar
cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara
Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam
Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya berijtihad
dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan
dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh negara
asing, di mana mereka berdagang[5].
E. Hal
Penting Berkaitan dengan Ijtihad
1. mujtahid
a. MujtahidTingkatan-tingkatanmustaqil
(independen) adalahtingkattertinggi, ataudisebutdenganmujtahidmutlaq.
Merekadisebutmujtahidmustaqilkarenamerekaterbebasdaribertaqlidkepadamujtahidlain,
baikdalammetodeistinbatmaupundalamfuru’.
b. Mujtahid
muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi
kemampannya ia mampu merumuskannya namun teteap beregang pada ushul fiqh salah
seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang pada ushul fiqh abu hanifah. Akan tetapimerekabebasdalamberijtihadtanpaterikatdengansalahseorangmujtahidmustaqil.
c. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitutingkatmujtahid yang
dalamushulfiqhdanfuru’ bertaklidpada imam mujtahidtertentu.
Merekadisebutmujtahidkarenamerekaberijtihaddalammeng-istinbat-kanhukumpadapermasalahan-permasalahan
yang tidakditemukandalambuku-bukumadzhab imam mujtahid yang menjadipanutannya.
d. Mujtahid
fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hukum
tetapi terbatas memperbandinhkan berbagai madzhab atau penapat dan mempunyai
kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari
pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan
oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya[6].
2. Syarat
Mujtahid
Wahbah
az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang mujtahid:
a) Mengerti
dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam al-qur’an baik
secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal diluar
kepala dan tidak pula perlu menghafal seluruh A-Qur’an. Seorang mujtahid cukup
mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah
baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
b) Mengetahui
tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’,
seperti telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya Al-Qur’an, maka
dalam masalah hadis juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yang berhubungan
dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang
dapat dijangkau bilamana diperlukan.
c) Mengetahui
tentang mana ayat atau hadis yang telah di mansukh (telah dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-nya), dan mana ayat atau hadis yang
me-nasakh atau sebagai penggantinya.
d) Mempunyai
pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya
dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang
mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para
ulama.
e) Mengetahui
tentang seluk beluknya qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang
illat hukum dan cara menemukan illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui
kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum
syariat Islam.
f) Menguasi
bahasa arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
g) Menguasai
ilmu ushul fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, atau dalil-dalilnya,
tentang kaidah-kaidah dan cara meng-istinbatkan hukum dari sumber-sumber
tersebut, dan tentang ijtihad.
h) Mampu
menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum[7].
3.
Macamijtihad
Ijtihad di tinjaudaripelakunyaadaduamacam:
·
Ijtihadfardiyaituijtihad
yang di lakukanolehperoranganatauhanyabeberapa orang mujtahid.
·
ijtihadjima’Iyaitukesepakatanparamujtahiddariummad
Muhammad SAW setelahrasulallahsetelahrasulwafat.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihadadalahpengerahan
seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’
F. Hal
Penting Berkaitan dengan Ijtihad
1.
Tingkatan-tingkatanmujtahid
2. Syarat
Mujtahid
3. macam-macamijtihad yang telah di paparkan di atas
4. halpentingdalamijtihad
Daftar Pustaka
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012)
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-fungsi-contoh-ijtihad.html.
[16 Mei 2015]
Prof.abdulwahabkhalaf.ilmuusulfiqh.
(Jakarta: pustaka amani,2003).hlm.317
http://muhamadmurodhi.blogspot.com/2013/05/ijtihad.html.
[19 Mei 2015]
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-fungsi-contoh-ijtihad.html.
[16 Mei 2015]
[1] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 245
[2]http://itramedia.blogspot.com/2013/05/pentingnya-ijtihad-dan-taqlid.html.
[19 Mei 2015]
[3]Prof.abdulwahabkhalaf.ilmuusulfiqh.
(Jakarta: pustaka amani,2003).hlm.317
[4]http://muhamadmurodhi.blogspot.com/2013/05/ijtihad.html. [19 Mei 2015]
[5]http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-fungsi-contoh-ijtihad.html.
[16 Mei 2015]
[6] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 257-258
[7] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),
251-256
[8] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),
251-256
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)