JUDUL : MAQSHODUL AM MIN TASYRI’ (TUJUAN UMUM
OEMBUATAN HUKUM)
PENULIS : AHMAD ADABY
A.R
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kaidah-kaidah pembentuk hukum Islam ini merujuk agar
supaya merealisir kemaslahatan manusia dan menegakkan keadilan diantara
manusia. Kaidah pertama : Tujuan Umum pembentukan hukum Islam. Bunyi kaidah
ushuliyyah bahwa tujuan umum syari’ dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir
kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan
melenyapkan bahaya dari mereka. Kemaslahatan mansusia terdiri dari beberapa hal
terpenuhi yaitu dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyyah. Salah satu contoh ialah
keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia adalah tempat yang dapat melindungi
dari terik panas matahari dan kedinginan
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apasih tujuan
dari pembuatan hukum syara’ itu sendiri?
2.
Apa kebutuhan
primer itu?
3.
Dan kebutuhan
primer apa yang disyaratkan oleh islam?
4.
Apa kebutuhan
sekunder itu?
5.
Dan kebutuhan
sekunder apa yang disyaratkan oleh islam?
6.
Apa kebutuhan
pelengkap itu?
7.
Dan kebutuhan
pelengkap apa yang disyaratkan oleh islam?
8.
Bagaimana
urutan hukum syara’ menurut tujuannya?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui tujuan dari pembuatan hukum syara’
2.
Mengetahui
kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap
3.
Dan mengetahui
urutan-urutan hukum syara’ menurut tujuannya
BAB II
PEMBAHASAN
MAQSHADUL AM MIN TASYRI’
(TUJUAN UMUM PEMBENTUKAN HUKUM SYARA’)
Kaidah-kaidah pembentuk hukum Islam ini merujuk agar supaya merealisir
kemaslahatan manusia dan menegakkan keadilan diantara manusia. Kaidah pertama :
Tujuan Umum pembentukan hukum Islam. Bunyi kaidah ushuliyyah bahwa tujuan umum
syari’ dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam
kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari
mereka. Kemaslahatan mansusia terdiri dari beberapa hal terpenuhi yaitu
dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyyah. Salah satu contoh ialah keperluan pokok
bagi tempat tinggal manusia adalah tempat yang dapat melindungi dari terik
panas matahari dan kedinginan[1]
Secara umum pembentukan sistem syara’ adalah bertumpu pada tujuan
untuk kemaslahatan manusia dengan memenuhi kebutuhan dharuriy, hajati maupun
tahsini. Maka setiap hukum syatra’ tentulah tidak keluar dari salah satu tiga
hal di atas, karena dari tiga hal inilah kemaslahatan manusia bisa tercapai.[2]
Yang menjadi tujuan umum bagi syari’ dari pembentukan hukum ialah
mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan dharuriyah (primer)nya,
memenuhi kebutuhan hajjiyah (sekunder), serta kebutuhan tahsiniyyah (pelengkap)nya.
Setiap hukum syara’ tidak memiliki tujuan kecuali satu diantara
tiga hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan manusia ini.
Kebutuhan pelengkap itu tidak diperhatikan jika perhatian kepadanya
dapat merusak kebutuhan sekunder, dan kebutuhan pelengkap serta sekunder tidak
diperhatikan jikaperhatian kepada salah satu dari keduanya dapat merusak
kebutuhan primer. Kaidah pertama ini menjelaskan tujuan umum syari’ dalam
pembentukan hukum-hukum syara’, baik berupa hukum, taklifi (pembebanan)
maupun hukum wadh’i (positif) dan menjelaskan tingkatan hukum
berdasarkan tujuannya. Mengetahui tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukumnya
adalah diantara hal penting untuk membantu memahami nash-nashnya dengan
pemahaman yang benar dan menerapkannya terhadap kejadian, serta mengeluarkan
hukum atas peristiwa yang tidak ada nashnya.
Karena petunjuk lafal dan ungkapan kalimat atas makna itu kadang
mengandung beberapa tujuan, maka memenangkan salah satu tujuan itu adalah
memperhatikan tujuan syari’. Karena sebagian nash itu kadang-kadang lahirnya
terdapat kontradiksi, maka untuk menghilangkan kontradiksi dan memadukannya,
atau memenangkan salah satunya adalah memperhatikan tujuan syari’. Karena
banyak peristiwa yang terjadi dan kadang-kadang tidak tercakup dalam ungkapan
nash, sedangkan perlu sekali mengetahui hukumnya dengan dalil syara’ yang
manapun, maka petunjuk dari pengambilan dalilnya adalah mengetahui tujuan
syari’.
Oleh karena itu penguasa hukum dalam pemerintah sekarang
menggunakan lampiran catatan penjelas yang menjelaskan tujuan dari undang-undang
secara umum dan menjelaskan tujuan khusus dari setiap pasal undang-undang
tersebut. Catatan penjelasan, semua pembahasan dan perdebatan yang silih
berganti ditengah persiapan undang-undang dan penetapannya adalah pertolongan
penguasa hukum untuk memahami undang-undang, menerapkannyapada nash, jiwa hukum
dan memahami logikanya.
Demikian juga hukum-hukum syara’ yang tidak dapat dipahami dengan
cara yang benar kecuali jika tujuan umum syari’ dapat diketahui dari
pembentukan hukum. Dapat diketahui bagian kejadian yang karena kejadian itu
ayat Al-Qur’an diturunkan, atau datangnya hadis yang berbentuk ucapan maupun
perbuatan.
Tujuan umum syara’ dari pembentukan hukum adalah yang dijelaskan
dalam kaidah umum yang pertama. Sedangkan cuplikan kejadian yang menjadi sebab
diundangkannya hukum syara’ adalah dijelaskan pada kitab-kitab tafsir, Asbabun
Nuzul (sebab turunnya ayat Qur’an) dan hadis-hadis shahih.
Bunyi kaidah ushul itu adalah: “tujuan umum syari’ dari pembentukan
hukum adalah membuktikan kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, memotivasi
kebaikan bagi mereka dan menolak bahaya dari mereka.” Karena kemaslahatan
manusia dalam kehidupan ini terbentuk dari kebutuhan primer, kebutuhan sekunder
dan kebutuhan pelengkap. Jika kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap itu
telah terpenuhi, niscaya kemaslahatan manusia itu akan terwujud. Syari’ Islam
membentuk hukum-hukum dalam bab perbuatan manusia yang bermacam-macam adalah
untuk merealisir pokok-pokok kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap bagi perorangan
maupun kelompok. Dia tidak membiarkan kebutuhan-kebutuhan itu tanpa mengundang
hukum untuk merealisir dan menjaganya. Dia tidak menetapkan hukum kecuali untuk
mewujudkan dan menjaga salah satu diantara tiga kebutuhan ini. Dia tidak
menetapkan hukum kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dan dia tidak
membiarkan kemaslahatan yang dituntut oleh kondisi manusia dengan tidak
menetapkan hukum demi kemaslahatan itu.
Adapun bukti bahwa kemaslahatan manusia itu tidak lepas dari tiga
hal di atas adalah naluri kenyataan, karena setiap kemaslahatan pribadi atau
masyarakat terbentuk dari masalah primer, sekunder dan pelengkap. Misalnya,
kebutuhan primer manusia akan rumah sebagai tempat berteduh dari terik matahari
dan cekaman dingin, meskipun berbentuk goa di gunung. Kebutuhan sekundernya,
hendaknya rumah itu memberi kenyamanan untuk ditempati, misalnya jendela yang
bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan. Sedangkan kebutuhan pelengkapnya,
hendaknya rumah itu dihias, diberi perabot dan sarana pristirahatan yang
memadai. Jika rumah itu telah memenuhi kebutuhan tersebut, maka kemaslahatan
manusia akan rumah itu akan terwujud.
Demikian pula halnya dengan makanan, pakayan dan semua yang
menyangkut keperluan hidupnya, akan terwujud kemaslahatannya jika telah
memenuhi tiga hal di atas. Dalam hal ini perorangan sama dengan kelompok
masyarakat. Apabila hal-hal yang membeti jaminan akan terwujud dan
terpeliharanya kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap itu sudah terpenuhi
bagi individu, maka berarti jaminan kemaslahatan bagi kelompok masyarakat itu
akan terwujud pula.
Adapun bukti bahwa semua hukum islam itu diundangkan untuk
merealisir dan menjaga satu diantara tiga hal tersebut adalah penelitian
terhadap hukum-hukum islam yang global maupun yang terinci dalam peristiwa dan
bab yang bermacam-macam. Juga penelitian tentang alasan hukum dan hikmah
perundangan yang disertakan oleh syar’i pada banyak hukum.
Sebelum kita menengok contoh penelitian ini, kami jelaskan dulu
maksud dari kebutuhan primer, sekunder, dan pelengkap menurut pengertian
syara’.[3]
A.
Syari’at
Terhadap Dharuriyatul Khams
Kebutuhan yang bersifat dharuriy ialah segala hal yang bersifat
harus serta berhubungan dengan kehidupan manusia serta memenuhi
kemaslahatannya, apabila kurang atau tidak ada maka kehidupan mereka akan
terancam dan kemaslahatan mereka akan kurang, sehingga timbul kerusakan dan
hal-hal berbahaya lainnya. Dharuriy dalam pengertian ini adalah meliputi lima
hal yaitu: menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Kelima hal diatas
harus terpenuhi demi kehidupan dan kemaslahatan manusia.
1.
Agama, agama
islam yang dibawa oleh Nabi saw. Merupakan kumpula akidah, tata cara ibadah
serta hukum-hukum yang tujuannya adalah sebagai undang-undang untuk manusia dan
berfungsi sebagai pengatur hubungan antara manusia dengan rabbinya dan juga
diantara sesamanya. Islam berusaha mewujudkan agama dengan mewajibkan kepada
manusia untuk iman, islam juga membuat lima dasar islam yang dikenal dengan
rukun islam.
2.
Jiwa, islam
mewujudkan jiwa dengan menyari’atkan pernikahan guna menghasilkan keturunan
sehingga roda kehidupan akan terus berjalan dengan sempurna dan baik. Guna
menjaga dan melestarikan kehidupan maka islam mewajibkan untuk memenuhi
kebutuhan jiwa, seperti makan, minum, pakayan, dan tempat tinggal, disamping
itu islam juga membuat hukum qishash, denda dan kafarat kepada orang yang
berusaha merusak dan membahayakan jiwa manusia, melarang manusia untuk
menjeburkan dirinya kepada kematian dan kerusakan serta mewajibkan untuk
menghindari hal-hal yang bisa membahayakan jiwa.
3.
Akal, untuk
menjaga akal agar tetap berfungsi secara normal dan baik islam mengharamkan
manusia meminum arak dan segala hal yang memabukkan serta memberikan hukuman
kepada orang yang meminum ataupun memperoleh benda-benda sejenis yang lain.
4.
Kehormatan,
demi menjaga kehormatan seorang manusia islam memberlakukan had bagi pezina
baik laki-laki maupun perempuan dan juga had bagi orang yang menuduh
(pencemaran nama baik).
5.
Harta, untuk
menghasilkan harta islam menyari’atkan dan mewajibkan manusia untuk mencari
rizki yang halal serta memperbolehkan muamalah dari mubadalah, tijarah,
mudharabah dan lainnya.[4]
Kebutuhan dharuriyah (primer) adalah sesuatu yang menjadi pokok
(keharusan) kebutuhan manusia untuk menegakkan kemaslahatan mereka. Jika tidak
ada, maka rusaklah aturan hidup mereka, tak akan terwujud kemaslahatan dan akan
marak kehancuran dan kerusakan diantara mereka. Kebutuhan primer bagi manusia,
dengan pengertian ini, akan kembali pada lima hal: agama, jiwa, akal, harga
diri dan harta benda. Menjaga lima hal ini adalah kebutuhan primer bagi
manusia.[5]
Ø Kebutuhan primer yang di syaratkan oleh islam
Kebutuhan primer manusia, sebagaimana yang telah kami jelaskan
kembali kepada lima perkara: agama, jiwa akal, harga diri, dan harta benda.
Islam telah menetapkan hukum bagi masing-masing lima ini yang menjamin
realisasi dan pemeliharaannya. Dengan dua macam hukum ini akan terbuktilah
kebutuhan primer manusia.
Agama adalah kumpulan akidah, peribadatan, hukum dan undang-undang
yang ditetapkan Allah Swt. Untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dan
hubungan manusia dengan sesamanya. Demi terwujud dan tegaknya hal itu, islam
mensyariatkan kewajiban beriman dan lima hukum dasar sebagai pondasi islam,
yaitu: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah Swt. Dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa dibulan ramadhan dan
haji kebaitullah. Juga akidah dan dasar-dasar ibadah yang sengaja disyariatkan
oleh syari’ demi tegaknya agama dan menancapkannya dalam hati dengan mengikuti
hukum-hukum sebagai satu-satunya sarana untuk kebaikan manusia sendiri. Islam
juga menetapkan kewajiban berdakwah dan menjada dakwah itu agar tidak melampaui
batas dan atas para pembawa dakwah serta orang-orang yang mengganggu jalannya
dakwah.
Demi menjaga islam, menjamin kekayaannya, dan melindungi dari para
musuhnya, islam menetapkan hukum-hukum jihad untuk memerangi orang yang
mengganggu jalannya dakwah, orang yang menggoda umat islam untuk keluar dari
agamanya, menghukum orang yang keluar dari islam, menghukum orang yang berbuat
bit’ah dan membuat ajaran baru yang tidak bersumber dari islam atau membelokkan
hukum dari tempatnya serta untuk melarang para mufti gila yang
menghalalkan yang haram.
Jiwa, untuk mewujudkannya, islam mensyari’atkan pada wanita untuk
beranak, berketurunan dan menjaga spesiesnya dengan cara yang sebaik-baiknya.
Demi menjaga dan menjamin kelangsungan hidup, islam mensyariatkan
kewajiban untuk mendapatkan sesuatu yang dapat menegakkan jiwanya, berupa
kebutuhan pokok akan makanan, minuman, pakayan dan tempat tinggal. Islam
mewajibkan hukum qishash, denda, dan tebusan atas siapa saja yang
melampaui batas terhadap jiwa. Islam juga mengharamkan membawa jiwa kepada
kerusakan dan mewajibkan mempertahankan jiwa dari bahaya.
Untuk memelihara akal, islam mensyariatkan keharaman khamer dan
semua yang memabukkan, menghukum orang yang meminumnya atau mendapatkan apa
saja yang dapat merusak akal.
Demi menjaga harga diri, islam mensyariatkan hukuman bagi orang
laki-laki dan wanita yang berzina dan hukuman bagi orang yang menuduh zina.
Harta, untuk memperoleh dan mendapatkannya, islam islam menetapkan
kewajiban berusaha mencari rizki, memperolehkan muamalah dan barter,
perdagangan dan berniaga dengan harta orang lain. Demi menjaga hal itu, islam
mengharamkan pencurian, menghukum pencuri laki-laki dan perempuan, mengharamkan
penipuan, penghianatan, dan memakan harta orang lain, menetapkan kewajiban
mengganti bagi yang merusak milik orang lain, melarang orang bodoh dan pelupa
(untuk bermuamalah), menolak bahaya dan mengharamkan riba.
Islam juga menjamin semua kebutuhan primer manusia dengan
memperolehkan yang dilarang ketika dalam keadaan darurat.
Dari sini, jelaslah bahwa islam menetapkan hukum untuk persoalan
macam-macam bentuk ibadah, muamalah, dan hukuman, tujuannya adalah demi
terwujud, terpelihara dan terjaminnya kebutuhan primer manusia.
Tujuan ini telah ditunjukkan oleh sesuatu yang menyetai hukum-hukum
ini, berupa alasan hukum dan hikmah penetapannya. Seperti firman Allah swt.
Dalam kewajiban berjihad:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
Yang artinya: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah
dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (Qs. Al-Anfaal: 39)
وَلَكُمْ
فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Artinya: “Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu” (Qs. Al-Baqarah: 179)
لِتَأْكُلُوا
فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ
Artinya: “supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa” (Al-Baqarah: 188)
Dan sabdah Rasulullah saw. Dalam alasan pelarangan jual beli buah
sebelum jelas kualitasnya.
أَرَأَيْتَ
اِذَا مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَ بِمَ يَأْ خُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ؟
Artinya: “taukah kamu (apa yang akan terjadi) jika Allah menahan
buah itu, dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?”
Dan alasan-alasan lain yang disengaja oleh syari’ demi menjaga
agama, jiwa, harta benda dan kebutuhan primer manusia lainnya.[6]
B.
Hajjiyat
Kebutuhan yang bersifat hajati ialah: segala hal yang dibutuhkan
oleh manusia demi kemudahan dan kelapangan serta menghindarkan dari masyaqoh
dan kesulitan hidup. Apabila kebutuhan ini sampai tidak terpenuhi maka
kehidupan mereka akan menjadi berat dan sulit. Hajati dalam pengertian ini
menitik beratkan pada mengurangi atau menghilangkan bahaya, meringankan mereka
dalam menjalani taklif serta memudahkan mereka dalam menjalani hidup dan
kehidupan.[7]
Kebutuhan hajjiyat (sekunder) adalah kebutuhan manusia untuk
mempermudah melapangkan, menanggulangi beban yang ditanggung dan kepayahan
dalam kehidupan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka aturan hidup manusia
tidak rusak dan tidak pula ramai kehancuran diantara mereka, sebagaimana jika
kebutuhan primer tidak terpenuhi. Tetapi mereka akan mendapatkan kesusahan dan
kesulitan. Kebutuhan sekunder manusia dengan pengertian ini kembali pada
hilangnya kesulitan mereka dan keringanan bagi mereka untuk menanggung beban
yang dipikulnya, sehingga mudah bagi mereka untuk melakukan berbagai macam
pergaulan, tukar menukar dan menempuh jalan kehidupan.[8]
Ø Kebutuhan sekunder yang di syaratkan oleh islam
Kebutuhan sekunder manusia, sebagaimana yang telah kami jelaskan
dimuka, adalah kembali kepada hilangnya kesulitan dari mereka, ringannya beban
yang mereka pikul dan kemudahan mereka dalam kegiatan muamalah dan ibadah.
Islam dalam kaitannya dengan kegiatan muamalah, iibadah dan hukuman itu
menetapkan sejumlah hukum yang
bertujuan menghilangkan kesullitan dan
memudahkan uumat manusia.
Dalam hal ibadah, islam diteetapkan hukum rukhshah sebagai
keringanan bagi mukallaf jika keberatan dalam melaksanakan hukum ‘azimah (hukum
asal). Boleh berbuka di siang bulan Ramadhan bagi orang yang sakit dan orang
yang sedang bepergian, mengqoshor shalat yang empat rakaat (menjadi dua rakaat)
bagi musafir, shalat dengan duduk bagi orang yang tidak mampu berdiri, boleh
bertayammum bagi orang yang tidak menemukan air, shalat diatas perahu (yang
sedang berjalan) meskipun tidak menghadap kiblat, dan keringanan lain yang di
syariatkan untuk menghilangkan kesulitan manusia dalam beribadah.
Dalam berbuamalah ditetapkan bermacam-macam akad dan pengelolaan
untuk menutupi kebutuhan manusia. Seperti berbagai macam bentuk jual beli, sewa
menyewa, kongsi (koperasi), bagi hasil dan berbagai keringanan dalam akad yang
tidak terucapkan menurut kiyas dan menurut kaidah umum, seperti pesan memesan,
jual beli wafaa dan pekerja industri, menggarap pertanian dan pengairan,
dan akad lain yang berlaku menurut kebiasaan dan kebutuhan manusia. Disyaratkan
hukum talak untuk mengakhiri hubungan suami istri ketika dibutuhkan,
diperolehkannya berburu, bangkai binatang lautrizki yang baik (bergizi) dan
dijadikannya alasan “kebutuhan” seperti alasan “darurat” dalam diperbolehkannya
hal-hal yang dilarang.
Dalam hukuman, disyaratka hukum benda bagi orang yang wajib
membayarnya sebagai keringanan atas pembunuhan secara tidak sengaja. Islam juga
menolak hukum had sebab alasan yang belum jelas. Menetapkan hak bagi wali orang
yang terbunuh untuk mengampuni pelaksanaan hukum qishash terhadap
pembunuh.
Tujuan syari’ dalam menetapkan hukum-hukum yang berupa keringanan
dan menghilangkan kesulitan itu ditunjukkan oleh alasan hukum dan hikmah
penetapan hukum yang menyertai. Seperti firman Allah swt:
مَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu” (Qs.
Al-Maidah: 6)
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “dan dia (Allah) sekali-kali menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan” (Qs. Al-Hajj: 78)
يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kamu” (Qs. Al-Baqarah: 185)
يُرِيدُ
اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah” (Qs. Al-Nisaa: 28)
Dan Rasulullah saw bersabdah:
يُعِثْتُ
بِالْحَنِيْفَةِ السَّمْحَةِ
Artinya: “saya diutus dengan (membawa) agama yang lurus dan
ringan.”[9]
C.
Tahsiyat
Kebutuhan yang bersifat
tahsini ialah hal yang berhubungan dengan kehormatan, tatakrama serta bagaimana
menjalani kehidupan dengan lurus dan benar. Memang hal ini tidak berimbas pada
kelangsungan hidup dan tidak menimbulkan mafasid, akan tetapi hal ini
menjadikan kehidupan mereka menjadi tidak sedap dan membuat suatu imeg
negative. Tahsini dalam pengertian ini mengacu pada pembentukan akhlaq yang
baik, adat atau kebiasaan yang baik serta segala hal yang bisa membuat
kehidupan menjadi benar dan lurus sesuai syari’at.[10]
Kebutuhan tahsiyat (tersiyer/ pelengkap) adalah kebutuhan yang
dituntut oleh harga diri, normal dan tatanan hidup berperilaku lurus. Jika
tidak terpenuhi, maka aturan hidup manusia tidak rusak seperti jika kebutuhan
primer tidak terpenuhi. Mereka tidak pula mendapatkan kesulitan seperti jika
kebutuhan sekunder tidak terpenuhi. Tetapi kehidupan mereka akan terasing
menurut pemikiran yang logis dan akal sehat. Kebutuhan pelengkap bagi manusia
dengan pengertian ini kembali kepada akhlak yang mulia, tradisi yang baik dan
segala tujuan peri kehidupan menurut jalan yang paling baik.[11]
Ø Kebutuhan pelengkap yang di syaratkan oleh islam
Kebutuhan pelengkap manusia, sebagaimana telah kami jelaskan di
muka adalah kembali kepada segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan
manusia, dapat menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri dan
kemuliaan akhlak. Islam telah menetapkan berbagai hukum tentang ibadah,
muamalah, dan hukuman yang bertujuan untuk perbaikan, keindahan serta tradisi
mereka menjadi lebih baik dan paling tegak.
Dalam hal ibadah, islam menetapkan kebersihan badan, pakaiyan,
tempat, menutup aurat, menjaga dari najis, membersihkan dari kencing, sunnah
mengambil perhiasan ketika masuk masjid, berbuat baik dengan bersedekah, shalat
dan puasa, serta segala bentuk ibadah yang ditetapkan beserta rukun, syarat dan
tatakramanya. Semuanya itu kembali kepada membiasakan manusia ke dalam
kebiasaan yang lebih baik.
Dalam hal muamalah, hram melakukan penipuan, memperdaya dan
pemalsuan, boros dan terlalu kikir terhadap diri sendiri. Haram menggunakan
sesuatu yang najis dan berbahaya. Melarang jual beli yang telah di tawar orang
lain, menghadang pedagang sebelum masuk lokasi perdagangan, menaikkan harga (di
atas standar), dan muamalah lain yang menjadikan manusia berada pada jalan yang
paling baik.
Dalam hal hukuman, dalam melakukan jihad diharamkan membunuh para
rahib, anak-anak dan wanita. Dilarang melakukan penyiksaan, berkhianat,
membunuh orang yang tidak bersenjata, dan membakar orang hidup atau sudah mati.
Dalam hal akhal dan keutamaan amal, islam menetapkan hal-hal yang dapat
mendidik individu dan masyarakat serta dapat menuntun manusia untuk berjalan di
jalan yang lebih lurus.
Allah swt telah menunjukkan maksudnya terhadap kebaikan dan
keindahan ini dengan alasan dan hikmah penetapan hukum yang menyertai sebagian
hukumnya. Seperti firman Allah swt:
وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
Artinya: “tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmatnya bagimu.” (Qs. Al-Maidah: 6)
اِنَّمَا بُعِثْتُ لَاُتَمِّمَ
مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
mulia”
اِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ
اِلَّا طَيِّبًا
Artinya: “sesungguhnya Allah swt. Itu maha baik, dia tidak
menerima kecuali yang baik”.
Dari hasil penelitian terhadap hukum-hukum syara’, alasan dan
hikmah pengundangannya dalam masalah dan kejadian yang bermacam-macam, dapat
diambil kesimpulan bahwa syar’i tidak menghendaki penetapan hukum itu kecuali
menjaga kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan pelengkap manusia. Inilah
kemaslahatan bagi mereka.
Imam Abu Ishak As Syathibi telah menjelaskan dalam permualaan juz
kedua dari kitabnya, Al-Muwafaqaat, dalam kekuatan penjelasan tersebut
dengan tidak menambah keterangan lain. Setelah beliau menyebutkan beberapa
contoh hukum syara’ dan hikmahnya yang menunjukkan bahwa semua hukum syara’
tidak dimaksudkan kecuali satu diantara tiga hal yang dapat menciptakan
kemaslahatan pada manusia, dia berkata: “dari lafal yang dhahir, umum, mutlak
dan terbatas, serta juz (bagian) tertentu dari bermacam-macam barang, dan
kejadian yang berbeda dalam masalah fikih sekaligus salah satu hal diantara
pembahasannya, dapat diambil kesimpulan bahwa pembentukan hukum itu tidak
selalu berkisar antara menjaga tiga hal di atas, yang merupaka dasar
kemaslahatan manusia.”
Hikmah syari’ islam dan keinginannya untuk menjaga tiga hal
tersebut dengan cara yang sempurna, menuntut agar ditetapkan beserta hukum yang
menjaga tiga hal itu, hukum yang dapat menyempurnakannya dalam merealisir
tujuan-tujuan itu.
Dalam kebutuhan primer, ketika syari’ menetapkan kewajiban shalat
demi menjaga agama, maka ditetapkan pula pelaksanaannya secara berjamaah dan
diumumkan dengan azhan untuk menegakkan agama dan menjaganya secara lebih
sempurna dengan menampakkan syiarnya dan dilakukan secara berkelompok.
Ketika hukum qishash ditetapkan untuk memelihara jiwa
manusia, maka di tetapkan pula “kesamaan” agar sampai kepada tujuan qishash tanpa
menimbulkan permusuhan dan kebencian. Karena pembunuhan yang dilakukan oleh
pembunuh pada satu gambaran dapat lebih keji dari apa yang telah terjadi, yang
dapat menyebabkan pertumpahan darah dan rusaknya tujuan qishash itu
sendiri.
Ketika zina diharamkan karena menjaga harga diri, maka di haramkan
pula menyendiri dengan wanita yang bukan muhrimnya untuk menutup jalan
perzinaan. Ketika minum khamer diharamkan untuk memelihara akal, maka
diharamkan pula minum sedikit saja meskipun tidak sampai mabuk. Ditetapkan pula
kaidah: kewajiban yang tidak sempurna tanpa suatu hal, maka suatu hal itu
dihukumi wajib, dan sesuatu yang dapat mengarah kepada yang dilarang maka
sesuatu itu juga dilarang. Islam banyak mengingatkan hal-hal yang mudah,
membatasi yang mutlak, dan mentakhsish hal-hal yang umum demi menutup
kemungkinan yang bakal terjadi. Ketika perkawinan itu di syariatkan untuk
beranak dan berketurunan, maka disyaratkan adanya keseimbangan antara suami
istri demi keselarasan dan hubungan keluarga yang harmonis. Jadi, hukum yang
disyariatkan untuk menjaga kebutuhan primer manusia, di sempurnakan dengan
menetapkan hukum yang dapat merealisir tujuan itu dengan cara yang sempurna.
Dalam kebutuhan sekunder, ketika disyariatkan berbagai bentuk
muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, koperasi dan bagi hasil, maka
bdisempurnakan dengan larangan melakukan penipuan, pemalsuan, dan jual beli
barang yang tidak ada (ditempat akad). Dijelaskan hal-hal seperti syarat, yang
dapat menjadikan sah atau tidaknya akad, dan hal-hal lain yang menjadikan
muamalah itu dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa menimbulkan pertengkaran
dan kedengkiyan.
Dalam kebutuhan pelengkap, ketika disyaratkan hukum bersuci,
disunnahkan pula hal-hal yang dapat menyempurnakan hukum itu. Ketika ditetapkan
hukum sunnah, maka dijadikan pula ketentuan
yang wajib dilakukan dalam kesunnahan itu, agar mukallaf tidak terbiasa
membatalkan perbuatannya sebelum sempurna. Ketika disunnahkan berinfak
(bersedekah) maka disunnahkan agar yang disedekahkan itu dari hasil kerja yang
halal. Barang siapa mau memperdalam penelitiannya terhadap hukum-hukum syariat
islam, maka akan jelas bagi dia bahwa tujuan dari semua hukum syariat itu
adalah menjaga kebutuhan primer, sekunder, tersier atau menyempurnakan
pemeliharaan kepada salah satu tiga kepentingan tersebut.[12]
D.
Tertib Hukum
Syarat Menurut Tujuan
Dari apa yang telah kami jelaskan dimuka mengenai pengertian dharury
(primer), hajjiy (sekunder), dan tahsiiniy (pelengkap) maka
jelaslah bahwa dharuriy (kebutuhan primer) adalah tujuan paling utama,
karena tanpanya, aturan hidup menjadi cacat, banyak timbul kerusakan diantara
manusia dan kemaslahatan jadi tersia-siakan. Urutan kedua adalah haajiy (kebutuhan
sekunder) karena tanpa dia manusia akan mengalami kesempitan, kesulitan, dan
beban berat yang harus dipikulnya. Berikutnya adalah tahsiiniy (kebutuhan
pelengkap), karena meskipun tanpa dia aturan hidup manusia itu tidak rusak dan
tidak pula ditimpa kesulitan, tetapi manusia akan keluar dari tuntutan menjadi
manusia sempurna dan bermartabat serta yang di anggap baik menurut akal sehat.
Atas dasar ini, maka hukum syara’ yang diundangkan demi menjaga
kebutuhan primer adalah hukum yang paling penting dan lebih berhak untuk
diperhatikan, menyusul kemudian hukum yang diundangkan untuk memenuhi kebutuhan
sekunder, dan hukum yang di undangkan untuk mempercantik dan menghiasi
kehidupan manusia. Adapun hukum yang diundangkan untuk keindahan ini dianggap
sebagai penyempurna bagi hukum yang diundang untuk kebutuhan sekunder.
Sedangkang hukum yang di undang untuk kebutuhan sekunder dianggap sebagai
penyempurna bagi hukum yang diundangkan untuk menjaga kebutuhan primer.
Hukum tentang kebutuhan pelengkap tidak boleh dijaga jika dalam
penjagaannya dapat merusak hukum tentang kebutuhan primer dan sekunder. Karena
penyempurna tidak perlu dijaga jika dapat merusak kepada yang disempurnakan.
Oleh karena itu:
1.
Diperbolehkan
membuka aurat jika dituntut dalam pengobatan atau penyembuhan luka, karena
menutup aurat adalah perbuatan tahsiiniy sedangkan pengobatan adalah dharuriy.
2.
Diperolehkan
menggunakan barang najis jika berupa obat atau dalam keadaan terpaksa, karena
menjaga najis adalah tahsiiniy sedangkan pengobatan dan menolak bahaya
adalah dharuriy.
3.
Diperbolehkan
akad pada barang yang tidak ada, seperti dalam salam (pesanan) dan pekerja
industri, diperbolehkan akad yang tidak jelas, dalam muzaara’ah (menggarap
tanah pertanian), pengairan dan jual beli barang yang tidak ada, karena
dituntut oleh kebutuhan manusia untuk mengindahkan kebutuhan-kebutuhan ini.
Hukum haajiy (kebutuhan sekunder) tidak boleh dijaga jika
dapat merusak kepada hukum dharuriy (kebutuhan primer). Oleh karena itu,
melaksanakan fardhu dan wajib adalah keharusan bagi mukallaf yang tidak dalam
keadaan diperbolehkan melaksanakan rukhshah, meskipun beban yang mereka
tanggung sangat berat. Karena semua pembebanan mesti mengandung beban dan
payah. Maka, seandainya diperhatikan agar mukallaf tidak tertimpa kesulitan
apapun, maka banyak sekali hukum dharuriy yang sia-sia, seperti ibadah,
hukuman dan lain-lain. Karena dalam mematuhi semua yang diperintahkan atau
tidak boleh dilakukan mukallaf tidak lepas dari kesulitan. Tetapi menanggung
beban kesulitan ini adalah dalam upaya menjaga kebutuhan primer manusia.
Adapun hukum dharuriy itu wajib dijaga. Tidak boleh merusak
salah satu hukumnya kecuali jika dalam penjagaannya dapat merusak kepada hukum dharuriy
yang lebih utama. Oleh karena itu:
1.
Wajib berjihad
untuk mempertahankan agama, meskipun terjadi pengorbanan jiwa, karena mempertahankan
agama lebih penting dari pada mengorbankan jiwa.
2.
Boleh minum
khamer jika dipaksa meminumnya (dengan ancaman) dibunuh, dipotong anggota
tubuhnya, atau terpaksa karena sangat haus, karena menjaga jiwa lebih penting
dari pada menjaga akal.
3.
Jika dipaksa
merusak harta orang lain, maka boleh menjaga diri dari kematian meskipun dengan
mengorbankan harta orang lain.
Hukum-hukum ini menyia-nyiakan hukum dharuriy karena menjaga
hukum dharuriy yang lebih penting.
Sudah dibuktikan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan hukumnya
tidak lepas dari penjagaan pada salah satu dari tiga hal itu, atau dari hal
yang dapat menyempurnakannya. Dan tujuan-tujuan itu dalam penjagaannya
bertingkat sesuai dengan prioritasnya. Berdasarkan urutan prioritas ini
ditetapkan hukum yang dapat merealisir tujuan-tujuan tersebut.
Dari kaidah dasar hukum syara’ yang pertama ini, diletakkan dasar
hukum syara’ yang khusus untuk menolak bahaya dan dasar hukum syara’ yang
khusus menghilangkan kesulitan. Dari setiap dasar hukum ini bermunculan
beberapa cabang dan dapat dikeluarkan beberapa hukum.
Berikut adalah dasar hukum syara’ yang khusus untuk menolak bahaya
dan contoh cabang yang timbul dari setiap dasar hukum itu:
1.
الضَّرَرُ يُزَالُ
شَرْعًا
“bahaya itu menurut syara’ harus dilenyapkan”. Diantara
cabangnya: ketetapan hak syuf’ah (menutup harga) bagi pemilik bersama
atau tetangga, ketetapan hak khiyar (memilih) bagi pembeli dalam
mengembalikan barang sebab cacat dan hak khiyar yang lain, menutup
sebagian harga jika sekutu tidak mau menutup harga, keharusan menjaga diri dan
berobat jika sakit, wajib membunuh binatang buas yang berbahaya, wajib
melaksanakan hukum had, ta’zir dan denda atas orang yang melalukan tindak
pidana.
2.
الضَّرَرُ لاَيُزَالُ
بِالضَّرَرِ
“bahaya tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya”
cabang-cabangnya diantara lain: tidak boleh bagi seseorang untuk mempertahankan
tanahnya agar tidak tergenang air dengan menggenangi tanah orang lain, orang
yang kelaparan tidak boleh mengambil makanan orang lain yang juga kelaparan.
3.
يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ
الْخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ العَامْ
“bahaya yang bersekala kecil ditangguhkan demi menolak bahaya
yang berskala besar.”
Cabang-cabangnya diantara lain: seorang pembunuh dibunuh demi menjaga jiwa
manusia yang lain, tangan pencuri dipotong demi menjaga harta manusia,
merobohkan tembok yang sudah hampir roboh dijalan umum, memenjarakan seorang mufti
yang gila, seorang dokter yang bodoh, dan penyewa yang pailit, menjual
harta seorang kreditur secara paksa jika ia tidak mau menjual dan membayar
hutangnya, menaikkan harga barang kebutuhan sekunder jika pemiliknya menaikkan
harga barangnya, menjual makanan secara paksa jika pemiliknya menimbunnya
sedangkan manusia membutuhkannya dan ia tidak mau menjualnya, kios tukan besi
dilarang berada diantara para pedagang kain.
4.
يُرْ تَكَبُ أَخَفُّ
الضَرَرَيْنِ لاتِقَاءِ أَشَدِّهِمَا
“melaksanakan bahaya yang lebih ringan demi terhindar dari
bahaya yang lebih berat.” Diantara cabangnya: menahan seorang suami jika
menunda-nunda pemberian nafkah kepada istri, menahan seorang kerabat jika tidak
memberi nafkah kepada kerabat (yang menjadi tanggungannya). Seorang istri
ditalak karena berbahaya dan kesulitan ekonomi, jika seorang yang sakit
terpaksa makan bangkai atau harta orang lain, ia boleh mengambilnya, jika orang
yang hendak solat itu tidak mampu bersuci, menutup aurat dan menghadap kiblat,
maka ia boleh shalat sesuai kemampuannya, karna meninggalkan syarat-syarat ini
lebih ringan dari pada meninggalkan shalat.
5.
دَفْعُ الْمَضَارِّ
مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَنَافِعِ
“menolak bahaya harus dilakukan dari pada menarik manfaat.”
Oleh karena itu dalam sebuah hadis dikatakan yang artinya: “sesungguhnya yng
telah aku larang maka jauhilan dan sesuatu yang aku perintah maka laksanakan
semampu kalian.” Diantara cabangnya adalah: pemilik harta dilarang
membelanjakan hartanya jika pembelanjaan itu membahayakan orang lain, orang
yang berpuasa dilarang berkumur atau menghirup air kehidung secara berlebihan.
6.
الضَّرُورَاتُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“keadaan darurat itu menjadikan boleh melakukan yang dilarang.”
Diantara cabangnya: orang yang terpaksa karena kelaparan memakan bangkai, darah
atau barang yang diharamkan maka ia tidak berdosa memakannya, Orang yang tidak
mampu mempertahankan diri kecuali dengan membahayakan orang lain, maka ia boleh
mempertahankan diri dengan membahayakan orang lain: orang yang tidak mau
membayar hutang, maka boleh mengambil hartanya untuk membayar hutang tanpa
seizinnya.
7.
الضَّرُورَةُ
تُقَدِّرُ بِقَدَرِهَا
“darurat itu diukur menurut ukurannya.” Diantara cabangnya:
orang yang terpaksa memakan barang yang diharamkan, tidak boleh memakannya
kecuali sekedar menghindari kerusakan (sudah tidak dianggap terpaksa) , najis
itu tidak di ma’fu kecuali sekedar tidak mampu menghindarinya, hukum rukhshah
menjadi batal jika sebabnya hilang, tayammum menjadi batal jika mudah
bersuci dengan air, berbuka disiang hari bulan Ramadhan diharamkan jika seorang
musafir yang sehat sudah bermukim lagi, dan semua yang diperbolehkan karena
uzur, menjadi batal jika uzur itu tidak ada.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai dasar-dasar yang khusus
menghilangkan kesulitan, sekaligus contoh cabang dari dasar-dasar itu:
1.
الْمَشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَيْسِيْرَ
“kesulitan itu mendatangkan kemudahan.” Diantara cabangnya:
semua hukum rukhshah yang disyariatkan oleh Allah swt. Untuk kesenangan
dan keringanan mukallaf karena ada sebab yang menuntut keringanan itu.
Sebab-sebab ini menurut penelitian ada tujuh:
a.
Bepergian,
karena bepergian maka boleh berbuka dibulan Ramadhan, mengqashar shalat
yang empat rakaat (menjadi dua rakaat), gugurnya kewajiban shalat jum’at,
berjamaah dan diperbolehkannya tayammum.
b.
Sakit, karena
sakit maka boleh berpuka dibulan Ramadhan, tayammum, shalat dengan duduk dan
memakan yang haram sebagai obat.
c.
Terpaksa,
karena terpaksa maka boleh bagi orang yang dipaksa untuk mengucapkan kata-kata
kafir, meninggalkan kewajiban, merusak barang orang lain, memakan bangkai dan
meminum khamer.
d.
Lupa, karena
lupa maka dihapuslah dosa itu bagi orang yang melakukan maksiat, puasa tidak
batal sebab makan dan minum disiang hari bulan Ramadhan karena lupa, binatang
yang disembelih karena tidak menyebut nama Allah swt itu tidak haram karena
lupa menyebutnya.
e.
Tidak tahu,
karena tidak tahu maka boleh mengembalikan benda yang dijual sebab ada cacat
karena pembeli tidak tahu barangnya. Boleh merusak nikah sebab ada cacat bagi
orang yang tidak tahu adanya cacat, bertentangan dalam pengakuan nasab
dimaafkan karena tidak tahu, begitu juga dimaafkan bertentangan bagi ahli
waris, penerima wasiat dan pemelihara wakaf karena tidak tahu.
f.
Gangguan umum,
karena gangguan yang umum maka dimaafkan percikan najis dari tanah jalan raya
atau yang lain karena sulit menghindarinya, sedikit penipuan dalam penukaran
barang juga dimaafkan.
g.
Kurang, karena
kekurangan maka pembebanan kepada anak kecil dan orang gila itu dihapuskan,
penghapusan sebagian kewajiban bagi para budak dan wanita, sehingga mereka
tidak wajib shalat jum’at, berjamaah dan berjihad.
2.
الْحَرَجُ شَرْعًا
مَرْفُعٌ
“kesulitan itu menurut syara’ dapat dihingkan.” Diantara
cabangnya: menerima kesaksian satu orang wanita dalam hal yang tidak boleh
dilihat oleh kaum laki-laki, seperti cacat perempuan dan keadaannya, cukup
dengan dugaan yang kuat, tidak perlu kemantapan dan keyakinan, dalam menghadap
kiblat, kebersihan tempat, air, putusan hukum dan kesaksian. Dan termasuk
cabangnya adalah ketetapan para ulama bahwa jika sesuatu itu sempit, maka
menjadi longgar.
3.
اَلحَاجَاتُ تَنْزِلُ
مَنْزِلَةً الضَّرُورَاتِ فِى اِبَاحَةِ الْمَحْظُوْراتِ
“kebutuhan itu menempati kedudukan darurat dalam kebolehan
memperoleh sesuatu yang haram.” Diantara cabangnya: keringanan dalam akad
pesanan, jual beli secara waafa, pekerja industri, jaminan susulan,
boleh meminjam dengan bunga bagi orang yang membutuhkan, dan akad lain serta
pengelolaan atas sesuatu yang tidak diketahui atau tidak ada tetapi dituntut
oleh kebutuhan.
Diantara hal-hal yang timbul dari kaidah ini adalah hukum-hukum
seperti akad muamalah, membentuk koperasi yang terjadi dikalangan manusia dan
dituntut oleh kebutuhan dalam perniagaan mereka. Sesungguhnya, jika terdapat
bukti yang shahih dan penelitian yang sempurna menunjukkan bahwa bentuk akad
ini diharamkan atas mereka, maka akad ini diperbolehkan bagi mereka sekedar
dapat menghilangkan kesulitan, meskipun hal itu dilarang karena mengandung riba
dan ketidak jelasan. Hal ini didasarkan pada kebutuhan itu membolehkan yang dilarang
seperti darurat dan ukurannya pun seperti darurat.
Pengarang kitab “Ashbah wan Nazhaa’ir” berkata: termasuk
diantaranya adalah memberi fatwa tentang sahnya jual beli secara wafaa ketika
utang piutang melanda msyarakat bukhara, dan begitu juga dimesir. Mereka
memberi istilah dengan jual beli amanah. Dalam hal benda yang dimiliki
dan dicari, maka bagi orang yang membutuhkan boleh meminjam dengan bunga[13]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara umum pembentukan sistem syara’
adalah bertumpu pada tujuan untuk kemaslahatan manusia dengan memenuhi
kebutuhan dharuriy, hajati maupun tahsini. Maka setiap hukum syatra’ tentulah
tidak keluar dari salah satu tiga hal di atas, karena dari tiga hal inilah
kemaslahatan manusia bisa tercapai
Yang menjadi tujuan umum bagi syari’
dari pembentukan hukum ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin
kebutuhan dharuriyah (primer)nya, memenuhi kebutuhan hajjiyah (sekunder),
serta kebutuhan tahsiniyyah (pelengkap)nya.
Setiap hukum syara’ tidak memiliki
tujuan kecuali satu diantara tiga hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan
manusia ini
[1] http://jalanbaru92.blogspot.com/2012/01/kaidah-fiqhiyyah.html
[2] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[3] Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih, (Jakarta: Darul Qalam,
Kuwait, 2003) hlm: 291-294
[4] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[5] Ibid,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 294
[6] Ibid,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 295-297
[7] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[8] Ibid, Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 294
[9] Ibid,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 297-299
[10] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[11] Ibid,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 294-295
[12] Ibid,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm:299-302
[13] Ibid,
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 302-309
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)