Senin, 06 Juni 2016

MAKALAH USHUL FIQH WADHIHID DILALATI WA MUROTIBIHI (KEJELASAN DALALAH DAN TINGKATANYA)



MAKALAH USHUL FIQH
WADHIHID DILALATI WA MUROTIBIHI
(KEJELASAN DALALAH DAN TINGKATANYA)




 

PENULIS : AHMAD ADABY A.R
NIM          :                130721100061 
 




BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Mujmal Dan Mubayyan?
2.      Apa saja tinjauan Lafazh dari segi kejelasannya?
3.      Apa yang di maksud Az-zhahir?
4.      Apa yang di maksud Mufassar dan Muhkam?
5.      Bagaimana An-Nash menurut Ulama Fikih?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Mujmal Dan Mubayyan.
2.      Untuk mengetahui tinjauan Lafazh dari segi kejelasannya.
3.      Untuk mengetahui yang di maksud Az-zhahir.
4.      Untuk mengetahui yang di maksud Mufassar dan Muhkam.
5.      Untuk mengetahui An-Nash menurut Ulama Fikih.






















BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Mujmal  dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).[1] Suatu lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut Mubayyan atau Nash. Bila mempunyai dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun, bila diketahui makna yang lebih tegas dari makna yang disebut Zhahir. Dengan demikian, yang disebut mujmal adalah suatu lafazh yang cocok untuk berbagai makna. Tetapi tidak ditentukan makna yang dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-Ghazali : 145).[2]
2.      Tinjauan Lafazh dari Segi Kejelasannya
Para ulama berbeda pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasannya. Dalam hal ini, dapat dibagi dalam dua kelompok Golongan pertama, yaitu golongan hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian, yaitu: Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakalimin, di pelopori oleh Asy-Syafi’I, yang membagi Lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua yaitu Zhahir dan Nash. Kedua bentuk Lafazh ini disebut kalam Mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasan dibagi menjadi dua macam yaitu mujmal dan mutasyabih. (Muhammad Adib Salih, 1984, I : 140-141).
Letak perbedaan antara jelas dan tidak jelas adalah pada petunjuk nash pada makna yang dimaksud itu sendiri membutuhkan factor luar atau tidak. Sesuatu yang dapat dipaham maksudnya dari nash dengan sendirinya, tanpa membutuhkan factor luar disebut jelas petunjuknya. Sedangkan, sesuatu yang tidak dapat dipaham maksudnya dari nash kecuali dengan factor luar maka disebut tidak jelas petunjuknya.[3]
2.1  Pembagian Lafazh dari segi kejelasannya Menurut Ulama Hanafiyah
a)      Az-Zhahir
Az-zhahir, menurut istilah ahli ushul fikih adalah sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan factor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil.
Makna yang dipaham dari suatu ucapan tanpa membutuhkan bantuan lain dan ia bukan maksud asal dari susunan katanya, maka ucapan itu dianggap zhahir.
Firman Allah Swt:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا.(البقرة:)275
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, (QS, al-baqarah:275).”
Bermakna zhahir (jelas) dalam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Karena makna itu langsung dapat dipahami dari kata: “Ahalla” dan “Harrama”, tanpa membutuhkan alasan dan hal itu bukan maksud dari susunan ayat. Karena ayat itu, seperti telah kami jelaskan, susunan asalnya adalah meniadakan persamaan antara jual beli dan riba sebagai bantahan kepada orang yang mengatakan: “Bahwasanya jual beli itu seperti riba,” tidak untuk menjelaskan kedua hukumnya.
Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
اللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلُّ عَلَيْهَا مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِتَوْقُفٍ عَلَى قَرِيْنَةٍ خَارِجَةٍ مَعَ احْتِمَالِ التَّخْصِيْصِ وَالتَّأْوِيْلِ وَقَبُوْلِ النَّسْخِ.
Artinya:
“Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.”
b)   An Nash
Nash, menurut istilah ulama fikih adalah suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil. Jika makna itu langsung dipaham dari lafal, pemahamannya tidak butuh factor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud dari susunan kata itu, maka dianggap nash. Sedangkan menurut istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
1.      Ad-Dabusi:
اَلزَّائِدُ عَلَى الظَّاهِرِ بَيَانًا اِذَاقُوْبِلَ بِهِ
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.”
2.      Al-Bazdawi
مَاازْدَادَ وُضُوْحًا عَلَى الظَّاهِرِ بِمَعْنَى الْمُتَكَلِّمِ لَا فِى نَفْسِ الصِّيْغَةِ
Artinya:
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafaz zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu adalah:
اَللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ اَلَّذِيْ سِيْقَ لِأَجْلِهِ الْكَلَامِ دِلَالَةَ وَاضِحَةً تَحْتَمِلُ التَّخْصِيْصَ وَالتَّأْوِيْلَ اِحْتِمَالًا اَضْعَفُ مِنْ اِحْتِمَالِ الظَّاهِرِ مَعَ قَبُوْلِ النَّسْخِ فِى عَهْدِالرِّسَالَةَ.
Artinya:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai contoh adalah Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertian diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Zhahir dan Nash adalah jelas petunjuknya maknanya. Artinya, dalam pemahamannya tidak membutuhkan factor luar dan wajib mengamalkan makna yang jelas pada petunjuk keduanya. Keduanya juga mungkin untuk di takwil, misalnya yang dikehendaki adalah selain petunjuk yang jelas pada kalimatnya, jika ada sesuatu yang menuntut adanya takwil itu.[4]
Kedudukan (Hukum) Lafazh Nash
Hukum lafazh nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang tedapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash.
c)      Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan peyunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasulullah masih bisa dinasakh.
As-Sarakhsi memberikan definisi mufassar dengan ungkapan sebagai berikut: (As-Sarakhsi, 1372 H.I : 165).
اِسْمٌ لِلْمَكْشُوْفِ الَّذِيْ يُعْرَفُ الْمُرَادُبِهِ مَكْشُوْفًا عَلَى وَجْهٍ لَا يَبْقَى مَعَهُ اِحْتِمَالًا.
Artinya:
“Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil”.
Atas dasar definisi tersebut maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan nash. Hal ini karena pada petunjuk zhahir dan nash  masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
... وَقَاتِلُواالْمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ.
Artinya:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semua sebagaimana mereka pun memerangi kaum semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Lafazh musyrikin pada ayat tersebut pada mulanya dapat di taksis, namun dengan adanya lafazh kaafatan kemungkinan itu menjadi tidak ada.
Hukum mufassar harus diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya, ia tidak mempunyai kemungkinan untuk dipalingkan dari makna lahirnya. Hukumnya bisa menerima nasakh (salin) jika termasuk di antara hukum yang telah kami jelaskan dalam azh-zhahir, yakni hukum cabang yang menerima perubahan. Jadi, tafsir yang meniadakan kemungkinan takwil adalah tafsir yang diambil langsung dari bentk kalimatnya, atau yang diambil dari penjelasan (tafsir)nya yang pasti, disamakan dalam bentuknya, dan keluar dari yang disyariatkan itu sendiri, karena penjelasan ini termasuk undang-undang. Sedangkan tafsir dari para peneliti dan para mujtahid tidak dianggap bagian yang menyempurnakan undang-undang, tidak dapat menghilangkan kemungkinan takwil, dan selain syari’ sendiri mengenai nash yang mungkin ditakwil tidak berhak untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ini, bukan lainnya.
Hukum Mufassar
Dilalah Mufassar wajib diamalkan secara qath’I, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin di-takwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dengan demikian, dilalah mufassar lebih kuat daripada dilalah zhahir dan dilalah nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangn antara dilalah mufassar dengan dilalah nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan.[5]
d)     Muhkam
Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’I, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-taksis dan di nasakh meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT:
وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya:
“Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Pengertian ayat tersebut sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah.
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti tegas. Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarakhsi:
فَالْمُحْكَمُ مُمْتَنِعٌ مِنْ اِحْتِمَالِ التَّأْوِيْلِ وَمِنْ اَنْ يَرُدَّعَلَيْهِ النَّسْخُ
Artinya:
“Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Lafazh Muhkam apabila lafazhnya khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazh-nya ‘aam, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash, dengan maknanya sudah jelas dan tegas, tidak mempunyai kemungkinan-kemungkinan lain. Contoh: Firman Allah SWT tentang haramnya menikahi janda Rasulullah.
Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Hukum Muhkam
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’I, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu, dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut di atas. Dengan sendirinya, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil di atas, maka yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.[6]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Suatu lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut Mubayyan atau Nash. Bila mempunyai dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun, bila diketahui makna yang lebih tegas dari makna yang disebut Zhahir.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasannya. Dalam hal ini, dapat dibagi dalam dua kelompok Golongan pertama, yaitu golongan hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian, yaitu: Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakalimin, di pelopori oleh Asy-Syafi’I, yang membagi Lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua yaitu Zhahir dan Nash. Kedua bentuk Lafazh ini disebut kalam Mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasan dibagi menjadi dua macam yaitu mujmal dan mutasyabih. (Muhammad Adib Salih, 1984, I : 140-141).
Letak perbedaan antara jelas dan tidak jelas adalah pada petunjuk nash pada makna yang dimaksud itu sendiri membutuhkan factor luar atau tidak. Sesuatu yang dapat dipaham maksudnya dari nash dengan sendirinya, tanpa membutuhkan factor luar disebut jelas petunjuknya. Sedangkan, sesuatu yang tidak dapat dipaham maksudnya dari nash kecuali dengan factor luar maka disebut tidak jelas petunjuknya.



Daftar Pustaka
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010




[1] http://emasulistiawati1726.blogspot.com/2013/01/lafadz-dan-dalalah.html
[2] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm 150
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm 231
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm 235
[5] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm 157
[6] http://intansun.blogspot.com/2013/04/dalalah-yang-jelas-dan-tingkatannya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar