MAKALAH USHUL FIQH
WADHIHID DILALATI WA MUROTIBIHI
(KEJELASAN DALALAH DAN TINGKATANYA)
PENULIS : AHMAD ADABY A.R
NIM : 130721100061
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Nash/teks Al-Qur’an dan
Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud
(penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa
digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah
ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka
barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis
ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan
sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan
mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu
mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir,
kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan
tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah
seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah
ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah
fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa,
pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang
diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah
itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya
adalah berdosa.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian Mujmal Dan Mubayyan?
2.
Apa
saja tinjauan Lafazh dari segi kejelasannya?
3.
Apa
yang di maksud Az-zhahir?
4.
Apa
yang di maksud Mufassar dan Muhkam?
5.
Bagaimana
An-Nash menurut Ulama Fikih?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Mujmal Dan Mubayyan.
2.
Untuk
mengetahui tinjauan Lafazh dari segi kejelasannya.
3.
Untuk
mengetahui yang di maksud Az-zhahir.
4.
Untuk
mengetahui yang di maksud Mufassar dan Muhkam.
5.
Untuk
mengetahui An-Nash menurut Ulama Fikih.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh
persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan
para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan
tegas, kenyataannya petunjuk
(dilalah) lafazh-lafazh yang
terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).[1] Suatu lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak
mempunyai kemungkinan makna lain disebut Mubayyan atau Nash. Bila
mempunyai dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat
disebut mujmal. Namun, bila diketahui makna yang lebih tegas dari makna
yang disebut Zhahir. Dengan demikian, yang disebut mujmal adalah
suatu lafazh yang cocok untuk berbagai makna. Tetapi tidak ditentukan
makna yang dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan
pemakaiannya (Al-Ghazali : 145).[2]
2.
Tinjauan
Lafazh dari Segi Kejelasannya
Para ulama berbeda pendapat dalam
mengatasi tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasannya. Dalam hal
ini, dapat dibagi dalam dua kelompok Golongan pertama, yaitu golongan hanafiyah
yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat
bagian, yaitu: Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakalimin, di pelopori oleh
Asy-Syafi’I, yang membagi Lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua
yaitu Zhahir dan Nash. Kedua bentuk Lafazh ini disebut
kalam Mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasan dibagi menjadi dua
macam yaitu mujmal dan mutasyabih. (Muhammad Adib Salih, 1984, I
: 140-141).
Letak perbedaan antara jelas dan
tidak jelas adalah pada petunjuk nash pada makna yang dimaksud itu sendiri
membutuhkan factor luar atau tidak. Sesuatu yang dapat dipaham maksudnya dari
nash dengan sendirinya, tanpa membutuhkan factor luar disebut jelas
petunjuknya. Sedangkan, sesuatu yang tidak dapat dipaham maksudnya dari nash
kecuali dengan factor luar maka disebut tidak jelas petunjuknya.[3]
2.1
Pembagian
Lafazh dari segi kejelasannya Menurut Ulama Hanafiyah
a)
Az-Zhahir
Az-zhahir, menurut istilah ahli ushul fikih adalah sesuatu yang maksudnya
ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan factor luar, bukan
tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil.
Makna yang dipaham dari suatu ucapan
tanpa membutuhkan bantuan lain dan ia bukan maksud asal dari susunan katanya,
maka ucapan itu dianggap zhahir.
Firman Allah
Swt:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا.(البقرة:)275
“Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, (QS, al-baqarah:275).”
Bermakna zhahir
(jelas) dalam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Karena makna
itu langsung dapat dipahami dari kata: “Ahalla” dan “Harrama”, tanpa
membutuhkan alasan dan hal itu bukan maksud dari susunan ayat. Karena ayat itu,
seperti telah kami jelaskan, susunan asalnya adalah meniadakan persamaan antara
jual beli dan riba sebagai bantahan kepada orang yang mengatakan: “Bahwasanya jual
beli itu seperti riba,” tidak untuk menjelaskan kedua hukumnya.
Muhammad
Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
اللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلُّ عَلَيْهَا مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِتَوْقُفٍ عَلَى
قَرِيْنَةٍ خَارِجَةٍ مَعَ احْتِمَالِ التَّخْصِيْصِ وَالتَّأْوِيْلِ وَقَبُوْلِ
النَّسْخِ.
Artinya:
“Suatu
lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa
menunggu qarinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun mempunyai
kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.”
b) An
Nash
Nash, menurut istilah ulama fikih adalah suatu
yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal yang dimaksud dari susunan
katanya dan mungkin untuk ditakwil. Jika makna itu langsung dipaham dari lafal,
pemahamannya tidak butuh factor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud
dari susunan kata itu, maka dianggap nash. Sedangkan menurut istilah antara
lain dapat dikemukakan di sini menurut:
1. Ad-Dabusi:
اَلزَّائِدُ عَلَى الظَّاهِرِ بَيَانًا اِذَاقُوْبِلَ بِهِ
Artinya:
“Suatu
lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan
lafazh zhahir.”
2. Al-Bazdawi
مَاازْدَادَ وُضُوْحًا عَلَى الظَّاهِرِ بِمَعْنَى الْمُتَكَلِّمِ لَا فِى
نَفْسِ الصِّيْغَةِ
Artinya:
“Lafazh yang
lebih jelas maknanya daripada makna lafaz zhahir yang diambil dari si
pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai
tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan
bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan
qarinah.
Atas dasar
uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu
adalah:
اَللَّفْظُ الَّذِيْ يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ اَلَّذِيْ سِيْقَ لِأَجْلِهِ
الْكَلَامِ دِلَالَةَ وَاضِحَةً تَحْتَمِلُ التَّخْصِيْصَ وَالتَّأْوِيْلَ
اِحْتِمَالًا اَضْعَفُ مِنْ اِحْتِمَالِ الظَّاهِرِ مَعَ قَبُوْلِ النَّسْخِ فِى
عَهْدِالرِّسَالَةَ.
Artinya:
“Nash adalah
suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur
pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan ditakwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh
zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai
contoh adalah Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Dilalah nash
dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli
dan riba.
Pengertian
diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih
memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba)
karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Zhahir dan Nash adalah jelas petunjuknya
maknanya. Artinya, dalam pemahamannya tidak membutuhkan factor luar dan wajib
mengamalkan makna yang jelas pada petunjuk keduanya. Keduanya juga mungkin
untuk di takwil, misalnya yang dikehendaki adalah selain petunjuk yang jelas
pada kalimatnya, jika ada sesuatu yang menuntut adanya takwil itu.[4]
Kedudukan
(Hukum) Lafazh Nash
Hukum lafazh
nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan
petunjuknya atau dilalah-nya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan,
mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah
kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih
jauh dari kemungkinan yang tedapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu,
apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash,
maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh
zhahir pada lafazh Nash.
c) Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu
hukum dengan peyunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak
mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasulullah masih bisa
dinasakh.
As-Sarakhsi
memberikan definisi mufassar dengan ungkapan sebagai berikut:
(As-Sarakhsi, 1372 H.I : 165).
اِسْمٌ لِلْمَكْشُوْفِ الَّذِيْ يُعْرَفُ الْمُرَادُبِهِ مَكْشُوْفًا عَلَى
وَجْهٍ لَا يَبْقَى مَعَهُ اِحْتِمَالًا.
Artinya:
“Suatu nama
untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta
tidak ada kemungkinan ditakwil”.
Atas dasar
definisi tersebut maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada
petunjuk zhahir dan nash. Hal ini karena pada petunjuk zhahir dan
nash masih terdapat kemungkinan
ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan
tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
... وَقَاتِلُواالْمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَافَّةً
وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ.
Artinya:
“Dan
perangilah kaum musyrikin itu semua sebagaimana mereka pun memerangi kaum
semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Lafazh
musyrikin pada ayat tersebut pada mulanya dapat di taksis, namun dengan adanya lafazh
kaafatan kemungkinan itu menjadi tidak ada.
Hukum mufassar
harus diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya, ia tidak mempunyai
kemungkinan untuk dipalingkan dari makna lahirnya. Hukumnya bisa menerima nasakh
(salin) jika termasuk di antara hukum yang telah kami jelaskan dalam azh-zhahir,
yakni hukum cabang yang menerima perubahan. Jadi, tafsir yang meniadakan
kemungkinan takwil adalah tafsir yang diambil langsung dari bentk kalimatnya,
atau yang diambil dari penjelasan (tafsir)nya yang pasti, disamakan dalam
bentuknya, dan keluar dari yang disyariatkan itu sendiri, karena penjelasan ini
termasuk undang-undang. Sedangkan tafsir dari para peneliti dan para mujtahid
tidak dianggap bagian yang menyempurnakan undang-undang, tidak dapat
menghilangkan kemungkinan takwil, dan selain syari’ sendiri mengenai nash yang
mungkin ditakwil tidak berhak untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ini,
bukan lainnya.
Hukum
Mufassar
Dilalah
Mufassar wajib diamalkan secara qath’I, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya.
Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya,
karena tidak mungkin di-takwil dan ditakhsis, melainkan hanya
bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
Dengan
demikian, dilalah mufassar lebih kuat daripada dilalah zhahir dan
dilalah nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangn antara dilalah
mufassar dengan dilalah nash dan zhahir maka dilalah
mufassar harus didahulukan.[5]
d) Muhkam
Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukkan
makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’I, dan tidak
mempunyai kemungkinan di-takwil, di-taksis dan di nasakh meskipun
pada masa Nabi, lebih-lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya
firman Allah SWT:
وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya:
“Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala
sesuatu.”
Pengertian ayat tersebut sangat jelas dan
tegas dan tidak mungkin diubah.
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama,
yang berarti atqama, yaitu pasti tegas. Sedangkan menurut istilah
adalah sebagaimana yang dikemukakan As-Sarakhsi:
فَالْمُحْكَمُ مُمْتَنِعٌ مِنْ اِحْتِمَالِ التَّأْوِيْلِ وَمِنْ اَنْ
يَرُدَّعَلَيْهِ النَّسْخُ
Artinya:
“Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan
adanya nasakh.”
Lafazh
Muhkam apabila lafazhnya khash, tidak bisa di-takwil dengan
arti lain. Dan apabila lafazh-nya ‘aam, tidak bisa di-takhsis dengan
makna khash, dengan maknanya sudah jelas dan tegas, tidak mempunyai
kemungkinan-kemungkinan lain. Contoh: Firman Allah SWT tentang haramnya
menikahi janda Rasulullah.
Sehubungan
dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu
terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena
terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Hukum Muhkam
Dilalah
muhkam wajib diamalkan secara qath’I, tidak boleh dipalingkan dari
maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu, dilalah muhkam lebih
kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut di atas. Dengan
sendirinya, apabila terjadi pertentangan dengan macam dalil di atas, maka yang
harus didahulukan adalah dilalah muhkam.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suatu lafazh yang mempunyai
makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut Mubayyan atau
Nash. Bila mempunyai dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna
yang lebih kuat disebut mujmal. Namun, bila diketahui makna yang lebih
tegas dari makna yang disebut Zhahir.
Para ulama berbeda pendapat dalam
mengatasi tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasannya. Dalam hal
ini, dapat dibagi dalam dua kelompok Golongan pertama, yaitu golongan hanafiyah
yang membagi lafazh dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat
bagian, yaitu: Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhkam.
Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakalimin, di pelopori oleh
Asy-Syafi’I, yang membagi Lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua
yaitu Zhahir dan Nash. Kedua bentuk Lafazh ini disebut
kalam Mubayyan. Sedangkan dari segi ketidakjelasan dibagi menjadi dua
macam yaitu mujmal dan mutasyabih. (Muhammad Adib Salih, 1984, I
: 140-141).
Letak perbedaan antara jelas dan
tidak jelas adalah pada petunjuk nash pada makna yang dimaksud itu sendiri
membutuhkan factor luar atau tidak. Sesuatu yang dapat dipaham maksudnya dari
nash dengan sendirinya, tanpa membutuhkan factor luar disebut jelas
petunjuknya. Sedangkan, sesuatu yang tidak dapat dipaham maksudnya dari nash
kecuali dengan factor luar maka disebut tidak jelas petunjuknya.
Daftar Pustaka
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka
Amani, 2003
Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar