JUDUL :
NASKHUL HUKMI ( MEN NASHK HUKUM)
PENULIS : AHMAD
ADABY A.R
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan Assunah merupakan sumber hukum
islam yang menggunakan bahasa arab. Jika ingin memahami dan mengambil hukum
dari sumber-sumber tersebut maka harus mengetahui seluk beluk bahasa arab dan
harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu
(dalalahnya).
Dalam memahami petunjuk nash, bukan hanya
terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan
tetapi dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu, dan
mencari ilat yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan
tempat menganalogikan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dan juga dengan
jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertianya menjadi rasional. Jalan
tersebut oleh ahli ushul fiqih dinamai dilalat al-ibarah, dilalat
al-isyarah, dilalat al-nass, dan dilalat al-iqtida.
. Dalam makalah ini membahas Thoriqotut
dilalatun nash (methode pengambilan makna nash).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimakasud nasakh ?
2. Apa
hikmah dari nasakh ?
3. Apa
sajakah macam-macam dari nasakh ?
4. Bagaimanakah
batasan dari nasakh itu sendiri ?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi
nasakh
2. Memahami hikmah
dari nasakh
3. Mengetahui
macam-macam nasakh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian nasakh
Dari
segi bahasa (lughah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan,
misalnya dalam kalimat : nasahkat arriyaahu atsaral qaumi
نَسَخَتْ اَلرِّيَاحُ أَثَارَاْلقَوْمِ
Artinya
: “angin telah menghapus jejak suatu hukum”
Sedangkan definisi nasakh menurut ulama ushul
fiqh, yang mashur ada dua yaitu:
1.
penjelasan berakhirnya
masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
2.
pembatalan hukum syara’
yanng ditetapkan terdahulu dari orangn mukallaf dengan hukum syara’ yang sama
yanng datang kemudian”
Dari kedua difinisi tersebut, para ahli ushul fiqh menyatakan
bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini : (Tajuddi
: 50)
a.
Pembatalan itu harus
dilakukan melalui tununan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya
yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum
yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
b.
Yang di batalkan adalah
syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus)
c.
Nasikkh harus
datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna
(pengecualian) tidak disebut nasakh.[1]
Nasakh
menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan pelaksanan hukum syara’ dengan
dalil yang dtang kemudia, yang membatalkan itu secara jelas (eksplisit) tau
yang terkandung (implisit), keseluruhan atau sebagian, sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan. Atau berarrti menampakkan dalil yang datang kemudian yang secara implisit
menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[2]
B. Hikmah
nasakhah
Nasakh
ini dapat terjadi pada undang-undang Allah dan undang-undang manusia. Karena tujuan
dari setiap perundangan, baik tuhan maupun manusia. Sedangkan kemaslahatan manusia
itu dapat berubah menurut perubahan keadaan mereka. Hukum terkadang diundang
kan demi kemaslahatan yang dituntut oleh sebab-sebab tertentu. Jika sebab tidak
ada, maka tidak ada kemaslahatan dalam ketetapan hukum itu. Seperti pernah
diterangkan, bahwa sekelompok umat islam datang ke kota Madinah pada hari raya
korban, kemudian Rasulullah menghendaki agar mereka membuat kemakmuran diantara
orang muslim. Maka Rasul melarang orang muslimin untuk menyimpan daging korban
mereka sampai kelompok itu menerima bagian daging korban. Ketika kelompok itu telah meninggalkan
kota Madinah, maka beliau membolehkan kaum muslimin untuk menyimpan daging
korban mereka. Beliau bersabda :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ
فَزُوْرُوْهاَ فَأِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ الْحَيَوةَ الَاخِرَةَ
Artinya:“Aku
hanya melarang kalian untuk menyimpan daging korban itu demi sekelompok orang
yang menuju kota ini. Ingat, sekarang simpanlah daging-daging itu”
Juga
karena keadilan penetapan hukum itu menuntut secara bertahap dan idak mengejutkan
orang yang menerima syariat sehingga berat untuk melaksanakannya, atau berat
untuk meninggalkannya. Tahapan ini menuntut adanya keadilan dan bergantian,
seperti terjadi pada hukum khamar. Allah SWT pada permulaanya tiadak
mengharamkannya, tetapi menjelaskan bahwa didalamnya terkandung bahaya yang
besar dan manfat bagi manusia, dan bahayanya lebih besar dari manfatnya. Ini
adalah persiapan dan pendahuluan menuju pengharaman, karena sesuatu yang
bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya mendorong akal untuk
meninggalkannya. Kemudian Allah melarang umat islam untuk mendekati shalat
dalam keadaan mabuk. Ini adalah pendahuluan kedua untuk pengharaman dan
pelarangannya, karena waktu shalat itu banyak dan terpisah-pisah, maka umat
islam tidak mungkin selamat jika meminummnya, karena mereka punya kewajiban
menjaga waktu shalat padahal mereka dalam keadaan mabuk. Kemudian datang naskh
yang tegas yang menerangkan bahwa khamer adalah kotoran dari perbuatan setan
dan perintah untuk menjauhinya. Demikian juga dalam urutan pewarisan, proses
itu pada permulaan islam tetap sebagaimana berlaku di kalangan arab jahiliyah.
Kemudian islam mulai membuat keadilan secara bertahap, pertama dalah
penghapusan hak waris bagi anak angkat. Kemudian di undangkan hukum waris secara
rinci yang menghancurkan sendi-sendi kezhaliman yang menjadi kebiasaan
orang-orang jahiliyanh dalam mengatur pewarisan harta pusaka.[3]
Telah
disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disyari’atkannya berbagai hukum kepada
manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik didunia
maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Berkaitan
dengan itu, syar’i (Allah SWT) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan
kondisi yang ada di masyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan
kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan
tetap terjamin. Akan tetapi, tidak berarrti bahwa Syar’i tidak mengetahui
kejadian yang akan terjadi, justru disinilah kelebihan Islam, yakni menetapkan
hukum secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, persoalan nasakh itu
hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup, makna setelah Rasulullah SAW
itu wafat, tidak ada lai nasakh.
Menurut
Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi,
diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan
pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas
hukum islam dan adaya tahapan dalam penetapan hukum islam. Bila tahapan
berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka datang
tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara (Al-Buthi:
223-226)[4]
C. Macam –
macam nasakh
Para
ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi beberapa
macam, diantaraya:
1.
Nasakh yang
tidak ada gantinya, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada
orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
2.
Nasakh yang
ada penggantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan
adakalanya lebih berat, seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti
dengan lima kali saja.
3.
Nasakh bacaan
(teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi
laki-laki dan perempuan tua yang sudah menikah.
4.
Nasakh hukum
ayat, namun teks nya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan
sedakah kepada bagi orang miskin bagi mereka yang berbicara dengan nabi.
5.
Nasakh hukum
dan bacaan ayat sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan
batasan 10 kali.(H.R.Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks
tersebut telah dihapus.
6.
Terjadinya penambahan
hukum dari hukum yanng pertama. Menurut Ulama Hanafiyah, hukum penambahan
tersebut bersifat nasakh.
Jumhur ulama lebih
memerinci hukum tambahan ini:
a)
Apabila hukum tambahan
tidak terkait dengan hukum yang ditambah, tidak dinamakan nasakh karena
keduanya terpisah, seperti penambahan kewajiban shalat pada ayat yang
menerangkan kewajiban zakat, maka perintah shalat tidak terpengaruh kepada
zakat.
b)
Apabila hukum yang di-nsakh
berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu dinamakan nasakh.
Seperti penambahan rakaat pada shalat subuh yang dua rakaat, berarti megubah
esensi dari shalat itu sendiri.
c)
Apa bila penambahan itu
mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula. Misalnya
hukuman dera bagi orang yang menuduh oranng lain berbuat zina, yaitu 80 dera di
tambah 20 pukulan. Terhadap hukuman tersebut terjadi perbedaan pendapat dari
kalangan ulama ushul menurut jumhur tidak dinamakan nasakh,
karena esensinnya msih tetap. Akan tetapi, menurut Hanafiyah, termasuk nasakh,
karena hukum asalnya telah berubah.
7.
Pengurangan terhadap hukum
ibadah yang telah disyariatkan. Menurut kesepakatan para ulama dikatakan nasakh,
tetapi mereka tidak memberikan contohnya.[5]
Naskh yang tegas
(eksplisit) dan yang terkandung (implisit). Nasakh yang tegas adalah jika
Syar’i menertapkan naskh yang tegas dalam penetapan hukum yang datang kemudian
untuk membatalkan hukum sebelumnya.
Seperti firman Allah: (Al-Anfal
66-65)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُون
Artinya : “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا
فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
Artinya : “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang
yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di
antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Nasakh yang tegas inilah yang
sering terjadi dalam pembentukan undang-undang positif. Karena kebanyakan
undang-undang yang dikeluarkan untuk menandingi undang-undang sebelumnya,
ditetapkan secara tegas untuk membatalkan nasakh yang terdapat dalam
undang-undang terdahulu, untuk menunjukkan batalnya semua hukum dalam
undang-undanng terdahulu ynan tidak sesuai dengan nasakh yang ditetapkan dalam undang-undang
yang baru. Seperti masalah kepemilikan dalam undang-undang tahun 1930 yang
ditetapkan secara tegas untuk membatalkan undang-undag tahun 1923. Juga seperti
undang-undang tentann administrasi yang ditetapkan secara tegas untuk
membatalkan pasal dalam undang-undang sipil.
Sedangkan
nasakh yang bersifat impilsit adalah jika syar’i tidak menegaskan
dalam nasakh yang datang kemudian untuk membatalkan nasakh hukum yang
sebelumnya, tetapi dia menetapkan hukum yang yang terdahulu. Tidak mungkin
memadukan kedua hukum itu kecuali denagn mengindahkan salah satunya, sehingga
dianggap bahwa hukum yang baru menghapus huikum yang lama secara implisit.
Nasakh yang implisit itu
banyak terjadi pada hukum Allah Swt: (Al-Baqarah 180)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْن وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوف حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِين
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Menunjukkan
bahwa seorang pemilk harta ang menghadapi kematian, wajib berwasiat kepada
kedua orang tuanya dan kerabatnya dari hrta tingalannya secara baik. Juaga
dalam ayat Allah Swt (An-Nisa’ 11)
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ
فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْدَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ
أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Artinya: ”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Menunjukkan
bahwa Allah Swt, membagi harta warisan dari setiap pemiliknya dianatara ahli
warisnya berdasarkan tuntutan kebijksanaan-Nya, tidak menganngap bahwa
pembagian itu adalah hak yang mewariskan sendiri. Hukum ini berlawanan dengan
hukum yang pertama, maka pendapar jumhur ulama, hukum kedua ini menghapus hukum
yang pertama. Oleh kareana itu, setelah turun ayat ahli waris Rasulullah Saw,
bersabda:
اِنّ اللّهَ أَعْطَى لِكُلِّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا
وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah memberikan hak bagi yang berhak, maka tidak ada wasiat
dari ahli waris”.
Contoh
nasakh secara implisit dari hukum positif adalah masalah kepemilikan yang
dikeluarkan dengan undang-undang tahun 1923. Undang-undang ini mengandung
banyak hukum yang berlawanan dengan hukum dalam undang-undang sebelumya, tetapi
tidak ditetapkan secara tegas idalam pembatalannya, sehingga dikatakan
menghapus hukumnya secara implisit.undang-undang hukuman yang baru tidak menetapkan
secara tegas tentang pembatalan hukum yang berlawanan dengannnya dari
undang-undang hukuman terdahulu, maka dikatakan menghapus hukumannya secara
implisit. Para pembesar hukum menganggap cukup dengan nasakh secara implisiyt
ini dan tidak memerlukan ketegasan nasakh. Karena nasakh seperti ni adalah
menguatkan sesuatu yang tidak memerlukan penguat. Sesungguhnya penetapan yang
dilakukan syari’ atas hukum yang berlawanan dengan hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya dan tidak mungkin untuk memadukan kedua hukum itu adalah pengalihan
syar’i dari hukumnya yang dahulu serta membatalknnya tanpa membutuhkan
ketegasan bahwa syar’i beralih dari hukum itu atau membatalkannya.
Terkadang nasakh itu kulliy
(secara keseluruhan) dan kadang
nasakh tu juz’i (kepada sebagian).
Nasakh kulliy
adalah jika syar’i membatalkan hukum yang ditetapkan lebih dulu secara
keseluruhan dengan menyangkut keseluruhan mukallaf. Seperti syari’ membatalkan
wasiat untuk dua orang tua dan kerabat dengan penetapan hukum waris dan
larangan wasiat kepada ahli waris. Juga seperti membatalkan hukum iddah bagi
perempuan yang ditinngal mati suaminya selama setahun dengan iddah selama empat
bulan sepuluh hari. Allah Swt telah berfirman : (Al-baqarah: 240)
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ
خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ
مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang
akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak
ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Kemudian Allah berfirman (Al-baqarah:234)
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Nasakh juz’i adalah
apabila hukum itu disyariatkan secara umum yang mencakup semua individu
mukallaf, kemudian hukum ini tidak berlaku bagi sebagian ndividu mukallaf. Atau
hukum itu disyariatkan secara mutlak kemudian tidak berlaku alam sebagian kondisi.
Maka nasakh yang menghapus itu tidak dapat membatalkan pelaksanaan hukum yang
pertama secara keselurhan, tetapi dapat membtalkan hanya untuk sebagian
individu atau sebagian kondisi saja.
Misalnya
adalah firman Allah Swt : (an-Nur :4)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا
لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:”Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik”.
Ayat ini
menunjukkan bahwa penuduh wanita bersuami berzina yang tidak dapat menghadirkan
empat orang saksi atas tuduhannya, harus didera sebanyak delapan puluh kali,
baik dia atau suaminya atau bukan. Dari firman Allah Swt : (an Nur :6)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ
إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ
لَمِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya:”Dan orang-orang yang menuduh
istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.
Ayat ini
menunjukkan bahwa jika si penuduh itu adalah suaminya, maka tidak didera,
tetapi harus melakukan sumpah li’an (saling mengutuk) bersama istrinya.
Jadi nasah yang kedua ini menghapus hukum dera menuduh zina hanya untuk suami
saja.
Nasakh
ini disebut nasakh juz’iy jika mulanya hukum itu disyariatkan secara
umum dan tetap pada kemutlakannya. Tidak lama kemudian disyariatkan hukum kedua
untuk sebagian individu atu dibatasi dengan batasan tertentu. Tetapi jika hukum
itu dalam undanng-undang berbentuk umum dan dalam undang-undang yang sama
terdapat takhshish hukum bagi sebagian individunya, maka takhshish ini
adalah menjelaskan maksud dari yang mutlak, bukan nasakh.
Inilah
arti dari ucapan ulama ushul: mengeluarkan sebagian individu yang umum dari
hukmnya, atau membatasi yang mutlak dengan batasan jika dengan dallil yang
menyertai penetapan hukum umum atau mutlak maka disebut penjelas maksud dari
yang umum atau mutlak sebagai pengecualian, bukan nasakh
Hukum-hukum
syara’, meskipun diundangkan secara bertahap dalam masa 22 tahun lebih beberapa
bulan saja, tetapi setelah wafatnya Rasulullah dan tetapnya perundangan hukum,
maka hukum-hukum itu menjadi satu undang-undang milik kaum muslimin. Yang
khusus menjelaskan yang umum dan yang terbataas menjelaskan yang mutlak tidak
peduli bahwa ayat ini dibaca setelah ayat itu atau surat ini urutannya setelah
surat yang ada ayat itu, kecuali yang sudah ditetapkan sebagai nasikh (penghapus)
dan mansukh (yang dhapus.
Kadamg-kadang
nasakh tu dengan menetapkan hukum sebagai pengganti hukum, seperti penggantian
kewajiban wasiat unuk kedua orang tua dan kerabat dengan bagian waris. Juga
seperti penggantian menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat menjadi ke ka’bah.
Seperti mengganti masa iddah bagi wanita yang ditingal mati suaminya selam
setahun dengan iddah selam empat bulan sepuluh hari. Dan kadang-kadang nasakh
itu terjadi hanya dengan mengabaikan kawin mut’ah (kawin untuk kesenangan
sejenak).
Sebagaimana
boleh terjadi hukum yang disyariatkan itu sama dengan hukum yang dinasakh atau
lebih ringan bagi mukallaf, maka boleh pula nasakh itu dengan hukum yang lebih
berat. Karena pembatalan dan penggantian ini adalah dituntut oleh kemaslahatan
mukallaf. Terkadang kemaslahatan itu menuntut hukum yang lebih berat dari apada
yan nasakh. Pengharaman khamer dan judi adalah lebih berat bagi mereka dari
pada diperbolehkan, tetapi tujuannya adalah kemaslahatan. Firman Allah Swt: (Al-baqarah:106)
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”
Yang
dimaksud dengan khairun (lebih baik) ialah sesuatu yang lebih
menguntungkan mukallaf, baik itu lebih berat bagi mereka, sama atau lebih
ringan. Ini apabila yang dimaksud dengannya adalah ayat-ayat al-Qur’an dalam
irman Allah Swt: maa nasakh min aayat.
D. Batasan
nasakh
Masalah
yang tak kalah penting disoroti adalah sejauh mana jangkauan nashk itu? Apakah
semua ketentuan hukum dalam syariat ada kemungkinannya terjangkau naskh? dalam
hal ini imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban
tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh.
Selanutnya,Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya
menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena
mustahil Allah berdusta. Sejalan ini Imam Thabari mempertegas, naskh-mansukh
yang terjadi antara ayat –ayat al-qur’an yang mengubah halal menjadi haram,
atau sebaliknya,itu semua hanya menyangkut perintah dan larangan, sedangkan
dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh. Ungkapan ini cukup penting
diperhatiakan, karena soal naskh adalah semata-mata soal hukum, yang hanya
menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal
seperti yang diuraikan di atas, dibiang ilmu hukum dapat kita lihat gambarnya
pada hukum dasar, msalnya pada undang-undang dasar negara yang tidak dapat
dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan
penetapan peraturan lain untuk menggantikannya hanya berlaku pada hukum organik
atau peraturan, posisi dan area naskh, dengan demikian, dengan mudah kita dapat
menenal beberapa persyaratan yaitu:
1. Adanya
ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung
keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selamanya.
2. Ketentuan
hukum teresebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang
kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadialan untuk piihak yang
baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan
hukum yang mencabut (nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh
adalah mengakhiri pemberlakuan ketentan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4. Gejala
kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-
qur’an merupakan kesatuan utuh yang tidak ada pertentangan antra yang satu
dengan lainnya. Masing- masing saling menjelaskan Al-qur’an yufassiru ba’dhuhu
ba’dha. Adanya nasikh- mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunya
al-quran itu Sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
Dari
segi bahasa (lughah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.
Nasakh menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan pelaksanan hukum
syara’ dengan dalil yang dtang kemudia, yang membatalkan itu secara jelas
(eksplisit) tau yang terkandung (implisit).
Para
ulama yang mengaki keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi beberapa
macam, diantaraya:
1.
Nasakh yang
tidak ada gantinya
2.
Nasakh yang
ada penggantinya
3.
Nasakh bacaan
(teks) dari suatu ayat
4.
Nasakh hukum
ayat
5.
Nasakh hukum
dan bacaan ayat sekaligus
6.
Terjadinya penambahan
hukum dari hukum yanng pertama
7.
Pengurangan terhadap hukum
ibadah yang telah disyariatkan.
DAFTAR PUSTAKA
v Syafe’i Rachmat, MA. ILMU USHUL FIQIH,(Bandung:CV
pustaka setia)
v Kallaf Abdul Wahab,ILMU USHUL FIKIH(Jakarta:
Pustaka Amani)
v agus-makalah.
Blogspot.sg/2010/01/nasikh-mansukh.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar