PENULIS : AHMAD ADABY A.R
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wadlih atau Kejelasan dalalah nash ialah makna yang ditunjukkan oleh
bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar . Jika nash itu
menandung takwil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan katanya, disebut
al-dhahir, jika mengandung takwil, bila yang dimaksudkan adalah tujuan asal
susunan katanya, disebut al-nash, bila tidak mengandung takwil dan hukumnya
menerima nash dinamakan al-mufassar (yang ditafsirkan), dan bila tidak
mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima nash, disebut al-muhakkam (yang
ditentukan hukumnya).
Dasar perbedaan tingkatan-tingkatan kejelasan itu ialah mengenai ada
atau tidak adanya kemungkinan mentakwilkannya. Nash yang maknanya dapat
dipahami dari bentuk nash itu sendiri, dan tidak ada kemungkinan dapat dipahami
arti lainnya, maka nash itu lebih jelas dalalahnya dari pada nash yang maknanya
dapat dipahami, tapi ada kemungkinan dapat dipahami arti yang lainnya.
Selain Wadlih, ada ghairu wadlih yaitu nash yang tidak jelas dalalahnya.
Nash ini melalui bentuknya sendiri dan tidak dapat menunjukkan arti yang
dimaksudkannya bahkan untuk memahaminya saja harus menggunakan faktor dari
luar. Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan
meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi atau al-musykil
. hal – hal yang berkaitan dengan wadhi dan ghairu wadhi selanjutnya akan kita
paparkan lebih lanjut pada bagian pembahasan.
B.
|
- Apa itu Al-Khofi?
- Apa itu Al-Muskil?
- Apa itu Al-Mujmal?
- Apa itu Al-Mutasyabih?
BAB II
|
A. Al-Khofi
Al-Khofi menurut
bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi. Sedangkan, seperti yang dikemukakan
Ad-Dabusi adalah suatu lafadz yang maknanya menjadi
tidak jelas karena hal yang baru yang ada diluar lafadz itu sendiri, sehingga
arti lafadz itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.
Adib Salih memberikan penjelasan bahwa Khafi adalah susunan lafadz zhahir yang jelas
maknanya, tetapi lafadz itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru
yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali
dengan penelitian yang mendalam. Tegasnya lafadz zahir itu menjadi khofa bila diterapkan pada masalah lain.
Dengan demikian munculnya lafadz khofa adalah akibat pengaplikasian suatu keputusan
hukum yang diambil dari lafadz zahir pada masalah yang dihadapi dan benar-benar
terjadi. Dimana masalah tersebut tidak persis sama dengan apa yang terdapat
pada lafadz itu. Oleh sebab itu untuk menghilangkannya perlu diadakan ijtihad.
Sebagai contoh yang berhubungan dengan masalah tersebut adalah pengertian
lafadz As-Sariq pada ayat:
اَلشَّارِقُ وَالشَّارِقَةٌ فَا قْطُعُوا ايْدِيَهُمَا[1]
|
Para ahli fiqih berbeda pendapat tenntang
Tharar dan Nabbasy. Karena keduanya mempunyai sebutan yang berbeda, maka mereka
tidak menyebutnya sebagai syariq’ (pencuri). Selama ada sbutan lain, maka kedua
bentuk pencurian itupun tidak dimasukan pada keumuman kata Sariq’. Dari segi
lain, pencopet adalah mengabil harta orang lain dalam keadaan tanpa bersembunyi
meskipun pihak korban tidak menyadari hal itu. Jadi, sikap penyamaran atau
smbunyi-sembunyi disini adalah karena tiadanya ksabaran pihak korban bukan
karena asal perbuatannya. Sedangkan Nabbasy (pencuri kain kafan) tidak dinamai
dengan sebutan sariq’ (pencuri) karena, barang yang dicuri itupun tidak
dianggap sebagai milik orang yang hidup dalam pada itu hukuman pencuri tidak
dapat dilaksanakan kecuali pengaduan pihak pemilik.
Karena pandangan itulah, Iman Abu Hanifah
serta Muhammad Ibn- Alhasan Assyaibani tidak menerapkan nash yang mewajibkan
hukuman pencurian pada Nabbasy dan Tharrar. Sedangkan Abu Yusuf beserta tiga
imam lainnya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpndapat bahwa Nabbasy
dan Tharrar itu masuk dalam pengertian umum kata Sariq’.[2]
B. Al-Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya.
Sedangkan menurut istilah seperti pendapat As-Syaraksi ialah, suatu lafadz yang
tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qorinah.
Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa yang di maksud musykil adalah suatu lafadz yang
tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui
maksudnya diperlukan adanya qorinah yang dapat menjelaskan kerumitan itu dengan
jalan pembahaan yang mendalam.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa
perbedaan antar Khofi dan Muskil itu terletak pada dzatiah lafadz itu sendiri. Oleh karena itu Musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya dari pada Khofi.[3]
Contoh Al-musykil adalah lafadh Musytaraq
yaitu : lafadh yang menunjukkan dua arti atau lebih secara bergantian seperti
kata ‘Ain. Kata ini
menunjukkan beberapa makna satu anggota badan yaitu mata (alat melihat), sumber
air (mata air), essensi (zat). Ini semua merupakan yang berbeda-beda yang tidak
bisa dicakup dalam satu arti saja, setiap pemakaian kata tersebut hanya
menunjuk satu arti tertentu dari beberapa arti tersebut dan itulah dimaksud
dengan cara bergantian.
Cara untuk menentukan beberapa makna dalam
lafadh Musytaraq hanyalah dengan melihat dalil dari segi konteks kalimatnya
atau dengan memakai dalil dari luar. Contoh dalil dari segi konteks kalimatnya
adalah:
بَثَّثْتُ عُيُوْنَ لِاَعْرِفَ مَوْضِعَ جَيْشِ العَدُوِّ
Artinya : “Telah saya sebarkan para intel guna
mengetahui pangkalan tentara musuh dalam kalimat itu yang dikehendaki oleh kata
‘ain adalah intel (mata-mata), sebagaimana diisyaratkan oleh konteks kalimat
لَهُمْ أَعْيُنٌ
لاَيُبْصِرُوْنَ بِهَا
Artinya : “Mereka mempunyai mata tetapi tidak
digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dari segi konteks kalimatnya, menunjukkan
bahwa yang dikehendaki kata a’yun adalah mata (alat penglihat).[4]
C. Al-Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah gobal atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah
lafadz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari
pembuat mujmal.
dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa
mujmal itu adalah suatu lafadz yang dzatiahnya khofi, tidak bisa dipahami maksudnya,
kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik kejelasannya itu akibat peralihan
lafadz dari makna yang jelas pada makna yang husus yang dikehendaki syara’ atau
karena sinonim lafadz itu sendiri ataupun karena lafadz itu ganjil artinya.
Dengan demikian dapat dapat dikatakan bahwa
mujmal lebih tinggi kadar khofanya dari pada musykil, sebab penjelasan mujmal
di peroleh dari syara’ bukan hasil ijtihad. Contohnya lafad sholat menurut
bahasa berarti do’a tetapi menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus yang
segala sesuatunya dijelaskan oleh rosulullah[5]
Contoh lafal yang Mujmal, sebagaimana firman
Allah :
اَلْمُطَلَّقَاةُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُروءٍ ( البقرة : ۲۲۸ )
“Perempuan yang diceraikan suaminya menantikan iddahnya tiga quru”
Lafal Quru ini
disebut mujmal karena mempunyai dua arti, yaitu haid dan suci. Kemudian mana
diantara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan
penjelasan, yaitu Bayan.[6]
Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas
maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya.
Penjelasan inilah yang disebut Al-Bayan. Mubayyan adalah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan
penjelasan dari lainnya.
اَنْ يَعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ قلى
( البقرة : ۲۳٧ )
“Atau memanfaatkan orang yang mempunyai ikatan
perkawinan”
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan
wali atau suami. Karena maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya tidak pasti.
Oleh karena itu tidak diamalkan sebelum ada penjelasan atau Al-Bayan.[7]
D. Al-Mutasyabih
Al-mutasyabih menurut istilah ulama ushul adalah
lafad yang lafadnya bentunya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang
dimaksud, tidak ada qorinah (alasan pendukung) dari luar yang menjelaskan dan
syari’ dengan ilmunya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan.
Al-mutasyabih dengan pengertian ini,
sedikitpun tidak terdapat dalam nash syara’. Maka dalam ayat-ayat dan
hadist-hadist hukum tidak terdapat lafal yang tidak mutasyabih yang tidak ada
cara untuk mengetahui artinya. Akan tetapi dalam beberapa bagian nash, terdapat
huruf yang terpotong-potong pada permulaan bagian surat, seperti : haa miim,
shaad, qaaf, alif laam miim dan seperti ayat secara lahirnya bermakna Allah
menyerupai makhluk dengan memiliki tangan, mata, koma dan bertempat. Seperti
firman Allah SWT :
يَدُاللَّهِ فَوقَ أَيْدِيْهِم
Tangan Allah diatas tangan mereka (QS. Al-Faaath: 10)
وَصْنَعِ الفٌلْكَ
بِأَعْيُنِنَا
Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan
petunjuk kami, (QS. Huud:37)
Sedangkan pendapat ulama modern adalah bahwa
ayat-ayat itu lahirnya mustahil, karena Allah tidak memiliki tangan, mata dan
bertempat. Dan setiap ayat yang lahirnya mustahil untuk diberi makna, maka ia
harus ditakwil dan maknanya harus dibelokkan dari makna lahirnya. Kemudian
dikeluarkan makna yang dikandung oleh lafal meskipun dengn cara najash,
sehingga tidak ada penyerupaan pencipta dengan makhluk-Nya.[8]
BAB III
|
A.
Kesimpulan
Al-Khofi menurut bahasa adalah tidak jelasatau
tersembunyi. Sedangkan, seperti yang dikemukakan Ad-Dabusi adalah suatu lafadz yang maknanya menjadi
tidak jelas karena hal yang baru yang ada diluar lafadz itu sendiri, sehingga
arti lafadz itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.
Al-Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang
tidak jelas perbedaannya. Sedangkan menurut istilah seperti pendapat
As-Syaraksi ialah, suatu lafadz yang tidak jelas artinya dan untuk
mengetahuinya diperlukan dalil atau qorinah.
Al-Mujmal dalam
bahasa adalah gobal atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafadz yang
tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal.
dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa
mujmal itu adalah suatu lafadz yang dzatiahnya khofi, tidak bisa dipahami
maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik kejelasannya itu akibat
peralihan lafadz dari makna yang jelas pada makna yang husus yang dikehendaki
syara’ atau karena sinonim lafadz itu sendiri ataupun karena lafadz itu ganjil
artinya.
Al-Mutasyabih Al-mutasyabih menurut istilah ulama ushul
adalah lafad yang lafadnya bentunya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna
yang dimaksud, tidak ada qorinah (alasan pendukung) dari luar yang menjelaskan
dan syari’ dengan ilmunya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan
|
DAFTAR PUSTAKA
|
Syafi’i. Rachmat, Ilmu
Ushul Fiqh-Cet. IV. Bandung: Pustaka Setia, 2010
Rifa’i Moh, Ushul
Fiqh-Cet. 9, bandung: PT Alma’arif, 1973
Saebani. Beni
Ahmad, “Ilmu Ushul Fiqh” Bandung : CV. PustakaSetia, 2008
Khallaf Abdul
Wahhab ”ushul Fiqh kaidah-kaidah hukum islam” Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Abu Zahrah,
Muhammad “ Ushul Fiqh” Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013
[8] Pfrof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf ”ushul Fiqh kaidah-kaidah hukum islam”
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 253
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)