Senin, 06 Juni 2016

MAKALAH USHUL FIQH GHOIRI WADHIHID DILALATI WA MUROTIBIHI (KETIDAK JELASAN DILALAH DAN TINGKATANYA)
































PENULIS : AHMAD ADABY A.R




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Wadlih atau Kejelasan dalalah nash ialah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar . Jika nash itu menandung takwil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan katanya, disebut al-dhahir, jika mengandung takwil, bila yang dimaksudkan adalah tujuan asal susunan katanya, disebut al-nash, bila tidak mengandung takwil dan hukumnya menerima nash dinamakan al-mufassar (yang ditafsirkan), dan bila tidak mengandung takwil dan hukumnya tidak menerima nash, disebut al-muhakkam (yang ditentukan hukumnya).
Dasar perbedaan tingkatan-tingkatan kejelasan itu ialah mengenai ada atau tidak adanya kemungkinan mentakwilkannya. Nash yang maknanya dapat dipahami dari bentuk nash itu sendiri, dan tidak ada kemungkinan dapat dipahami arti lainnya, maka nash itu lebih jelas dalalahnya dari pada nash yang maknanya dapat dipahami, tapi ada kemungkinan dapat dipahami arti yang lainnya.
Selain Wadlih, ada ghairu wadlih yaitu nash yang tidak jelas dalalahnya. Nash ini melalui bentuknya sendiri dan tidak dapat menunjukkan arti yang dimaksudkannya bahkan untuk memahaminya saja harus menggunakan faktor dari luar. Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi atau al-musykil . hal – hal yang berkaitan dengan wadhi dan ghairu wadhi selanjutnya akan kita paparkan lebih lanjut pada bagian pembahasan.
B.    
1
 
Rumusan Masalah
  1. Apa itu Al-Khofi?
  2. Apa itu Al-Muskil?
  3. Apa itu  Al-Mujmal?
  4. Apa itu Al-Mutasyabih?
BAB II

 
PEMBAHASAN
A.    Al-Khofi
Al-Khofi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi. Sedangkan, seperti yang dikemukakan Ad-Dabusi adalah suatu lafadz yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal yang baru yang ada diluar lafadz itu sendiri, sehingga arti lafadz itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.
Adib Salih memberikan penjelasan bahwa Khafi adalah susunan lafadz zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafadz itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam. Tegasnya lafadz zahir itu menjadi khofa bila diterapkan pada masalah lain.
Dengan demikian munculnya lafadz khofa adalah akibat pengaplikasian suatu keputusan hukum yang diambil dari lafadz zahir pada masalah yang dihadapi dan benar-benar terjadi. Dimana masalah tersebut tidak persis sama dengan apa yang terdapat pada lafadz itu. Oleh sebab itu untuk menghilangkannya perlu diadakan ijtihad. Sebagai contoh yang berhubungan dengan masalah tersebut adalah pengertian lafadz As-Sariq pada ayat:

اَلشَّارِقُ وَالشَّارِقَةٌ فَا قْطُعُوا ايْدِيَهُمَا[1]

2
 
Diantara contoh yang dikemukakan para ahli fiqh terhadap al-Khofy adalah masuknya pencopet (Ath-tharar) dan pencuri kain kafan (An-nabbasy) kedalam madlul lafadh syariq’ (pencuri) seperti ayat diatas yang menjelaskan bahwa yang namanya syariq’ adalah orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi, karena memang harta itu dalam keadaan terjaga (tersimpan), tida tampak terlantar yang berpeluang hilang. Sedangkan Tharar (pencopet) adalah orang yang mengambil harta orang lain secara samar, sedang pikhak korban dalam keadaan sadar, seperti kasus pencopet yang secara samar mngambil uang dalam saku seseorang. Pencopet tidak memerlukan situasi gelap atau menjauhkan diri dari pandangan mata, tetapi mereka mencari kelengahan pihak korban serta mengandalkan teknik kecerdasannya. Adapun Nabbasy adalah orang yang menggali kubur untuk mengambil kain kafan si mayit.
Para ahli fiqih berbeda pendapat tenntang Tharar dan Nabbasy. Karena keduanya mempunyai sebutan yang berbeda, maka mereka tidak menyebutnya sebagai syariq’ (pencuri). Selama ada sbutan lain, maka kedua bentuk pencurian itupun tidak dimasukan pada keumuman kata Sariq’. Dari segi lain, pencopet adalah mengabil harta orang lain dalam keadaan tanpa bersembunyi meskipun pihak korban tidak menyadari hal itu. Jadi, sikap penyamaran atau smbunyi-sembunyi disini adalah karena tiadanya ksabaran pihak korban bukan karena asal perbuatannya. Sedangkan Nabbasy (pencuri kain kafan) tidak dinamai dengan sebutan sariq’ (pencuri) karena, barang yang dicuri itupun tidak dianggap sebagai milik orang yang hidup dalam pada itu hukuman pencuri tidak dapat dilaksanakan kecuali pengaduan pihak pemilik.
Karena pandangan itulah, Iman Abu Hanifah serta Muhammad Ibn- Alhasan Assyaibani tidak menerapkan nash yang mewajibkan hukuman pencurian pada Nabbasy dan Tharrar. Sedangkan Abu Yusuf beserta tiga imam lainnya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpndapat bahwa Nabbasy dan Tharrar itu masuk dalam pengertian umum kata Sariq’.[2]
B.     Al-Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya. Sedangkan menurut istilah seperti pendapat As-Syaraksi ialah, suatu lafadz yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qorinah.
Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa yang di maksud musykil adalah suatu lafadz yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya qorinah yang dapat menjelaskan kerumitan itu dengan jalan pembahaan yang mendalam.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antar Khofi dan Muskil itu terletak pada dzatiah lafadz itu sendiri. Oleh karena itu Musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya dari pada Khofi.[3]
Contoh Al-musykil adalah lafadh Musytaraq yaitu : lafadh yang menunjukkan dua arti atau lebih secara bergantian seperti kata ‘Ain. Kata ini menunjukkan beberapa makna satu anggota badan yaitu mata (alat melihat), sumber air (mata air), essensi (zat). Ini semua merupakan yang berbeda-beda yang tidak bisa dicakup dalam satu arti saja, setiap pemakaian kata tersebut hanya menunjuk satu arti tertentu dari beberapa arti tersebut dan itulah dimaksud dengan cara bergantian.
Cara untuk menentukan beberapa makna dalam lafadh Musytaraq hanyalah dengan melihat dalil dari segi konteks kalimatnya atau dengan memakai dalil dari luar. Contoh dalil dari segi konteks kalimatnya adalah:

بَثَّثْتُ عُيُوْنَ لِاَعْرِفَ مَوْضِعَ جَيْشِ العَدُوِّ

Artinya : “Telah saya sebarkan para intel guna mengetahui pangkalan tentara musuh dalam kalimat itu yang dikehendaki oleh kata ‘ain adalah intel (mata-mata), sebagaimana diisyaratkan oleh konteks kalimat

لَهُمْ أَعْيُنٌ لاَيُبْصِرُوْنَ بِهَا

Artinya : “Mereka mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dari segi konteks kalimatnya, menunjukkan bahwa yang dikehendaki kata a’yun adalah mata (alat penglihat).[4]
C.    Al-Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah gobal atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafadz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal.
dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa mujmal itu adalah suatu lafadz yang dzatiahnya khofi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik kejelasannya itu akibat peralihan lafadz dari makna yang jelas pada makna yang husus yang dikehendaki syara’ atau karena sinonim lafadz itu sendiri ataupun karena lafadz itu ganjil artinya.
Dengan demikian dapat dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khofanya dari pada musykil, sebab penjelasan mujmal di peroleh dari syara’ bukan hasil ijtihad. Contohnya lafad sholat menurut bahasa berarti do’a tetapi menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh rosulullah[5] 
Contoh lafal yang Mujmal, sebagaimana firman Allah :

اَلْمُطَلَّقَاةُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُروءٍ ( البقرة : ۲۲۸ )
“Perempuan yang diceraikan suaminya menantikan iddahnya tiga quru”
Lafal Quru ini disebut mujmal karena mempunyai dua arti, yaitu haid dan suci. Kemudian mana diantara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan penjelasan, yaitu Bayan.[6]
Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan inilah yang disebut Al-Bayan. Mubayyan adalah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.
اَنْ يَعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ قلى ( البقرة : ۲۳٧ )
“Atau memanfaatkan orang yang mempunyai ikatan perkawinan”
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami. Karena maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya tidak pasti. Oleh karena itu tidak diamalkan sebelum ada penjelasan atau Al-Bayan.[7]
D.    Al-Mutasyabih
Al-mutasyabih menurut istilah ulama ushul adalah lafad yang lafadnya bentunya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dimaksud, tidak ada qorinah (alasan pendukung) dari luar yang menjelaskan dan syari’ dengan ilmunya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan.
Al-mutasyabih dengan pengertian ini, sedikitpun tidak terdapat dalam nash syara’. Maka dalam ayat-ayat dan hadist-hadist hukum tidak terdapat lafal yang tidak mutasyabih yang tidak ada cara untuk mengetahui artinya. Akan tetapi dalam beberapa bagian nash, terdapat huruf yang terpotong-potong pada permulaan bagian surat, seperti : haa miim, shaad, qaaf, alif laam miim dan seperti ayat secara lahirnya bermakna Allah menyerupai makhluk dengan memiliki tangan, mata, koma dan bertempat. Seperti firman Allah SWT :
يَدُاللَّهِ فَوقَ أَيْدِيْهِم

Tangan Allah diatas tangan mereka (QS. Al-Faaath: 10)

وَصْنَعِ الفٌلْكَ بِأَعْيُنِنَا

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk kami, (QS. Huud:37)

Sedangkan pendapat ulama modern adalah bahwa ayat-ayat itu lahirnya mustahil, karena Allah tidak memiliki tangan, mata dan bertempat. Dan setiap ayat yang lahirnya mustahil untuk diberi makna, maka ia harus ditakwil dan maknanya harus dibelokkan dari makna lahirnya. Kemudian dikeluarkan makna yang dikandung oleh lafal meskipun dengn cara najash, sehingga tidak ada penyerupaan pencipta dengan makhluk-Nya.[8]

BAB III

 
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Khofi menurut bahasa adalah tidak jelasatau tersembunyi. Sedangkan, seperti yang dikemukakan Ad-Dabusi adalah suatu lafadz yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal yang baru yang ada diluar lafadz itu sendiri, sehingga arti lafadz itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.
Al-Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya. Sedangkan menurut istilah seperti pendapat As-Syaraksi ialah, suatu lafadz yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qorinah.
Al-Mujmal dalam bahasa adalah gobal atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafadz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal.
dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa mujmal itu adalah suatu lafadz yang dzatiahnya khofi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik kejelasannya itu akibat peralihan lafadz dari makna yang jelas pada makna yang husus yang dikehendaki syara’ atau karena sinonim lafadz itu sendiri ataupun karena lafadz itu ganjil artinya.
Al-Mutasyabih Al-mutasyabih menurut istilah ulama ushul adalah lafad yang lafadnya bentunya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dimaksud, tidak ada qorinah (alasan pendukung) dari luar yang menjelaskan dan syari’ dengan ilmunya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan


8
 

DAFTAR PUSTAKA

 
 
Syafi’i. Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh-Cet. IV. Bandung: Pustaka Setia, 2010
Rifa’i Moh, Ushul Fiqh-Cet. 9, bandung: PT Alma’arif, 1973
Saebani. Beni Ahmad, “Ilmu Ushul Fiqh” Bandung : CV. PustakaSetia, 2008
Khallaf Abdul Wahhab ”ushul Fiqh kaidah-kaidah hukum islam” Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Abu Zahrah, Muhammad “ Ushul Fiqh” Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013




[1] Prof. Dr. Rachmat Syafi’i “Ilmu Ushul Fiqh” (Bandung Pustaka Setia. 2010) 164
[2] Prof. Muhammad Abu Zahrah, “ Ushul Fiqh “(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013), 181
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafi’i “Ilmu Ushul Fiqh” .......166
[4] Prof. Muhammad Abu Zahrah, “ Ushul Fiqh “....185
[5] Prof. Dr. Rachmat Syafi’i “Ilmu Ushul Fiqh”...166
[6] Drs. Moh. Rifa’i “Ushul fiqh”  (Bandung:  PT. Al-Ma’arif. 1973) 92
[7] Drs. Beni Ahmad S. “Ilmu Ushul Fiqh” (Bandung: Pustaka Setia. 2008) 261
[8] Pfrof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf ”ushul Fiqh kaidah-kaidah hukum islam” (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 253

1 komentar:

  1. untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
    thanks berat udah pada berkunjung kesini :)

    BalasHapus