METODE PENGAMBILAN MAKNA NASH
(THORIQOTUT DULALATUN NASH)
PENULIS : AHMAD ADABY A.R
NIM : 130721100061
KATA PENGANTAR
AsalamualaikumWrWb…………….
Pujisyukur Alhamdulillah senantiasa Kita panjatkan
kepada Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-NYA, makalah
ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dan
sebagai pembelajaran.
Kami berusaha untuk membuat Makalah
ini sesempurna mungkin, namun Kami juga menyadri dalam makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran sangat diharapkan.
Ahirnya, Saya
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita atau para pembaca
sekalian
WasalamualaikumWrWb………
Daftar Isi
Kata pengantar.................................................................................... 1
Daftar isi............................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang................................................................................... 3
B.
Rumusan
masalah............................................................................. 3
C.
Tujuan
.............................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dilalah............................................................................. 5
B.
Metode
Pengambilan makna nash.................................................... 5
C.
Tingkatan
dilalah dari segi kuat dan lemahnya …………..……......13
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 16
B.
Saran.................................................................................................. 16
Daftar Pustaka.................................................................................... 17
Bangkalan,
03, 03, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an dan
Assunah merupakan sumber hukum islam yang menggunakan bahasa arab. Jika ingin
memahami dan mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut maka harus mengetahui
seluk beluk bahasa arab dan harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang
dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya).
Dalam memahami
petunjuk nash, bukan hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam
susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang tersirat
dibalik susunan kalimat itu, dan mencari ilat yang menjadi sebab ditetapkannya
suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan suatu peristiwa yang tidak
ada nashnya dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga
pengertianya menjadi rasional. Jalan tersebut oleh ahli ushul fiqih dinamai dilalat
al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat al-nass, dan dilalat al-iqtida.
. Dalam makalah
ini membahas Thoriqotut dilalatun nash (methode pengambilan makna nash).
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimakasud dilalah ?
2.
Ada
berapa metode pengambilan makna nash (Thoriqotut dilalatun nash ) ?
3.
Bagaimana
tingkatan dilalah jika dilihat dari segi kuat dan lemahnya?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
devinisi dilalah
2.
Memahami
metode pengambilan makna nash (Thoriqotut dilalatun nash ).
3.
Mengetahui
dan memahami tingkatan dilalah dari segi kuat dan lemahnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dilalah
Nash adalah raf’u atau
munculnya segala sesuatu yang tampak, nash juga sering disebut dengan munashahat[1]
sedangkan Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang
dimaksudkan atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul
yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul
itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya
disebut dalil yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu
disebut dalil hukum.
Adapun pengertian yang lain Dalalah (الدلالة) itu sendiri menurut
bahasa adalah maksud tertentu. Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa
Dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain
petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah
hubungan antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah lafadh
sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh. [2]
Contoh : الصلاة (sholat). ini namanya al-dal.
dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan
yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka
penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam namanya Dalalah.
B.
Metode
Pengambilan Makna Nash
Dalam khazanah
literatur ushul fiqh aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalat al-alfaz
dibedakan menjadi empat maca, yaitu dilalat al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat
al-nass, dan dilalat al-iqtida’. Menurut mereka pula, Alquran atau
hadis dapat menjadi suatu hukum bisa dengan media lafal dan adakalanya tidak
dengan media lafal.
Dalam
penunjukan nash dengan media lafal, terdapat dua kemungkinan yaitu hukum yang
ditunjukan memang dikehendaki oleh konteks nash (siyaq al-nash) atau hukum yang
ditunjukan tidak dikehendaki oleh konteks nash. Penunjukan terhadap hukum yang
dikehendaki oleh konteks nash tersebut dinamakan dilalat al-ibarah atau
ibarat ala-nass; sedang penunjukan terhadap hukum yang tidak dikehendaki
oleh konteks nash disebut dilalat al-isyarah atau isyarat al-nass. Selanjutnya,
penunjukan nash yang tidak melalui media lafal juga terdapat dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, hukum yang ditunjukan dapat disimpulkan dari lafal
berdasarkan logika kebahasaan; dan penunjukan ini dinamakan dilalat
al-dilalah atau dilalah al-nash. Kemungkinan kedua, hukum yang
ditunjukan dapat disimpulkan dari lafal bedasarkan logika yuridis atau logika
rasionalitas; dan penunjukannya ini disebut dilalat al-iqtida’ atau iqtida’
al-nass.[3]
Untuk lebih jelas lagi kami uraikan sebagai berikut:
1.Ungkapan Nash (dilalat al-ibarah)
Yang dimaksud
ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan
kalimat. Yang dimaksud dengan pemahaman dari ungkapan nash adalah arti yang
langsung dapat dipahami dari bentuk, dan itulah maksud dari redaksi nash. Jika
makna jelas dapat dipahami dari bentuk nash, sedangkan nash itu disusun untuk
menjelaskan dan menetapkannya, maka itu adalah madlul (yang ditunjukkan)
oleh ungkapan nash, dan disebut juga makna harfiyah (menurut kata-kata)
nash. Jadi Dilalah ibarah merupakan petunjuk dari bentuk kata yang langsung dapat
dipahami makna yang dimaksud dari redaksi itu; baik maksud redaksi itu menurut
aslinya maupun konsekuensinya[4]
bisa juga diartkan Ma’na yang difahami dari lafazh, baik lafazh tersebut berupa
zhahir maupun nash, muhkam maupun tidak. [5] seperti
firman Allah yang berbunyi:
Contoh
lain seperti firman Allah Swt :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا ۚ
Artinya :
Padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.
Al-baqarah: 275)
Bentuk nash ini menunjukkan dalalah yang jelas kepada dua makna yang
masing-masing merupakan maksud dari redaksinya; pertama, bahwa jual beli tidak
seperti riba, kedua, hukum jual beli adalah halal, sedangkan riba adalah haram.
Keduanya merupakan makna yang dipahami dari ungkapan nash dan tujuan dari
redaksi nash. Hanya saja makna pertama adalah maksud asli dari redaksi, karena
ayat tersebut disusun untuk membantah orang-orang yang mengatakan: sesungguhnya
jual beli adalah seperti riba. Sedangkan makna kedua adalah maksud konsekuensi
dari dari redaksi, karna menghilangkan kesamaan adalah menjelaskan kedua hukum
jual beli dan riba sampai ditemukan perbedaan hukum bahwa keduanya tidak sama.
Seandainya orang meringkas arti yang dimaksud dari redaksi asal nash itu, dia akan
berkata “ Tidaklah jual beli itu seperti riba.[6]
Allah Swt. Berfirman:
وإن خفثم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحواما ظاب لكم من
النساء مثنى وثلاث ورباع فاء ن خفتم ألاتعد لوا فواحدة.(النساء:3)
Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua,
tiga, empat kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
kawinlah seorang orang saja.(QS. An-nisaa’:3)
Dari nash ini dapat di tarik tiga makna: boleh menikahi perempuan yang
baik, membatasi jumlah maksimal empat orang istri, dan kewajiban untuk beristri
seorang saja jika kawatir berbuat aniaya karena banyak istri. Ketiga makna itu
dengan jelas telah ditunjjukkan oleh kata-kata nash dan dimaksudkan oleh
susunan katanya. Hanya saja, pengertian pertama adalah maksud konsekuensi nash
dan pengertian kedua dan ketga adalah maksud assli dari nash, karna ayat itu
disusun sesuai dengan kondisi para penerima wasiat agar membatasi diri; yaitu orang-orang
yang enggan menerima wasiat karena takut berbuat aniaya dalam mengelolah harta
anak yatim. Maka allah Swt. Mengingatkan mereka bahwa takut aniaya juga harus
dengan membatasi diri dan membatsi jumlah istri yang tak terbatas dan tanpa
kendali. Sehingga mereka cukup beristri dua, tiga atau empat, dan jika kalian
takut tidak adil ketika beristri lebih dari satu, maka cukuplah satu istri.
Membatasi jumlah istri menjadi dua, tiga, empat atau satu itulah yang wajib
atas orang yang takut berbuat aniaya dan itulah maksud asli dari susunan ayat.
Dari uraian ini muncul makna konsekuensi tentang kebolehan menikah.
Kebolehan menikah adalah maksud konsekuensi, bukan maksud asli, sedangkan
maksud aslinya adalah membatasi jumlah istri sampai empat atau satu. Seandainya
orang meringkas petunjuk makna dari susunan ayat itu niscaya akan berkata, “
jika kalian takut tidak mampu berbuat adil dalam memelihara anak yatim, maka
cukuplah dengan jumlah istri yang tidak lebih dari empat. Dan jika kalian takut
tidak adil terhadap beberapa istri, maka cukuplah satu istri.” [7]
2.Isyarat Nash (dilalat al-isyarah)
Yang dimaksud pemahaman dari isyarat nash adalah makna yang tidak secara
tidak langsung dipahami dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan katnya,
melainkan makna lazim (biasa) yang sejalan dengan makna yang langsung dari
kata-katanya. Itulah makna kata dengan jalan ketetapan. Karena ia merupakan
makna ketetapan dan bukan makna yang dimaksud dari sususnan kata, makna
petunjuk nashnya dengan isyarat, bukan dengan ungkapan. Bentuk ketetapan itu
kadang-kadang nyata dan kadang-kadang samar. Oleh karena itu para ulama
mengatakan bahwa sesuatu yang diisyaratkan oleh nash kadang-kadang memerlukan
penelitian yang mendalam dan pemikiran yang sungguh-sungguh, kadang-kadang hanya
dengan pemikiran yang sekedarnya. Jadi petunjuk isyarat adalah petunjuk nash
tentang makna lazim bagi sesuatu yang dipahami dari ungkapan nash yang bukan
dimaksud dari susunan katanya yang memerlukan pemikiran mendalam atau
sekedarnya tergantung bentuk ketetapan itu nyata atau samar. [8]
Seperti firman
Allah yang berbunyi :
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya : sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (QS. Asy-syura : 38)
Secara
eksplisit (ibarat) ayat tersebut menjelaskan bahwa pemerintahan yang islami
adalah didasarkan atas musyawarah di antara umat islam. Sebagai konsekuensi
logisnya, umat islam harus menunjuk (memilih) sekelompok kaum muslimin yang
selalu mengawasi dan menyertai pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan dan
undang-undang.[9]
Seperti firman Allah Swt.:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ۚ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.(QS.
Al-baqarah: 233)
Dari nash ini dapat dipahami bahwa nafkah yang berupa makanan dan
pakaian para ibu adalah kewajiban para bapak. Karena makanan inilah yang dapat
dipahami secara secara langsung dari nash dan yang dimaksud dengan
kata-katanya. Dari isyarat nash dapat dipahami bahwa para bapak bersama dengan
yang lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak itu adalah
miliknya bukan milik orang lain. Jika ayah suku Quraisy sedangkan ibu bukan
suku Quraisy, maka anak itu ikut kepada ayahnya yaitu suku Quraisy karena ia
adalah anaknya, bukan anka orang lain. Seorang ayah ketika membutuhkan sesuatu
milik anaknya berhak mengambil barang itu tanpa pengganti sekedar menutupi
kebutuhanya. Karena anaknya dalah miliknya dan harta anaknya adalah miliknya.
Hukum-hukum ini dipahami dari isyarat nash. Karena pada kata-kata nsh terdapat
penghubungan antara anak dengan ayahnya yang menggunakan huruf laam (li)
yang bermakna khusus:
وعل المولود له
Yang dilahirkan untuknya, (sama dengan bapaknya). Kekhususan inilah yang
diungkapkan dalam hadist nabi Saw.:
انت ومالك لأبيك
Engkau dan harta (milik)mu adalah untuk bapakmu.
Dari khususan ini maka muncul
hukum-hukum tersebut, yaitu hukum sejalan dengan makna yang dipaham dari ungkapan
nash dan bukan maksud dari susunan katanya. Jadi pemahaman itu dari isyarat
nash, bukan dari ungkapan nash.
Dari beberapa
contoh di atas dapat diketahui bahwa pengertian implisit (isyaratu nash) adalah
pengertian logis dan rasional yang diambil dari apa yang ditunjukan oleh suatu ungkapan (ibarat) suatu teks.
Tentu setiap orang akan berbeda-beda dalam menggali pengertian-pengertian yang
implisit tersebut sesuai dengan perbedaan pemikiran dan pemahamanya. Hanya orang
yang berpengalaman dalam memahami teks-teks hukum syara’ dan
perundang-undangan, tentunya yang mempunyai kemampuan dalam menggali pengertian
– pengertian implisit yang logis tersebut. Pengertian suatu teks (nash) secara
eksplisit mungkin dapat difahami oleh setiap orang baik ia ahli dalam bidang
fiqh maupun tidak, akan tetapi pengertian secara implisit pada umunya hanya
diketahui oleh para ahli dalam hukum syariat dan perundang- undangan, sekaligus
ahli dalam bidang bahasa. Oleh karena itu tidak ada yang mampu untuk menggali
hukum-hukum syara’ dan perundang-undangan, kecuali orang yang benar-benar mahir
dan menguasai bahasa arab sampai pada akar-akarnya, sehingga ia mengetahui
rahasia dan makna yang di maksud bahasa arab tersebut.[10]
3.Petunjuk Nash (Dilalah an-Nash)
Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipaham dan petunjuk nash adalah makna
yang dipahami dari jiwa dan rasionalitas nash. Apabila ada nash yang
ungkapannya menunjukkan suatu hukumatas kejadiandengan suatu illat tersebut.
Kemudian ditemukan kejadian lain yang sama dalam illat hukumnya atau lebih
utama illat itu. Sedangkan persamaan atau keutamaan itu langsung dapat dipaham
dari bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau kias, maka nash itu secara bahasa
berarti mencakup dua kejadian dan hukum yang telah ditetapkan dari yang
tercakup ditetapkan pula untuk yang tersirat yang sesuai dalam illatnya; baik
sama maupun lebih utama.[11]
Seperti Firman Allah SWT:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.(QS. Al-Isra’ :23)
Ungkapan nash ini menunjukkan larangan kepada anak untuk mengatakan “ah”
kepada kedua orang tuanya. Illat dalam larangan ini adalah sesuatu yang
terkandung dalam “ucapan”kepada keduanya, berupa menyakiti. Kemudian ada bentuk
yang lain yang lebih menyakitkan dari sekedar berkata seperti memukul dan
mencaci. Maka dapat segera dipahami bahwa larangan itu mencakup kejadian yang
baru ini. Artinya, ia diharamkan oleh nash yang mengharamkan berkata “ah”.
Karena secara bahasa langsung dapat dimengerti bahwa larangan berkata “ah”
berarti larangan berbuat sesuatu yang lebih dari itu, yaitu apalagi menyakiti
kedua orang tua. Dari sini diketahui bahwa arti orang tua. Dari sini diketahui
bahwa arti yang sesuai yang tak terucap lebih utama hukumnya dari pada yang
terucap.[12]
4.Kehendak Nash (Dilalat al- Iqtida)
Kehendak nash dengan pahaman dari kehendak nash adalah makna logika yang
mana kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan mengira-ngirakan makna
itu. Sedangkan bentuk nash tidak ada kata yang menunjukkan makna tersebut,
tetapi kebenaran arti menghendaki makna itu atau membenarkan dan
menyesuaikannya dengan kenyataan.[13]
Seperti sabdah Nabi Saw:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عنه.
Dihapus dari umatku (dosa) keliru, lupa dan sesuatu
yang dipaksakan kepadanya.
Ungkapan hadist ini, dapat dijelaskan bahwa entitass kealahan dan
kelupaan tidaklah dapat diangkat / dilepaskan dari umat Islam, terbukti kedua
hal itu tetap dialami oleh mereka; dan ini tidak logis secara syar’I atau aqli.
Oleh karena itu pasti ada makna
tersemunyi yang dapat diasumsikan, yakni dosa; sehingga makna yang dimaksud
adalah setiap perbuatan salah, lupa, dan terpaksa dibebaskan/dilepaskan
pelakunya dari beban dosa. Inilah makna / pemahaman yang logis secara
syar’I atau aqli dari nash
tersebut.[14]
Contoh lain seperti dalam Al-Qur’an, seperti:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan
أُمَّهَاتُكُمْ “ Diharamkan
atas kamu , ibu-ibumu.” Ini
menunjukan (Lafazh)b yang dikira-kirakan akan dibuang. Kata-kata itu berbunyi:
أُمَّهَاتُكُمْ ْزَوَاجُ Mengawini ibu-ibumu. Karena menyandaran keharaman
kepada pribadi ibu adalah tidak tepat. Maka enyadaran yang tepat adalah menghendak kata yang
dikira-kirakan ini (zawaaj.)[15]
C. Tingkatan Dilalah Dari Segi Kuat Dan Lemahnya
Semua dilalah di atas, kecuali dilalah an-nash adalah termasuk dalam
kategori dilalah manthuq, karena dilalah-dilalah tersebut didasarkan pada
pengertian lafazh, baik pengertian eksplisit (ibarat) maupun implisit (isyarat)
atau didasarkan pada kebutuhan lafazh tersebut kepada dilalah. Dilalah manthuq
adalah kebalikan dilalah mafhum.
Sebelum beralih pada pembahasan dilalah mafhum perlu dijelaskan bahwa
tingkatan dilalah-dilalah tersebut dalam istinbath hukum tidaklah sama. Dilalah ibarat (eksplisit) yang paling kuat, dan dilalah iqtidha’
yang paling rendah.
Ditinjau dari
segi kuat dan lemahnya, menurut madzhab Hanafi, tingkatan dilalah adalah
berikut :
1.Dilalah al-‘ibarah
2.Dilalah al-isyarah
3.Dilalah an-Nash
4.Dilalah al-iqtidha’[16]
Pngabilan makna
ungkapan lbih kuat dari pada isyarat. Karna ungkapan mnunjukan makna yang
langsung dipaham maksudnya dari susunan kata, sdangkan isyarat mnunjukan makna
lazim yang tidak dimaksud olh susunan katanya. Kdua cara itu lbih kuat dari
pada pngambilan makana scara dalalah (ptunjuk). Karna kduanya trucapkan dalam
nash dan yang ditunjuk nash ada pada bntuk dan kata-katanya, ttapi cara dalalah
adaah pmahaman nash yang ditunjukkan olh jiwa dan rasionalitas nash. Karna
kkuatan inilah maka ktika trjadi prtntangan makna nash, maka yang dimnangkan
adalah pmahaman dari ungkapan dari pada pmahaman scara isyarat. Dan salah
satunya dimnangkan dari pada pmahaman
dari ptunjuk nash.
Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi
kontradiksi (ta’arudl) antara satu dilalah dengan dilalah yang lain, seperti:
a.
Pertentangan
makna antara ibarah dan isyarat nash.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ
diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS. Al-Baqarah : 178)
Dengan firman Allah SWT:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِدًا فِيهَا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam kekal ia di dalamnya… (QS. An-Nisa’ : 93)
Ayat pertama , ungkapanya menunjukan kewajiban qisas bagi pembunuh.
Sedasedangkan ayat kedua , menurut isyaratnya menunjukan bahwa pembunuh yang
sengaja tidak harus menerima qisas,
karena ayat tersebut menganggap cukup bahwa balasanya adallah neraka
jahanam. Bila ringkasan ini dijadikan penjelasan, maka pembunuh itu tidak wajib
menerima hukuman lain. Tetapi makan dari ungkapan harus dimenangkan daru pada
isyarat maka ia wajib diqisas.
b.
Pertentangan
antara makna secara isyarah dan an- nash
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ
dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman (QS.an nisaa’:92)
Menurut petunjuknya, dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa
orang yang embunuh seran mukmin yang sengaja wajib memerdekakan seorang dudak
adalah sarana dari menebus dari dosa pembunuhan. Orang yang sengaja lebih utama
dari pada orang yang tidak sengaja dalam penebusan dosa.
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِدًا فِيهَا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya… (QS. An nisaa’ : 93)
Menurut isyaratnya dari ayat ini dapat diambil pengertian:
pembunuhan tidak wajib memerdekaan budak karena ayat itu member I isyarat bahwa
tidak ada penebusan bagi dosanya di dunia, tidak yang lain.
Dengan demikian Ketika menjadi pertentangan antara isyat dan
petunjuk maka yang dimenangkan adalah isyarat. Jadi pemmbunuh yang sengaja
tidak wajib memerdekakan budak.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalalah adalah pengertian
yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada
makna tertentu. Dalam memahaminya dibutuhkan empat metode yaitu, dilalat al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat al-nass, dan
dilalat al-iqtida. Sementara, jika dilihat dari segi kuat dan lemahnya maka
tingkatan dilalah adalah sebagai berikut :
1.
Dilalah
al-‘ibarah
2.
Dilalah
al-isyarah
3.
Dilalah
an-Nash
4.
Dilalah
al-iqtidha.
B.
Saran
Jika ada kesalahan dalam masa dalam penyusunan makalah
ini baik penulisan, isi, judul, diatas kami mohonmaaf kepada pera pembaca makalah ini. Dan tidak lupa pula ucapan trima kasih kepada
semua pihak yang membantu kami menyelesaikan makalah ini semoga jerih payah
kami selama penyusunan makalah ini tidaklah sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:
Amzah, 2011
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul
Fiqih, Jakarta: Pustaka Amanai, 2003.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul fiqih,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.
Syafi’I, Rachmat,
Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
[1] Rachmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), 153.
[2]http//: pengambilan
nash dalalah dalam perspektif madzhab
belajar berbagi.hTM// 29/02/2015.
[3] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta:
Amzah, 2011), 177.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka
Amanai, 2003), 203.
[5] Muhammad Abu Zahra, Ushul fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2013), 203.
[6] Abdul Wahab Khallaf,.. 203.
[7] Ibid, 205.
[8] Ibid,206.
[9] Muhammad Abu Zahra, 207
[10] Muhammad Abu Zahra,..opcit.
[11] Abdul wahhab Khalaf,..209.
[12] Asmawi,..182.
[13] Abdul Wahab Khalaf,..212.
[14] Asmawi.,,187.
[15] Abdul Wahab, opcit, 215.
[17] Abdul Wahab Khallaf,..216-218.
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)