JUDUL : AL-KHOSH WA DILALATUHU
PENULIS : AHMAD ADABY A.R
BAB II
PEMBAHASAN
Al Khosh wa dilalatuhu
Jika di dalam nash terdapat lafal yang khusus, maka
hukumnya ditetapkan secara pasti atas yang ditunjukkannya, selama tidak ada
dalil yang mentakwil dan menghendaki makna yang lain. Jika terdapat lafal yang
mutlak, maka penetapan hukum harus secara mutlak selama tidak ada dalil yang
membatasinya. Jika berbentuk perintah maka harus diartikan wajib atas apa yang
diperintahkan selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti wajib. Jika
berbentuk larangan maka harus diartikan haram atas apa yang dilarang selama
tidak ada dalil yang membelokkan dari arti haram.
A.
Lafal khusus
adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satuan
tertentu, berupa orang seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki laki atau
beberapa satuan yang bermacam macam dan terbatas, seperti tiga belas atau
seratus atau kaum atau golongan dan lafal lain yang menunjukan jumlah satuan
dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.
Kadang kadang lafal khusus itu berbentuk mutlak tanpa
batasan, dibatasi dengan suatu batasan,
berbentuk tuntutan melakukan perbuatan seperti "ittaqil laaha"
(bertaqwalah kepada Allah), dan kadang kadang berbentuk larangan melakukan
perbuatan seperti "walaa tajassasuu" (janganlah kamu memata matai),
maka semua itu masuk dalam kelompok khusus yang mutlak, terbatas, perintah dan
larangan.
Hukum lafal umum secara global adalah jika ia
terdapat dalam nash syara' yang menunjukkan secara pasti kepada maknanya yang
khusus yang dibuat untuknya secara hakiki dan hukum itu ditetapkan karena
petunjuknya secara pasti, bukan dugaan. Jadi hukum yang diambil dalam firman
Allah:
فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
“maka kafarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi makan sepuluh orang miskin,” (Al Maidah :
89)
Adalah kewajiban memberi makan sepuluh orang miskin,
tidak boleh kurang atau lebih. Hukum yang diambil dari hadist nabi:
وفي كل اربعين شاة شاة
Jika dua nash itu berbeda dalam hukum, sebab atau
kedua duanya, maka lafal yang mutlak tidak boleh diartikan terbatas, tapi yang
mutlak diamalkan sebagaimana kemutlakannya pada tempatnya dan yang terbatas
diamalkan menurut batasan pada tempatnya pula. Karena perbedaan hukum dan sebab
atau salah satunya kadang kadang sebagai alasan perbedaan bebas dan terbatasnya
lafal itu. Ini adalah pendapat sekelompok hanafi dan sebagian kelompok maliki.
Sedangkan pendapat kelompok syafi'i sepakat dengan mereka pada perbedaan dua
nash dalam hukum dan sebab saja. Jika perbedaan itu pada sebab tetapi sama
dalam hukumnya, maka lafal yang mutlak dipahami dengan yang terbatas.
Contoh dua nash yang berbeda hukumnya tapi sama dalam
sebabnya adalah firman Allah Swt.:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. . . .”
(Al Maidah:6)
Dan firmam Allah:
فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
”
maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu.” (An
Nisa’:43)
"Sebab" yang terdapat dalam kedua ayat
tersebut dalah satu, yaitu bersuci untuk mendirikan sholat. "Hukum"
pada ayat pertama adalah kewajiban membasuh, sedangkan pada ayat kedua adalah
kewajiban mengusap.
Juga seperti firman Allah:
وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ
“ibu-ibu
istrimu (mertua) (An
Nisa’:23)
Dan firmam Allah:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
“anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri.”(An Nisa’:23)
Contoh dua
nash yang sama dalam hukum tetapi berbeda dalam sebabnya adalah firman Allah
tentang denda tebusan akibat membunuh dengan keliru (tidak sengaja)
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“dan
barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (An Nisa’:92)
Dan firmam Allah
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“orang-orang
yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur.” (Al
Mujadilah:3)
Juga firman Allah tentang kesaksian dalam akad utang piutang:
وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu).” (Al Baqarah:282)
Juga firman Allah tentang kesaksian dalam akad merujuk istri:
وَأَشْهِدُوا
ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (At Thalaq:2)
Dalam dua ayat yang pertama, "hukum" adalah
sama, yaitu kewajiban memerdekakan hamba sahaya. Sedangkan "sebab"
kewajiban itu berbeda: pertama pembunuhan karena tidak sengaja dan kedua, keinginan
orang yang berzihar untuk merujuk istrinya.
Dalam dua ayat yang kedua, "hukum" adalah
sama, yaitu wajib mempersaksikan dengan dua orang orang saksi. Sedangkan
"sebab" kewajiban itu berbeda: pertama ialah utang piutang dan kedua,
ialah merujuk istri yang telah dizihar.
Maka lafal yang terbatas tidak dianggap menjelaskan
kepada lafal yang mutlak kecuali dalam satu gambaran: yaitu jika temanya baik
hukum maupun sebabnya sama. Sehingga mutlak tidak dipahami secara terbatas
tetapi mutlak pada tempatnya dipahami menurut kemutlakannya dan terbatas
dipahami menurut batasannya. Karena perbedaan hukum kadang menjadi sebab dalam
perbedaan mutlak dan terbatasnya. Artinya, hukum pada ayat adalah kewajiban
membasuh kedua tangan yang dibatasi dengan "sampai siku", tetapi
hukum pada ayat tayammum adalah lewajiban mengusap kedua tangan yang tidak
dibatasi dengan sampai siku. Karena tayammum adalah rukhsah yang ditetapkan
sebagai keringanan ketika tidak ada air, maka diserupakan dengan keringanan
pula dalam pemutlakan tangan, sehingga apa yang disebut tangan dianggap cukup
untuk diusap. Demikian pula keadaannya jika sebab hukumnya berbeda. Mungkin
karena pembunuhan yang tidak sengaja dituntut untuk membatasi hamba sahaya
dengan "iman" adalah memberatkan hukuman, sedangkan keinginan orang
yang berzihar untuk kembali tidak dituntut pemberatan ini, sehingga cukup
baginya memerdekakan hamba sahaya yang bagaimanapun.[1]
B.
Al-Amru
1.
Pengertian Al Amru
Secara etimologis, al amru adalah suruhan, perintah, atau tuntutan.
Konsep Al Amru dalam ushul fiqh berbeda dengan konsep Al Amru pada umumnya.
Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan al amru sebagaimana yang tertera
dalam kaidah berikut:
طلب الفعل من الاعلى الادنى
"Satu tuntutan untuk mengerjakan atau berbuat sesuatu
dari jurusan yang lebih tinggi terhadp yang lebih rendah"
Atau al amru dapat diartikan sebagai perintah seseorang yang mempunyai
strata sosial tinggi kepada seseorang yang berstatus sosial lebih rendah agar
melakukan sesuatu. Perintah itu dituangkan dalam keppres (keputusan presiden)
atau perpres (peraturan presiden). Dalam hal ini presiden kedudukannya lebih
tinggi dari pada rakyat. Atau seorang guru, yang memiliki kedudukan lebih
tinggi memerintahkan murid murid untuk melakukan sesuatu, seperti menulis,
membaca dan lain sebagainya.
Dalam kaidah usul fiqh tidak semua al amru dengan serta merta berkonotasi
wajib. Oleh karena itu, ushul fiqh masih merumuskan kembali tentang pembahasan
Al amru, apakah berkonotasi wajib atau tidak. Hal iti sesuai dengan kaidah
ushul fiqh yang berbunyi:
الاصل فى الامر للطلب
"Perintah itu asalnya
hanya sekedar menunjukan
tuntutan"[2]
2.
Macam macam amr
Bentuk amar (perintah) itu adakalanya keluar dari makna yanh asli dengan
ucapan kerjakanlah dan digunakan untuk makna yang bermacam macam. Perintah
menurut bentuknya sebagai berikut:
1.
Untuk menunjukan nadb (sunnah)
Misalnya:
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ
فِيهِمْ خَيْرًا
berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu (An
Nuur 33)
perintah ini
tidak menunjukan wajib sebab kalau menerima cicilan dihukumi wajib, berarti
memaksa kepada orang yang mempunyai budak untuk melepaskan budaknya. Perintah
ini hanya sunnah yang dapat memberikan dorongan kepada budak budak untuk
mengubah nasibnya jadi merdeka.
2.
Untuk do'a
Misalnya:
رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (al
Baqarah 201)
Perintah
manusia kepada Allah dinamakan do'a. Jadi makna tersebut diatas, ialah kita
memohon kepada Allah agar memberikan kebajikan di dunia dan di akhirat.
selanjutnya
kalau permintaan dengan ucapan "kerjakan" ditunjukkan kepada yang
setingkat, yaitu manusia dengan manusia dinamakan "iltimas" yaitu
mengharap, misalnya "silahkan duduk"
3.
Untuk mengancam
Misalnya:
اعْمَلُوا مَا
شِئْتُمْ
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki. (Fushilat 40)
Perintah ini
bukan menunjukan wajib atau sebaliknya bebas berbuat, melainkan menunjukan
ancaman terhadap orang yang tidak taat kepada Allah yang berbuat sekehendaknya
sendiri, dengan ancaman siksa di akhirat.
3.
Bentuk Amr
Bentuk amr ada lima macam:
1.
Dengan
menggunakan fiil amr, misalnya:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
Dan
dirikanlah salat. (Al Baqarah:43)
2.
Dengan fiil mudhari' yang diberi lam amar. Misalnya:
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ
الْعَتِيقِ
hendaklah
mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).(Al Hajj:29)
3.
Dengan menggunakan isim fiil amr. Misalnya:
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا
يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
jagalah
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk. (Al Maidah:105)
4.
Dengan menggunakan isim masdar pengganti fiil.
Misalnya:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
dan
berbuat baiklah kepada ibu bapakmu. (Al Baqarah:83)
5.
Dengan menggunakan kalimat berita. Misalnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah:228)
Kalimat
yatarabbashna = menunggu dalam ayat tersebut di atas, bentuknya sebagai khabar
dan memakai fiil mudhari', tetapi maksudnya memerintah yaitu "hendaklah
mereka menunggu" untuk ber iddah tiga kali suci dari haid.
4.
Perulangan dalam perintah
1.
Amr tidak menghendaki berulang ulang:
الأصل فى الأمر لايقتضى التكرار
"Pada dasarnya, perintah itu tidak menghendaki
perulangan pekerjaan yang dituntut"
Artinya jika
perintah itu sudah dikerjakan sekali saja, berarti sudah cukup memenuhi
tuntutan perintah itu. Misalnya:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ
لِلَّهِ
Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (Al Baqarah:196)
Apabila
perintah ini telah dilaksanakan, meskipun hanya sekali, berarti telah cukup
memenuhi, kecuali kalau ada dalil yang mengubah kewajiban itu.
2.
Amr (perintah) menghendaki berulang ulang:
الاصل فى الامر يقتصى التكرار مدة العمر مع الامكان
"Pada dasarnya, perintah itu menghendaki berulang
ulangnya perbuatan yang diminta, selagi masih ada kesanggupan selama
hidup"
Alasannya
dalam nahi (larangan) tuntutan meninggalkan perbuatan berulang ulang setiap
waktu, maka berulang ulangnya tuntutan tersebut juga berlaku dalam amr
(perintah) karena kedua duanya sama sama tuntutan.
Alasan
tersebut tidal tepat sebab walaupun amr dan nahi kedua duanya menghendaki
tuntutan, tetapi tujuannya berbeda. Amr menghendaki terwujudnya perbuatan,
sedangkan nahi menghendki ditinggalkannya perbuatan. Tuntutan amr itu dapat
terlaksana dengan mengerjakan sekali saja, sedangkan dalam nahi tuntutan itu
tidak dapat terpenuhi, kecuali dengan meninggalkan perbuatan itu selamanya.
Karena itu mempersamakan amr dan nahi yang berbeda tujuannya itu tidak benar.
Perbedaan
pendapat antara yang menghendaki berulang ulangnya pekerjaan dan yang tidak
menghendakinya ialah mengenai amr (perintah) yang tidak disertai illat, sifat
dan syarat.
Tetapi jika
amr itu disertai oleh satu diantara illat, sifat maupun syarat maka keadaannya
sebagai berikut:
a)
Jika amr itu dihibungkan dengan illat maka harus
mengikuti illat tersebut. Jika
ada illat, ada hukum. Jika berulang ulang illat, berulang ulang pula hukum
tersebut, sebagaimana kaidah ushul fiqh menyatakan:
"Hukum
itu selalu mengikuti illat, baik dikala ada illat maupun tidak ada."
b)
Apabila amr dihubungkan dengan syarat, atau sifat
berulang ulang pula pekerjaan yang dituntut, demikian jika sifat dan syarat itu
merupakan illat.
Contoh sifat:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera,(An Nuur:2)
Contoh syarat:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
dan
jika kamu junub maka mandilah,(Al Maidah:6)
c)
Jika amr dihubungkan dengan dalil lain, misalnya:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
Dan
dirikanlah salat,(Al Baqarah:43)
Perintah ini
menunjukkan kesegeraan wajib dan tiap tiap perintah asalnya cukup dikerjakan
sekali saja. Jadi, mestinya shalat wajib itu cukup dilaksanakan sekali saja.
Tetapi disamping perintah ini (shalat wajib).
5.
Kesegeraan dalam amr
Perintah
adakalanya ditentukan waktunya dam adakalanya tidak. Jika suatu perintah
disertai waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, perintah semacam ini mesti
dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Tetapi jika tidak dihubungkan
dengan waktu tertentu, perintah itu berjalan sesuai dengan dasar pokoknya,
yaitu:
الاصل فى الأمر لا يقتضى الفورا
"Pada
dasarnya perintah itu tidak dilaksanakan dengan
segera."
Karena itu
boleh ditunda mengerjakannya dengan cara yang tidak melalaikan pekerjaan itu,
yakni pokoknya amr itu menuntut untuk dilaksanakan. Sungguhpun waktunya ditentukan,
ada antara bagi awal dan akhirnya. Kita dapat mengambil waktu yang akhir selagi
belum keluar dari batas waktu yang ditentukan, seperti perintah mengqadha'
puasa ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau bepergian, sebagaimana dalam
Al Qur'an:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ
عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka
barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah:184)
Sebagian ulama
menyatakan bahwa perintah itu berlaku sesegera mungkin.
الاصل فى الأمر يقتضى الفور
"Pada dasarnya perintah itu menghendaki
pelaksanaan yang segera"
Karena itu
perintah mesti segera dilaksanakan manakala sudah ada kesanggupan
mengerjakannya, seperti perintah Allah kepada malaikat yang tersebut dalam Al
qur'an:
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا
إِبْلِيسَ
"Sujudlah
kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis. (Al Baqarah:34)
Iblis yang
tidak mau sujud kepada adam dengan segera dilaknat Allah, diperintahkan turun
dari syurga sebagaimana yang telah tersebut dalam surah Al A'raf ayat 13
"pergilah dari tempat ini karena tempat ini tidak sepatutnya bagi engkau
menyombongkan diri.
Demikianlah
alasan yang menyatakan bahwa perintah itu mesti dilaksanakan dengan segera.
Tetapi, alasan tersebut sebenarnya tidak tepat karena perintah sujud tersebut
sebenarnya telah ditentukan juga waktunya, yaitu setelah ditiupkan ruh ke dalam
tubuh nabi Adam, sebagaimana firman Allah:
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا
لَهُ سَاجِدِينَ
Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Al Hijr:29)
Jadi perintah
sujud kepada nabi Adam sebenarnya suatu perintah (amr) yaitu ditentukan
waktunya juga, yaitu setelah ditiupkannya ruh ke dalam tubuh nabi, oleh karena
adanya qarinah ini, sujud tadi harus dilakukan dengam segera.
6.
Wasilah perbuatan
Sesuatu
perintah tidak akan terlaksana, kecuali disertai sesuatu yanh dapat mewujudkan
terlaksananya perintah itu. Sesuatu inilah yang disebut wasilah (perantara),
baik berupa perbuatan maupun alat dan benda sebagainya. Hubungan amr dengan
wasilah juga merupakan salah satu dasar dalam amr.
الأمر بالشئ امربوسا ئله
"Memerintahkan
sesuatu, berarti memerintahkan pula seluruh perkaranya."
Kalau
perantaraan ini tidak diperintahkan, berarti diperkenankan meninggalkan
kewajiban yang dimaksud, sebab kita mengetahui bahwa kewajiban ini tidak akan terlaksana,
kecuali melalui perantara. Padahal meninggalkan kewajiban ini dilarang.
Demikian pula meninggalkan sesuatu yang dapat menyampaikan terlaksananya
kewajiban.
Misalnya kita
diperintahkan oleh syara' untuk mengerjakan shalat. Diantara syarat syah sholat
ialah menutup aurat. Maka menutup aurat inipun diperintahkan juga. Untuk
memenuhi perintah menutup aurat ini tidak dapat terlaksana apabila kita tidak
mendapat penutupnya. Maka berusaha mendapat penutupnya itupun diperintahkan
juga.
wasilah ini
ada 3:
a. Wasilah
yang timbulnya dari syara' (wasilah syari'ah) seperti memerintahkan sholat,
berarti meliputi perintah menutup aurat
b. Wasilah
yang timbulnya dari adat kebiasaan (wasilah 'urfiyah) seperti perintah naek
loteng berarti meliputi perintah meletakan tangga
c. Wasilah
yang timbulnya dari akal (wasilah 'aqliyah) seperti perintah menghadap, berarti
meliputi perintah untuk tidak membelakangi.[3]
C.
An-Nahyu
1.
Pengertian An Nahyu
Nahi menurut bahasa artinya "mencegah" atau
"melarang"
Sedangkan
menurut syara' ialah:
طلب النرك من الأعلى ال الأدنى
"Merintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih
tinggi tingkatannya dari orang yang lebih rendah tingkatannya."
Bentuk nahi
hanya satu, yaitu fiil mudhari' yang disertai "la nahi". Misalnya لا تفعل janganlah
mengerjakan.[4]
Jika lafal
khusus yang terdapat dalam nash syara' itu berbentuk nahi atau berbentuk berita
yang bermakna larangan, maka berarti haram. Yakni menuntut untuk melakukan yang
dilarang secara tetap dan pasti.
Firman Allah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.(Al
Baqarah:221)
Memberikan
pengertian haram bagi seorang laki laki muslim mengawini wanita musyrik.
Apabila
terdapat alasan yang dapat membelokkan makna hakiki kepada makna majazi maka
pemahamannya adalah petunjuk alasan tersebut seperti do'a dalam firman Allah
ربنا لا تزغ قلوبنا
Ya tuhan kami,
janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan.
Jadi berarti
makruh dalam firmam Allah:
لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
janganlah
kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu. (Al Maidah:101)
Sebagian ulama
ushul fiqh berpendapat bahwa bentuk larangan itu termasuk lafal yang memiliki
arti banyak. Bentuk larangan itu sama halnya dengan bentuk perintah, perbedaan
keduanya juga sama.
Larangan itu
menuntut untuk meninggalkan semuanya dengan segera. Karena yang dilarang itu
tidak dapat dibuktikan kecuali jika selamanya. Artimya jika jiwa seorang
mukallaf mendorong untuk berbuat yang dilarang, maka larangan itu mencegahnya.
Sedangkan pengulangan sudah semestinya untuk membuktikan kepatuhan pada
larangan itu. Demikian juga dengan "segera", karena larangan berbuat
pada dasarnya adalah keharaman perbuatan itu sebab terdapat bahaya. Ini wajib
seketika, karena seseorang yang dilarang berbuat sesuatu, ketika ia
melakukannya meskipun sekali kapan saja, maka tidak terbukti bahwa ia patuh.
Maka, pengulangan untuk tidak berbuat dan segera adalah termasuk konsekwensi
larangan. Jadi, bentuk larangan secara mutlak bermakna segera dan berulang
ulang (selalu), sedangkan bentuk perintah secara mutlak tidak berarti segera
dan berulang ulang.[5]
2. Macam macam
arti nahi
a) Untuk do’a
Misalnya:
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.(Al
Baqarah:286)
Perkataan
"janganlah engkau hukum kami...." bukan menunjukan larangan sebab
manusia tidak berhak melarang Allah karena manusia berada di bawah
kekuasaanNya, tetapi perkataan itu menunjukan permohonan sebagai do'a.
b) Untuk
memberikan pelajaran
Misalnya:
لا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. (Al
Maidah:101)
Larangan ini
sebagai pelajaran agar kita jangan selalu menanyakan sesuatu yang akan
merugikan diri, terutama hal hal yang menyangkut hubungan antara manusia dan
manusia agar hubungan itu senantiasa baik antara satu dengan yang lain.
c) Untuk
memutusasakan
Misalnya:
لا
تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
janganlah kamu mengemukakan uzur pada
hari ini. (At Tahrim:6)
Untuk
memutusasakan mereka bahwa pada hari kiamat tidak ada gunanya lagi membela
diri, tidak dapat lagi berharap untuk memperoleh ampunan karena pada hari
kiamat pintu tobat sudah ditutup.
3. Masa
berlakunya larangan
النهي المطلق يقتضى الدوام فى جميع الأزمنة
"Larangan yang
mutlak berarti
menunjukan kekalnya larangan itu untuk selama lamanya sepanjang masa."
Larangan itu
terbagi dua, yaitu: (1) larangan yang mutlak (bebas) yang tidak dibatasi
waktunya dan (2) larangan yang terbatas (muqayyad) yang waktunya ditentukan.
a. Larangan
yang bersifat mutlak, yaitu larangan yang tidak berbatas dan berlaku untuk
selama lamanya. Karena larangan semacam ini mengandung mafsadat (keburukan
keburukan yang dilarangNya). Keburukan itu wajib dihindari selamanya.
Firman Allah:
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan,(Al Baqarah:195)
Larangan
semacam ini mutlak, artinya tidak dengam syarat dan tidak dibatasi waktunya,
yakni berlaku untuk selama lamanya jadi menjatuhkan diri sendiri ke dalam
kebinasaan itu hukumnya haram dalam keadaan bagaimana dan waktu apa pun.
b. Larangan
yang terbatas (muqayyad) yakni berlaku selama waktu yang ditentukan.
Larangan yang
asalnya mesti ditinggalkan untuk selama lamanya dapat berubah menjadi terbatas
untuk sementara waktu jika ada keterangan yang menunjukan kesitu, misalnya:
لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
janganlah
kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan. (An Nisa’:43)
Larangan pada
dasarnya mesti dijauhi dalam semua waktu, tetapi dalam ayat tersebut di atas,
terdapat keterangan "sedang kamu dalam keadaan mabuk," untuk demikian
disebut suatu "batasan". Jadi larangan shalat itu terbatas dalam
keadaan mabuk, wajib kembali shalat seperti biasa, sebab kita maklum bahwa
shalat itu diwajibkan atas kita lima kali sehari semalam.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al Khosh wa
dilalatuhu
Jika di dalam
nash terdapat lafal yang khusus, maka hukumnya ditetapkan secara pasti atas
yang ditunjukkannya, selama tidak ada dalil yang mentakwil dan menghendaki
makna yang lain. Jika terdapat lafal yang mutlak, maka penetapan hukum harus
secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Jika berbentuk perintah
maka harus diartikan wajib atas apa yang diperintahkan selama tidak ada dalil
yang membelokkan dari arti wajib. Jika berbentuk larangan maka harus diartikan
haram atas apa yang dilarang selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti
haram.
Lafal khusus adalah lafal yang dibuat untuk
menunjukkan satuan tertentu, berupa orang seperti Muhammad atau satu jenis,
seperti laki laki atau beberapa satuan yang bermacam macam dan terbatas,
seperti tiga belas atau seratus atau kaum atau golongan dan lafal lain yang
menunjukan jumlah satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.
Secara etimologis, al amru adalah suruhan, perintah,
atau tuntutan. Konsep Al Amru dalam ushul fiqh berbeda dengan konsep Al Amru
pada umumnya. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan al amru
sebagaimana yang tertera dalam kaidah berikut:
طلب الفعل من الاعلى الادنى
"Satu tuntutan untuk mengerjakan atau berbuat sesuatu
dari jurusan yang lebih tinggi terhadp yang lebih rendah"
1. Macam macam amr
a) Untuk menunjukan
nadb (sunnah)
b) Untuk do'a
c) Untuk mengancam
2. Bentuk Amr
a) Dengan menggunakan fiil amr, misalnya:
b) Dengan fiil
mudhari' yang diberi lam amar. Misalnya:
c) Dengan
menggunakan isim fiil amr. Misalnya:
d) Dengan
menggunakan isim masdar pengganti fiil. Misalnya:
e) Dengan
menggunakan kalimat berita. Misalnya:
Sesuatu perintah tidak akan terlaksana, kecuali
disertai sesuatu yanh dapat mewujudkan terlaksananya perintah itu. Sesuatu
inilah yang disebut wasilah (perantara), baik berupa perbuatan maupun alat dan
benda sebagainya. Hubungan amr dengan wasilah juga merupakan salah satu dasar
dalam amr.
الأمر بالشئ امربوسا ئله
"Memerintahkan
sesuatu, berarti memerintahkan pula seluruh perkaranya."
a.
Wasilah yang timbulnya dari syara' (wasilah syari'ah) seperti memerintahkan
sholat, berarti meliputi perintah menutup aurat
b.
Wasilah yang timbulnya dari adat kebiasaan (wasilah 'urfiyah) seperti perintah
naek loteng berarti meliputi perintah meletakan tangga
c.
Wasilah yang timbulnya dari akal (wasilah 'aqliyah) seperti perintah menghadap,
berarti meliputi perintah untuk tidak membelakangi.
Nahi menurut bahasa artinya "mencegah" atau
"melarang"
Sedangkan menurut syara' ialah:
طلب النرك من الأعلى ال الأدنى
"Merintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih
tinggi tingkatannya dari orang yang lebih rendah tingkatannya."
Bentuk nahi hanya satu, yaitu fiil mudhari' yang disertai
"la nahi". Misalnya لا تفعل janganlah mengerjakan.
Macam macam arti nahi Untuk do’a
a)
Untuk memberikan pelajaran
b)
Untuk memutusasakan
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’I, Drs.Moh. 1973. Ushul
Fiqh. Penerbit PT Alma’arif:Bandung
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Ilmu
Ushul Fiqh. PT Amani:Jakarta
Waid, Abdul. 2014. Kumpulan
Kaidah Ushul Fiqh. PT IRCiSoD:Jokjakarta
[1]. Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh (Jakarta, Pustaka Amani, 2003) 286
[2]. Abdul Waid,
Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh (Jogjakarta, IRCiSoD, 2014) 52-53
[3]. Drs.Moh.Rifa’i Ushul
Fiqh, (Bandung, PT Alma’arif, 1987) 24-38
[4]. Ibid 42
[5]. Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh . . . 289-290
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)