MAKALAH
USHUL FIQH
MUSYTARAK
WA DILALATUHU
PENULIS
: AHMAD ADABY A.R
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata musytarak berasal dari kata syaraka kata yang
bermakna berserikat, bersekutu, dan bercampur. Musytarak disini menurut DR.
Zain bin Ali bin Mahdi Maharisy dalam kitabnya “shuwarul musytarak allafdzi fil
qur’anil karim wa atsaruhu fil ma’na” adalah satu lafadz yang memliki banyak
arti yang berbeda dan tidak ada hubungannya satu sama lain. Dari sini bisa
dipahami bahwa musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata yang ada dalam
al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara makna yang ada
itu tidak ada hubungannya.
Apabila di dalam nash syara’ terdapat lafal yang
musytarak ; jika musytarak itu terjadi antara arti secara bahasa dan istilah
syara’, maka yang harus digunakan adlah makna syara’. Jika musytarak itu
terjadi antara dua makna bahasa atau lebih, maka yang harus digunakan adalah
makna salah satunya dengan suatu petunjuk yang dapat menentukannya, tidak boleh
menggunakan kedua atau semua makna musytarak tersebut secara bersamaan.
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal yang
dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah
diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan
tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima
milimat ( nama uang di Mesir ).
Para ulama ushul menyatakan, bahwa pengertian
isytirak berbeda dengan pengertian asli. Dengan kata lain, suatu lafadz yang
tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan kecenderungan infirad (satu
pengertian), maka yang dominan dalam zhann ialah pengertian infirad, dan
kecenderungan pengertian isytirak pun menjadi tidak kuat. Dengan kata lain,
dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang lebih kuat.
Karena itu, bila terdapat didalam Al-Qur’an suatu lafadz yang memiliki
kecenderungan isytirak dan tidak, maka yang diperkuat adalah ketiadaan
isytirak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Pengertian Musytarak Wa Dilalatuhu ?
2.
Bagaimana Penyuguhan
dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak
?
3.
Bagaimana
Dalalah Musytarak ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Agar dapat
mengetahui Pengertian Musytarak Wa Dilalatuhu.
2.
Agar dapat
mengetahui Penyuguhan dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak.
3.
Agar dapat
mengetahui Dalalah Musytarak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Musytarak Wa Dilalatuhu
Kata musytarak berasal dari kata syaraka kata yang
bermakna berserikat, bersekutu, dan bercampur. Musytarak disini menurut DR.
Zain bin Ali bin Mahdi Maharisy dalam kitabnya “shuwarul musytarak allafdzi fil
qur’anil karim wa atsaruhu fil ma’na” adalah satu lafadz yang memiliki banyak
arti yang berbeda dan tidak ada hubungannya satu sama lain. Dari sini bisa
dipahami bahwa musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata yang ada dalam
al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara makna yang ada
itu tidak ada hubungannya.
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafadz Musytarak
ini pada kelompok al-khash dan al-‘am yaitu dilihat dari segi
penetapan-penetapan lafadz bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafadz
musytarak sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Zahra[1]
adalah:
اَلْمُشْتَرَكُ
هُوَالَلفْظُ الَّذِى يَدُلُّ عَلَى مَعْنَيَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ بِوَ ضْعِ مُخْتَلِفِ
Artinya
: “ Musytarak ialah suatu lafadz yang menunjukkan kepada pengertian ganda
atau lebih dengan penggunaan berbeda”.
Lafadz disebut isytirak disyaratkan dua
hal, yaitu: terapat beberapa penerapan suatu lafadz dan juga terdapat beberapa
pengertian dari lafadz, sehingga suatu lafadz diterapkan dua kali atau lebih
untuk dua pengertian atau lebih[2].
Contohnya adalah lafadz mata, dimana
memiliki pengertian bahasa yaitu mata yang melihat, mata air, mata-mata,
matahari, mata uang dan yang lainnya. Akan tetapi ketika lafadz mata itu
dilafadzkan, maka tidaklah dimaksudkan keseluruhan pengertian tersebut, akan
tetapi yang dimaksud adalah salah satunya.[3]
B. Penyuguhan
dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak
Apabila di dalam nash
syara’ terdapat lafal yang musytarak ; jika musytarak itu terjadi antara arti
secara bahasa dan istilah syara’, maka yang harus digunakan adlah makna syara’.
Jika musytarak itu terjadi antara dua makna bahasa atau lebih, maka yang harus
digunakan adalah makna salah satunya dengan suatu petunjuk yang dapat
menentukannya, tidak boleh menggunakan kedua atau semua makna musytarak
tersebut secara bersamaan.[4]
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal yang
dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah
diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan
tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima
milimat ( nama uang di Mesir ).
Kemusytarakan itu dapat
diterapkan pada makna yang bermacam-macam sebagaimana pembentukan lafal itu
yang dibuat untuk makna yang bermacam-macam. Sedangkan keumuman itu dapat
terealisir dengan petunjuk lafal atas tercakupnya semua satuan yang sesuai
dengannya tanpa batas. Dan kekhususan itu terealisir dengan petunjuk lafal atas
satu satuan atau beberapa stuan yang
terbatas yang sesuai dengannya dan tidak mencakup keseluruhan.
Jadi, lafal musytarak
adalah lafal yang dibuat untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang
bermacam-macam yang dapat menunjukkan kepada maknanya secara bergantian, artinya
dapat menunjukkan arti ini atau itu. Seperti lafal al’ain yang secara bahasa dapat
berarti mata untuk melihat, mata air, dan mata-mata, lafal al qur-u yang secara
bahasa dibuat untuk makna suci dan haid, lafal as-sunnah (tahun) dan lafal al
yad (tangan).
Sebab terjadinya lafal
yang musytarak menurut bahasa itu banyak sekali. Yang paling penting di
antaranya adalah perbedaan suku atau kabilah dalam menggunakan satu lafal untuk
makna yang berbeda-beda. Sebagian suku mengartikan al yad untuk hasta secara
keseluruhan, suku lain mengartikannya dengan lengan bawah sampai telapak
tangan, sedangkan suku lainnya mengartikan dengan telapak tangan saja. Maka
para ahli bahasa menetapkan bahwa al yad dalam bahasa arab adalah lafal yang
musytarak antara tiga makna. Antara lain menetapkan lafal dengan cara memberi
makna hakiki, kemudian digunakan makna selain makna dasarnya, yakni secara
majazi, kemudian populer penggunaan lafal ini dengan makna majazi sampai
terlupakan bahwa makna itu majazi, maka ulama bahasa menetapkan bahwa lafal ini
bermakna ini dan itu.
Seperti lafal as-sayyaarah
(mobil), ad darraajah (sepeda) dan lafal al masarrah (kesenangan). Antara lain
lafal itu dibuat untuk satu makna, kemudian lafal itu dibentuk untuk makna
dalam istilah syara’ atau undang-undang. Seperti lafal as shalaat (sembahyang)
atau lafal ad daf’u (penolakan). Apapun sebab terjadinya kemusytarakan makna
pada beberapa lafal menurut bahasa, maka lafal yang memiliki dua arti atau
lebih tidak sedikit terdapat dalam bahasa, dan itu dalam nash syara’, baik Al
Qur’an maupun hadist Rasul. Hal ini, sebagaimana yang telah di jelaskan di bab
al Musykil, adalah selama masih dapat ditemukan alasan yang mengarah untuk
memenangkan salah satu makna, dan wajib bagi mujtahid untuk menghilangkan
kemusykilan dan menentukan makna yang dikandung lafal-lafal itu jikan terdapat
dalam nash syara’.[5]
C. Dalalah
Musytarak
Para ulama ushul menyatakan, bahwa
pengertian isytirak berbeda dengan pengertian asli. Dengan kata lain, suatu
lafadz yang tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan kecenderungan
infirad (satu pengertian), maka yang dominan dalam zhann ialah pengertian
infirad, dan kecenderungan pengertian isytirak pun menjadi tidak kuat. Dengan
kata lain, dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang
lebih kuat. Karena itu, bila terdapat didalam Al-Qur’an suatu lafadz yang
memiliki kecenderungan isytirak dan tidak, maka yang diperkuat adalah ketiadaan
isytirak.[6]
Adapun yang menyebabkan kemusykilanterhadap lafadz
nash adalah karena lafadz itu musytarak, yaitu suatu lafadz nash yang
mengandung beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada
makna tertentu.
Banyak perbedaan
penafsiran yang terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami kata musytarak
ini.Misalnya :
Dalam surat
Al-Mudatsir : 51 mengenai arti “Qaswarah”
فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ
Dimaksud disini adalah “ orang
yang melempar” tetapi bisa juga yang dimaksud adalah “singa” juga berarti
“suara-suara orang” juga berarti gelapnya malam.
Seperti halnya yang disebutkan oleh At-Thabarani mengenai surat An-Nahl
: 72
والله جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من
ازواجكم بنين وحفدة
Kata “Hafadah” memiliki banyak arti diantaranya adalah pembantu dan
penolong, anak-anak bawaan istri dari suaminya dahulu, juga hubungan
kekerabatan karena perkawinan, juga berarti cucu, semua ini termasuk dalam arti
hafadah.
Bahkan musytarak
ini juga terkait antara arti hakiki dan arti majaz, maka sangat diperlukan
pemahaman yang mendalam mengenai arti kata-kata yang ada dalam al-Qur’an ini
sehingga kita mendapatkan pemahaman yang benar.
Sebagai contoh
perbedaan arti hakiki dan majaz ini adalah kata “Bakhil” dalam surat An-Nisa’ :
37
اَلَّذِى يَبْخَلُوْنَ وَيَأمَرُوْنَ النَاسَ
بِاالبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَا آتَاهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاَعْتَدْنَا
لِلْكاَفِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا
Artinya : “Orang-orang yang
kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah
yang telah diberikan-Nya kepada mereka dan kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir siksa yang menghinakan.
Dalam ayat ini makna “Bakhil” adalah bukan bakhil dalam harta benda,
karena agama apapun, kepercayaan apapun, budaya apapun dahulu kala dan sekarang
ini memandang sikap bakhil dalam harta merupakan perbuatan tercela.
Tetapi bakhil dalam ayat ini berarti majaz yakni “Bakhil” dalam ilmu,
maksudnya adalah bahwa Allah telah memberitahukan akan adanya Nabi Terakhir
yakni Nabi Muhammad SAW. Pemberitahuan ini sudah disampaikan oleh Allah dalam
kitab-kitab mereka, tetapi mereka menyembunyikan informasi ini sehingga banyak
orang tidak mengetahui, sebagaimana dipahami bahwa orang-orang sebelum islam
mendominasi pemahaman kitab hanya oleh para pendeta dan rahib-rahib saja.
Demikian yang dijelaskan oleh Ath-Tabarni dalam tafsirnya.[7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata yang
ada dalam al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara makna
yang ada itu tidak ada hubungannya.
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafadz Musytarak
ini pada kelompok al-khash dan al-‘am yaitu dilihat dari segi
penetapan-penetapan lafadz bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafadz
musytarak sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Zahra.
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal yang
dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah
diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan
tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima
milimat ( nama uang di Mesir ).
Adapun yang menyebabkan kemusykilanterhadap lafadz
nash adalah karena lafadz itu musytarak, yaitu suatu lafadz nash yang
mengandung beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada
makna tertentu.
[1]Zaki
al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, hal 337
[2]Wahbah Zuhaili,
Ushul al-Fiqh al-Islami jil I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal 283
[3]Ibid hal
283
[4] Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, hal 157
[5] Ibid hal
256
[6] Ibid, Wahbah
Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jil I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986 ), hal 285
[7]Ibid, Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jil I
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1986 ), hal 285
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)
izin untuk mengcopy paste
BalasHapus