Senin, 06 Juni 2016

MAKALAH USHUL FIQH MUSYTARAK WA DILALATUHU



MAKALAH USHUL FIQH
MUSYTARAK WA DILALATUHU




PENULIS : AHMAD ADABY A.R


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Kata musytarak berasal dari kata syaraka kata yang bermakna berserikat, bersekutu, dan bercampur. Musytarak disini menurut DR. Zain bin Ali bin Mahdi Maharisy dalam kitabnya “shuwarul musytarak allafdzi fil qur’anil karim wa atsaruhu fil ma’na” adalah satu lafadz yang memliki banyak arti yang berbeda dan tidak ada hubungannya satu sama lain. Dari sini bisa dipahami bahwa musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata yang ada dalam al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara makna yang ada itu tidak ada hubungannya.
Apabila di dalam nash syara’ terdapat lafal yang musytarak ; jika musytarak itu terjadi antara arti secara bahasa dan istilah syara’, maka yang harus digunakan adlah makna syara’. Jika musytarak itu terjadi antara dua makna bahasa atau lebih, maka yang harus digunakan adalah makna salah satunya dengan suatu petunjuk yang dapat menentukannya, tidak boleh menggunakan kedua atau semua makna musytarak tersebut secara bersamaan.
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima milimat ( nama uang di Mesir ).
Para ulama ushul menyatakan, bahwa pengertian isytirak berbeda dengan pengertian asli. Dengan kata lain, suatu lafadz yang tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan kecenderungan infirad (satu pengertian), maka yang dominan dalam zhann ialah pengertian infirad, dan kecenderungan pengertian isytirak pun menjadi tidak kuat. Dengan kata lain, dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang lebih kuat. Karena itu, bila terdapat didalam Al-Qur’an suatu lafadz yang memiliki kecenderungan isytirak dan tidak, maka yang diperkuat adalah ketiadaan isytirak.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Musytarak Wa Dilalatuhu  ?
2.      Bagaimana Penyuguhan dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak  ?
3.      Bagaimana Dalalah Musytarak  ?

C.    Tujuan Masalah
1.      Agar dapat mengetahui Pengertian Musytarak Wa Dilalatuhu.
2.      Agar dapat mengetahui Penyuguhan dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak.
3.      Agar dapat mengetahui Dalalah Musytarak.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Musytarak Wa Dilalatuhu
Kata musytarak berasal dari kata syaraka kata yang bermakna berserikat, bersekutu, dan bercampur. Musytarak disini menurut DR. Zain bin Ali bin Mahdi Maharisy dalam kitabnya “shuwarul musytarak allafdzi fil qur’anil karim wa atsaruhu fil ma’na” adalah satu lafadz yang memiliki banyak arti yang berbeda dan tidak ada hubungannya satu sama lain. Dari sini bisa dipahami bahwa musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata yang ada dalam al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara makna yang ada itu tidak ada hubungannya.
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafadz Musytarak ini pada kelompok al-khash dan al-‘am yaitu dilihat dari segi penetapan-penetapan lafadz bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafadz musytarak sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Zahra[1] adalah:
اَلْمُشْتَرَكُ هُوَالَلفْظُ الَّذِى يَدُلُّ عَلَى مَعْنَيَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ بِوَ ضْعِ مُخْتَلِفِ
Artinya : “ Musytarak ialah suatu lafadz yang menunjukkan kepada pengertian ganda atau lebih  dengan penggunaan berbeda”.
Lafadz disebut isytirak disyaratkan dua hal, yaitu: terapat beberapa penerapan suatu lafadz dan juga terdapat beberapa pengertian dari lafadz, sehingga suatu lafadz diterapkan dua kali atau lebih untuk dua pengertian atau lebih[2].
Contohnya adalah lafadz mata, dimana memiliki pengertian bahasa yaitu mata yang melihat, mata air, mata-mata, matahari, mata uang dan yang lainnya. Akan tetapi ketika lafadz mata itu dilafadzkan, maka tidaklah dimaksudkan keseluruhan pengertian tersebut, akan tetapi yang dimaksud adalah salah satunya.[3]


B.     Penyuguhan dan Menganalisa contoh-contoh Musytarak
Apabila di dalam nash syara’ terdapat lafal yang musytarak ; jika musytarak itu terjadi antara arti secara bahasa dan istilah syara’, maka yang harus digunakan adlah makna syara’. Jika musytarak itu terjadi antara dua makna bahasa atau lebih, maka yang harus digunakan adalah makna salah satunya dengan suatu petunjuk yang dapat menentukannya, tidak boleh menggunakan kedua atau semua makna musytarak tersebut secara bersamaan.[4]
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima milimat ( nama uang di Mesir ).
Kemusytarakan itu dapat diterapkan pada makna yang bermacam-macam sebagaimana pembentukan lafal itu yang dibuat untuk makna yang bermacam-macam. Sedangkan keumuman itu dapat terealisir dengan petunjuk lafal atas tercakupnya semua satuan yang sesuai dengannya tanpa batas. Dan kekhususan itu terealisir dengan petunjuk lafal atas satu satuan atau beberapa  stuan yang terbatas yang sesuai dengannya dan tidak mencakup keseluruhan.
Jadi, lafal musytarak adalah lafal yang dibuat untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang bermacam-macam yang dapat menunjukkan kepada maknanya secara bergantian, artinya dapat menunjukkan arti ini atau itu. Seperti lafal al’ain yang secara bahasa dapat berarti mata untuk melihat, mata air, dan mata-mata, lafal al qur-u yang secara bahasa dibuat untuk makna suci dan haid, lafal as-sunnah (tahun) dan lafal al yad (tangan).
Sebab terjadinya lafal yang musytarak menurut bahasa itu banyak sekali. Yang paling penting di antaranya adalah perbedaan suku atau kabilah dalam menggunakan satu lafal untuk makna yang berbeda-beda. Sebagian suku mengartikan al yad untuk hasta secara keseluruhan, suku lain mengartikannya dengan lengan bawah sampai telapak tangan, sedangkan suku lainnya mengartikan dengan telapak tangan saja. Maka para ahli bahasa menetapkan bahwa al yad dalam bahasa arab adalah lafal yang musytarak antara tiga makna. Antara lain menetapkan lafal dengan cara memberi makna hakiki, kemudian digunakan makna selain makna dasarnya, yakni secara majazi, kemudian populer penggunaan lafal ini dengan makna majazi sampai terlupakan bahwa makna itu majazi, maka ulama bahasa menetapkan bahwa lafal ini bermakna ini dan itu.
Seperti lafal as-sayyaarah (mobil), ad darraajah (sepeda) dan lafal al masarrah (kesenangan). Antara lain lafal itu dibuat untuk satu makna, kemudian lafal itu dibentuk untuk makna dalam istilah syara’ atau undang-undang. Seperti lafal as shalaat (sembahyang) atau lafal ad daf’u (penolakan). Apapun sebab terjadinya kemusytarakan makna pada beberapa lafal menurut bahasa, maka lafal yang memiliki dua arti atau lebih tidak sedikit terdapat dalam bahasa, dan itu dalam nash syara’, baik Al Qur’an maupun hadist Rasul. Hal ini, sebagaimana yang telah di jelaskan di bab al Musykil, adalah selama masih dapat ditemukan alasan yang mengarah untuk memenangkan salah satu makna, dan wajib bagi mujtahid untuk menghilangkan kemusykilan dan menentukan makna yang dikandung lafal-lafal itu jikan terdapat dalam nash syara’.[5]

C.    Dalalah Musytarak
Para ulama ushul menyatakan, bahwa pengertian isytirak berbeda dengan pengertian asli. Dengan kata lain, suatu lafadz yang tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan kecenderungan infirad (satu pengertian), maka yang dominan dalam zhann ialah pengertian infirad, dan kecenderungan pengertian isytirak pun menjadi tidak kuat. Dengan kata lain, dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang lebih kuat. Karena itu, bila terdapat didalam Al-Qur’an suatu lafadz yang memiliki kecenderungan isytirak dan tidak, maka yang diperkuat adalah ketiadaan isytirak.[6]
Adapun yang menyebabkan kemusykilanterhadap lafadz nash adalah karena lafadz itu musytarak, yaitu suatu lafadz nash yang mengandung beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna tertentu.
Banyak perbedaan penafsiran yang terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami kata musytarak ini.Misalnya :
Dalam surat Al-Mudatsir : 51 mengenai arti “Qaswarah”
فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ
Dimaksud disini adalah “ orang yang melempar” tetapi bisa juga yang dimaksud adalah “singa” juga berarti “suara-suara orang” juga berarti gelapnya malam.
Seperti halnya yang disebutkan oleh At-Thabarani mengenai surat An-Nahl : 72
والله جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدة
Kata “Hafadah” memiliki banyak arti diantaranya adalah pembantu dan penolong, anak-anak bawaan istri dari suaminya dahulu, juga hubungan kekerabatan karena perkawinan, juga berarti cucu, semua ini termasuk dalam arti hafadah.

Bahkan musytarak ini juga terkait antara arti hakiki dan arti majaz, maka sangat diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai arti kata-kata yang ada dalam al-Qur’an ini sehingga kita mendapatkan pemahaman yang benar.
Sebagai contoh perbedaan arti hakiki dan majaz ini adalah kata “Bakhil” dalam surat An-Nisa’ : 37
اَلَّذِى يَبْخَلُوْنَ وَيَأمَرُوْنَ النَاسَ بِاالبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَا آتَاهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاَعْتَدْنَا لِلْكاَفِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا
Artinya : “Orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.
Dalam ayat ini makna “Bakhil” adalah bukan bakhil dalam harta benda, karena agama apapun, kepercayaan apapun, budaya apapun dahulu kala dan sekarang ini memandang sikap bakhil dalam harta merupakan perbuatan tercela.
Tetapi bakhil dalam ayat ini berarti majaz yakni “Bakhil” dalam ilmu, maksudnya adalah bahwa Allah telah memberitahukan akan adanya Nabi Terakhir yakni Nabi Muhammad SAW. Pemberitahuan ini sudah disampaikan oleh Allah dalam kitab-kitab mereka, tetapi mereka menyembunyikan informasi ini sehingga banyak orang tidak mengetahui, sebagaimana dipahami bahwa orang-orang sebelum islam mendominasi pemahaman kitab hanya oleh para pendeta dan rahib-rahib saja. Demikian yang dijelaskan oleh Ath-Tabarni dalam tafsirnya.[7]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
musytarak dalam al-qur’an adalah setiap kata yang ada dalam al-qur’an yang memiliki banyak makna yang beragam, dan antara makna yang ada itu tidak ada hubungannya.
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafadz Musytarak ini pada kelompok al-khash dan al-‘am yaitu dilihat dari segi penetapan-penetapan lafadz bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafadz musytarak sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Zahra.
Segi makna dari lafal musytarak yaitu lafal yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam, seperti lafal as sanah diartikan dengan Hijriyah dan Miladiyah (Masehi), lafal al yad diartikan dengan tangan kanan dan kiri dan lafal al Qursy yang diartikan dengan sepuluh dan lima milimat ( nama uang di Mesir ).
Adapun yang menyebabkan kemusykilanterhadap lafadz nash adalah karena lafadz itu musytarak, yaitu suatu lafadz nash yang mengandung beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna tertentu.














[1]Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, hal 337
[2]Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jil I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal 283
[3]Ibid hal 283
[4] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, hal 157
[5] Ibid hal 256
[6] Ibid, Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jil I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986 ), hal 285
[7]Ibid,  Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jil I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986 ), hal 285

2 komentar:

  1. untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
    thanks berat udah pada berkunjung kesini :)

    BalasHapus