Senin, 06 Juni 2016

MAQSHODUL AM MIN TASYRI’ (TUJUAN UMUM OEMBUATAN HUKUM)



JUDUL      : MAQSHODUL AM MIN TASYRI’ (TUJUAN UMUM OEMBUATAN HUKUM)
PENULIS : AHMAD ADABY A.R


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kaidah-kaidah pembentuk hukum Islam ini merujuk agar supaya merealisir kemaslahatan manusia dan menegakkan keadilan diantara manusia. Kaidah pertama : Tujuan Umum pembentukan hukum Islam. Bunyi kaidah ushuliyyah bahwa tujuan umum syari’ dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka. Kemaslahatan mansusia terdiri dari beberapa hal terpenuhi yaitu dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyyah. Salah satu contoh ialah keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia adalah tempat yang dapat melindungi dari terik panas matahari dan kedinginan
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apasih tujuan dari pembuatan hukum syara’ itu sendiri?
2.      Apa kebutuhan primer itu?
3.      Dan kebutuhan primer apa yang disyaratkan oleh islam?
4.      Apa kebutuhan sekunder itu?
5.      Dan kebutuhan sekunder apa yang disyaratkan oleh islam?
6.      Apa kebutuhan pelengkap itu?
7.      Dan kebutuhan pelengkap apa yang disyaratkan oleh islam?
8.      Bagaimana urutan hukum syara’ menurut tujuannya?
C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui tujuan dari pembuatan hukum syara’
2.      Mengetahui kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap
3.      Dan mengetahui urutan-urutan hukum syara’ menurut tujuannya


BAB II
PEMBAHASAN
MAQSHADUL AM MIN TASYRI’
(TUJUAN UMUM PEMBENTUKAN HUKUM SYARA’)
Kaidah-kaidah pembentuk hukum Islam ini merujuk agar supaya merealisir kemaslahatan manusia dan menegakkan keadilan diantara manusia. Kaidah pertama : Tujuan Umum pembentukan hukum Islam. Bunyi kaidah ushuliyyah bahwa tujuan umum syari’ dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka. Kemaslahatan mansusia terdiri dari beberapa hal terpenuhi yaitu dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyyah. Salah satu contoh ialah keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia adalah tempat yang dapat melindungi dari terik panas matahari dan kedinginan[1]
Secara umum pembentukan sistem syara’ adalah bertumpu pada tujuan untuk kemaslahatan manusia dengan memenuhi kebutuhan dharuriy, hajati maupun tahsini. Maka setiap hukum syatra’ tentulah tidak keluar dari salah satu tiga hal di atas, karena dari tiga hal inilah kemaslahatan manusia bisa tercapai.[2]
Yang menjadi tujuan umum bagi syari’ dari pembentukan hukum ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan dharuriyah (primer)nya, memenuhi kebutuhan hajjiyah (sekunder), serta kebutuhan tahsiniyyah (pelengkap)nya.
Setiap hukum syara’ tidak memiliki tujuan kecuali satu diantara tiga hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan manusia ini.
Kebutuhan pelengkap itu tidak diperhatikan jika perhatian kepadanya dapat merusak kebutuhan sekunder, dan kebutuhan pelengkap serta sekunder tidak diperhatikan jikaperhatian kepada salah satu dari keduanya dapat merusak kebutuhan primer. Kaidah pertama ini menjelaskan tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukum-hukum syara’, baik berupa hukum, taklifi (pembebanan) maupun hukum wadh’i (positif) dan menjelaskan tingkatan hukum berdasarkan tujuannya. Mengetahui tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukumnya adalah diantara hal penting untuk membantu memahami nash-nashnya dengan pemahaman yang benar dan menerapkannya terhadap kejadian, serta mengeluarkan hukum atas peristiwa yang tidak ada nashnya.
Karena petunjuk lafal dan ungkapan kalimat atas makna itu kadang mengandung beberapa tujuan, maka memenangkan salah satu tujuan itu adalah memperhatikan tujuan syari’. Karena sebagian nash itu kadang-kadang lahirnya terdapat kontradiksi, maka untuk menghilangkan kontradiksi dan memadukannya, atau memenangkan salah satunya adalah memperhatikan tujuan syari’. Karena banyak peristiwa yang terjadi dan kadang-kadang tidak tercakup dalam ungkapan nash, sedangkan perlu sekali mengetahui hukumnya dengan dalil syara’ yang manapun, maka petunjuk dari pengambilan dalilnya adalah mengetahui tujuan syari’.
Oleh karena itu penguasa hukum dalam pemerintah sekarang menggunakan lampiran catatan penjelas yang menjelaskan tujuan dari undang-undang secara umum dan menjelaskan tujuan khusus dari setiap pasal undang-undang tersebut. Catatan penjelasan, semua pembahasan dan perdebatan yang silih berganti ditengah persiapan undang-undang dan penetapannya adalah pertolongan penguasa hukum untuk memahami undang-undang, menerapkannyapada nash, jiwa hukum dan memahami logikanya.
Demikian juga hukum-hukum syara’ yang tidak dapat dipahami dengan cara yang benar kecuali jika tujuan umum syari’ dapat diketahui dari pembentukan hukum. Dapat diketahui bagian kejadian yang karena kejadian itu ayat Al-Qur’an diturunkan, atau datangnya hadis yang berbentuk ucapan maupun perbuatan.
Tujuan umum syara’ dari pembentukan hukum adalah yang dijelaskan dalam kaidah umum yang pertama. Sedangkan cuplikan kejadian yang menjadi sebab diundangkannya hukum syara’ adalah dijelaskan pada kitab-kitab tafsir, Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat Qur’an) dan hadis-hadis shahih.
Bunyi kaidah ushul itu adalah: “tujuan umum syari’ dari pembentukan hukum adalah membuktikan kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, memotivasi kebaikan bagi mereka dan menolak bahaya dari mereka.” Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terbentuk dari kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan pelengkap. Jika kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap itu telah terpenuhi, niscaya kemaslahatan manusia itu akan terwujud. Syari’ Islam membentuk hukum-hukum dalam bab perbuatan manusia yang bermacam-macam adalah untuk merealisir pokok-pokok kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap bagi perorangan maupun kelompok. Dia tidak membiarkan kebutuhan-kebutuhan itu tanpa mengundang hukum untuk merealisir dan menjaganya. Dia tidak menetapkan hukum kecuali untuk mewujudkan dan menjaga salah satu diantara tiga kebutuhan ini. Dia tidak menetapkan hukum kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dan dia tidak membiarkan kemaslahatan yang dituntut oleh kondisi manusia dengan tidak menetapkan hukum demi kemaslahatan itu.
Adapun bukti bahwa kemaslahatan manusia itu tidak lepas dari tiga hal di atas adalah naluri kenyataan, karena setiap kemaslahatan pribadi atau masyarakat terbentuk dari masalah primer, sekunder dan pelengkap. Misalnya, kebutuhan primer manusia akan rumah sebagai tempat berteduh dari terik matahari dan cekaman dingin, meskipun berbentuk goa di gunung. Kebutuhan sekundernya, hendaknya rumah itu memberi kenyamanan untuk ditempati, misalnya jendela yang bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan. Sedangkan kebutuhan pelengkapnya, hendaknya rumah itu dihias, diberi perabot dan sarana pristirahatan yang memadai. Jika rumah itu telah memenuhi kebutuhan tersebut, maka kemaslahatan manusia akan rumah itu akan terwujud.
Demikian pula halnya dengan makanan, pakayan dan semua yang menyangkut keperluan hidupnya, akan terwujud kemaslahatannya jika telah memenuhi tiga hal di atas. Dalam hal ini perorangan sama dengan kelompok masyarakat. Apabila hal-hal yang membeti jaminan akan terwujud dan terpeliharanya kebutuhan primer, sekunder dan pelengkap itu sudah terpenuhi bagi individu, maka berarti jaminan kemaslahatan bagi kelompok masyarakat itu akan terwujud pula.
Adapun bukti bahwa semua hukum islam itu diundangkan untuk merealisir dan menjaga satu diantara tiga hal tersebut adalah penelitian terhadap hukum-hukum islam yang global maupun yang terinci dalam peristiwa dan bab yang bermacam-macam. Juga penelitian tentang alasan hukum dan hikmah perundangan yang disertakan oleh syar’i pada banyak hukum.
Sebelum kita menengok contoh penelitian ini, kami jelaskan dulu maksud dari kebutuhan primer, sekunder, dan pelengkap menurut pengertian syara’.[3]
A.  Syari’at Terhadap Dharuriyatul Khams
Kebutuhan yang bersifat dharuriy ialah segala hal yang bersifat harus serta berhubungan dengan kehidupan manusia serta memenuhi kemaslahatannya, apabila kurang atau tidak ada maka kehidupan mereka akan terancam dan kemaslahatan mereka akan kurang, sehingga timbul kerusakan dan hal-hal berbahaya lainnya. Dharuriy dalam pengertian ini adalah meliputi lima hal yaitu: menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Kelima hal diatas harus terpenuhi demi kehidupan dan kemaslahatan manusia.
1.      Agama, agama islam yang dibawa oleh Nabi saw. Merupakan kumpula akidah, tata cara ibadah serta hukum-hukum yang tujuannya adalah sebagai undang-undang untuk manusia dan berfungsi sebagai pengatur hubungan antara manusia dengan rabbinya dan juga diantara sesamanya. Islam berusaha mewujudkan agama dengan mewajibkan kepada manusia untuk iman, islam juga membuat lima dasar islam yang dikenal dengan rukun islam.
2.      Jiwa, islam mewujudkan jiwa dengan menyari’atkan pernikahan guna menghasilkan keturunan sehingga roda kehidupan akan terus berjalan dengan sempurna dan baik. Guna menjaga dan melestarikan kehidupan maka islam mewajibkan untuk memenuhi kebutuhan jiwa, seperti makan, minum, pakayan, dan tempat tinggal, disamping itu islam juga membuat hukum qishash, denda dan kafarat kepada orang yang berusaha merusak dan membahayakan jiwa manusia, melarang manusia untuk menjeburkan dirinya kepada kematian dan kerusakan serta mewajibkan untuk menghindari hal-hal yang bisa membahayakan jiwa.
3.      Akal, untuk menjaga akal agar tetap berfungsi secara normal dan baik islam mengharamkan manusia meminum arak dan segala hal yang memabukkan serta memberikan hukuman kepada orang yang meminum ataupun memperoleh benda-benda sejenis yang lain.
4.      Kehormatan, demi menjaga kehormatan seorang manusia islam memberlakukan had bagi pezina baik laki-laki maupun perempuan dan juga had bagi orang yang menuduh (pencemaran nama baik).
5.      Harta, untuk menghasilkan harta islam menyari’atkan dan mewajibkan manusia untuk mencari rizki yang halal serta memperbolehkan muamalah dari mubadalah, tijarah, mudharabah dan lainnya.[4]
Kebutuhan dharuriyah (primer) adalah sesuatu yang menjadi pokok (keharusan) kebutuhan manusia untuk menegakkan kemaslahatan mereka. Jika tidak ada, maka rusaklah aturan hidup mereka, tak akan terwujud kemaslahatan dan akan marak kehancuran dan kerusakan diantara mereka. Kebutuhan primer bagi manusia, dengan pengertian ini, akan kembali pada lima hal: agama, jiwa, akal, harga diri dan harta benda. Menjaga lima hal ini adalah kebutuhan primer bagi manusia.[5]
Ø Kebutuhan primer yang di syaratkan oleh islam
Kebutuhan primer manusia, sebagaimana yang telah kami jelaskan kembali kepada lima perkara: agama, jiwa akal, harga diri, dan harta benda. Islam telah menetapkan hukum bagi masing-masing lima ini yang menjamin realisasi dan pemeliharaannya. Dengan dua macam hukum ini akan terbuktilah kebutuhan primer manusia.
Agama adalah kumpulan akidah, peribadatan, hukum dan undang-undang yang ditetapkan Allah Swt. Untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Demi terwujud dan tegaknya hal itu, islam mensyariatkan kewajiban beriman dan lima hukum dasar sebagai pondasi islam, yaitu: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah Swt. Dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa dibulan ramadhan dan haji kebaitullah. Juga akidah dan dasar-dasar ibadah yang sengaja disyariatkan oleh syari’ demi tegaknya agama dan menancapkannya dalam hati dengan mengikuti hukum-hukum sebagai satu-satunya sarana untuk kebaikan manusia sendiri. Islam juga menetapkan kewajiban berdakwah dan menjada dakwah itu agar tidak melampaui batas dan atas para pembawa dakwah serta orang-orang yang mengganggu jalannya dakwah.
Demi menjaga islam, menjamin kekayaannya, dan melindungi dari para musuhnya, islam menetapkan hukum-hukum jihad untuk memerangi orang yang mengganggu jalannya dakwah, orang yang menggoda umat islam untuk keluar dari agamanya, menghukum orang yang keluar dari islam, menghukum orang yang berbuat bit’ah dan membuat ajaran baru yang tidak bersumber dari islam atau membelokkan hukum dari tempatnya serta untuk melarang para mufti gila yang menghalalkan yang haram.
Jiwa, untuk mewujudkannya, islam mensyari’atkan pada wanita untuk beranak, berketurunan dan menjaga spesiesnya dengan cara yang sebaik-baiknya.
Demi menjaga dan menjamin kelangsungan hidup, islam mensyariatkan kewajiban untuk mendapatkan sesuatu yang dapat menegakkan jiwanya, berupa kebutuhan pokok akan makanan, minuman, pakayan dan tempat tinggal. Islam mewajibkan hukum qishash, denda, dan tebusan atas siapa saja yang melampaui batas terhadap jiwa. Islam juga mengharamkan membawa jiwa kepada kerusakan dan mewajibkan mempertahankan jiwa dari bahaya.
Untuk memelihara akal, islam mensyariatkan keharaman khamer dan semua yang memabukkan, menghukum orang yang meminumnya atau mendapatkan apa saja yang dapat merusak akal.
Demi menjaga harga diri, islam mensyariatkan hukuman bagi orang laki-laki dan wanita yang berzina dan hukuman bagi orang yang menuduh zina.
Harta, untuk memperoleh dan mendapatkannya, islam islam menetapkan kewajiban berusaha mencari rizki, memperolehkan muamalah dan barter, perdagangan dan berniaga dengan harta orang lain. Demi menjaga hal itu, islam mengharamkan pencurian, menghukum pencuri laki-laki dan perempuan, mengharamkan penipuan, penghianatan, dan memakan harta orang lain, menetapkan kewajiban mengganti bagi yang merusak milik orang lain, melarang orang bodoh dan pelupa (untuk bermuamalah), menolak bahaya dan mengharamkan riba.
Islam juga menjamin semua kebutuhan primer manusia dengan memperolehkan yang dilarang ketika dalam keadaan darurat.
Dari sini, jelaslah bahwa islam menetapkan hukum untuk persoalan macam-macam bentuk ibadah, muamalah, dan hukuman, tujuannya adalah demi terwujud, terpelihara dan terjaminnya kebutuhan primer manusia.
Tujuan ini telah ditunjukkan oleh sesuatu yang menyetai hukum-hukum ini, berupa alasan hukum dan hikmah penetapannya. Seperti firman Allah swt. Dalam kewajiban berjihad:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
Yang artinya: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (Qs. Al-Anfaal: 39)
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Artinya: “Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu” (Qs. Al-Baqarah: 179)
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ
Artinya: “supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa” (Al-Baqarah: 188)
Dan sabdah Rasulullah saw. Dalam alasan pelarangan jual beli buah sebelum jelas kualitasnya.
أَرَأَيْتَ اِذَا مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَ بِمَ يَأْ خُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ؟
Artinya: “taukah kamu (apa yang akan terjadi) jika Allah menahan buah itu, dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?
Dan alasan-alasan lain yang disengaja oleh syari’ demi menjaga agama, jiwa, harta benda dan kebutuhan primer manusia lainnya.[6]
B.  Hajjiyat
Kebutuhan yang bersifat hajati ialah: segala hal yang dibutuhkan oleh manusia demi kemudahan dan kelapangan serta menghindarkan dari masyaqoh dan kesulitan hidup. Apabila kebutuhan ini sampai tidak terpenuhi maka kehidupan mereka akan menjadi berat dan sulit. Hajati dalam pengertian ini menitik beratkan pada mengurangi atau menghilangkan bahaya, meringankan mereka dalam menjalani taklif serta memudahkan mereka dalam menjalani hidup dan kehidupan.[7]
Kebutuhan hajjiyat (sekunder) adalah kebutuhan manusia untuk mempermudah melapangkan, menanggulangi beban yang ditanggung dan kepayahan dalam kehidupan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka aturan hidup manusia tidak rusak dan tidak pula ramai kehancuran diantara mereka, sebagaimana jika kebutuhan primer tidak terpenuhi. Tetapi mereka akan mendapatkan kesusahan dan kesulitan. Kebutuhan sekunder manusia dengan pengertian ini kembali pada hilangnya kesulitan mereka dan keringanan bagi mereka untuk menanggung beban yang dipikulnya, sehingga mudah bagi mereka untuk melakukan berbagai macam pergaulan, tukar menukar dan menempuh jalan kehidupan.[8]
Ø Kebutuhan sekunder yang di syaratkan oleh islam
Kebutuhan sekunder manusia, sebagaimana yang telah kami jelaskan dimuka, adalah kembali kepada hilangnya kesulitan dari mereka, ringannya beban yang mereka pikul dan kemudahan mereka dalam kegiatan muamalah dan ibadah. Islam dalam kaitannya dengan kegiatan muamalah, iibadah dan hukuman itu menetapkan sejumlah hukum  yang bertujuan  menghilangkan kesullitan dan memudahkan uumat manusia.
Dalam hal ibadah, islam diteetapkan hukum rukhshah sebagai keringanan bagi mukallaf jika keberatan dalam melaksanakan hukum ‘azimah (hukum asal). Boleh berbuka di siang bulan Ramadhan bagi orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, mengqoshor shalat yang empat rakaat (menjadi dua rakaat) bagi musafir, shalat dengan duduk bagi orang yang tidak mampu berdiri, boleh bertayammum bagi orang yang tidak menemukan air, shalat diatas perahu (yang sedang berjalan) meskipun tidak menghadap kiblat, dan keringanan lain yang di syariatkan untuk menghilangkan kesulitan manusia dalam beribadah.
Dalam berbuamalah ditetapkan bermacam-macam akad dan pengelolaan untuk menutupi kebutuhan manusia. Seperti berbagai macam bentuk jual beli, sewa menyewa, kongsi (koperasi), bagi hasil dan berbagai keringanan dalam akad yang tidak terucapkan menurut kiyas dan menurut kaidah umum, seperti pesan memesan, jual beli wafaa dan pekerja industri, menggarap pertanian dan pengairan, dan akad lain yang berlaku menurut kebiasaan dan kebutuhan manusia. Disyaratkan hukum talak untuk mengakhiri hubungan suami istri ketika dibutuhkan, diperolehkannya berburu, bangkai binatang lautrizki yang baik (bergizi) dan dijadikannya alasan “kebutuhan” seperti alasan “darurat” dalam diperbolehkannya hal-hal yang dilarang.
Dalam hukuman, disyaratka hukum benda bagi orang yang wajib membayarnya sebagai keringanan atas pembunuhan secara tidak sengaja. Islam juga menolak hukum had sebab alasan yang belum jelas. Menetapkan hak bagi wali orang yang terbunuh untuk mengampuni pelaksanaan hukum qishash terhadap pembunuh.
Tujuan syari’ dalam menetapkan hukum-hukum yang berupa keringanan dan menghilangkan kesulitan itu ditunjukkan oleh alasan hukum dan hikmah penetapan hukum yang menyertai. Seperti firman Allah swt:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu” (Qs. Al-Maidah: 6)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “dan dia (Allah) sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Qs. Al-Hajj: 78)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu” (Qs. Al-Baqarah: 185)
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (Qs. Al-Nisaa: 28)
Dan Rasulullah saw bersabdah:
يُعِثْتُ بِالْحَنِيْفَةِ السَّمْحَةِ
Artinya: “saya diutus dengan (membawa) agama yang lurus dan ringan.[9]
C.  Tahsiyat
Kebutuhan yang bersifat tahsini ialah hal yang berhubungan dengan kehormatan, tatakrama serta bagaimana menjalani kehidupan dengan lurus dan benar. Memang hal ini tidak berimbas pada kelangsungan hidup dan tidak menimbulkan mafasid, akan tetapi hal ini menjadikan kehidupan mereka menjadi tidak sedap dan membuat suatu imeg negative. Tahsini dalam pengertian ini mengacu pada pembentukan akhlaq yang baik, adat atau kebiasaan yang baik serta segala hal yang bisa membuat kehidupan menjadi benar dan lurus sesuai syari’at.[10] 
Kebutuhan tahsiyat (tersiyer/ pelengkap) adalah kebutuhan yang dituntut oleh harga diri, normal dan tatanan hidup berperilaku lurus. Jika tidak terpenuhi, maka aturan hidup manusia tidak rusak seperti jika kebutuhan primer tidak terpenuhi. Mereka tidak pula mendapatkan kesulitan seperti jika kebutuhan sekunder tidak terpenuhi. Tetapi kehidupan mereka akan terasing menurut pemikiran yang logis dan akal sehat. Kebutuhan pelengkap bagi manusia dengan pengertian ini kembali kepada akhlak yang mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan peri kehidupan menurut jalan yang paling baik.[11]
Ø Kebutuhan pelengkap yang di syaratkan oleh islam
Kebutuhan pelengkap manusia, sebagaimana telah kami jelaskan di muka adalah kembali kepada segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan manusia, dapat menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri dan kemuliaan akhlak. Islam telah menetapkan berbagai hukum tentang ibadah, muamalah, dan hukuman yang bertujuan untuk perbaikan, keindahan serta tradisi mereka menjadi lebih baik dan paling tegak.
Dalam hal ibadah, islam menetapkan kebersihan badan, pakaiyan, tempat, menutup aurat, menjaga dari najis, membersihkan dari kencing, sunnah mengambil perhiasan ketika masuk masjid, berbuat baik dengan bersedekah, shalat dan puasa, serta segala bentuk ibadah yang ditetapkan beserta rukun, syarat dan tatakramanya. Semuanya itu kembali kepada membiasakan manusia ke dalam kebiasaan yang lebih baik.
Dalam hal muamalah, hram melakukan penipuan, memperdaya dan pemalsuan, boros dan terlalu kikir terhadap diri sendiri. Haram menggunakan sesuatu yang najis dan berbahaya. Melarang jual beli yang telah di tawar orang lain, menghadang pedagang sebelum masuk lokasi perdagangan, menaikkan harga (di atas standar), dan muamalah lain yang menjadikan manusia berada pada jalan yang paling baik.
Dalam hal hukuman, dalam melakukan jihad diharamkan membunuh para rahib, anak-anak dan wanita. Dilarang melakukan penyiksaan, berkhianat, membunuh orang yang tidak bersenjata, dan membakar orang hidup atau sudah mati. Dalam hal akhal dan keutamaan amal, islam menetapkan hal-hal yang dapat mendidik individu dan masyarakat serta dapat menuntun manusia untuk berjalan di jalan yang lebih lurus.
Allah swt telah menunjukkan maksudnya terhadap kebaikan dan keindahan ini dengan alasan dan hikmah penetapan hukum yang menyertai sebagian hukumnya. Seperti firman Allah swt:
وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
Artinya: “tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu.” (Qs. Al-Maidah: 6)
اِنَّمَا بُعِثْتُ لَاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia
اِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ اِلَّا طَيِّبًا
Artinya: “sesungguhnya Allah swt. Itu maha baik, dia tidak menerima kecuali yang baik”.
Dari hasil penelitian terhadap hukum-hukum syara’, alasan dan hikmah pengundangannya dalam masalah dan kejadian yang bermacam-macam, dapat diambil kesimpulan bahwa syar’i tidak menghendaki penetapan hukum itu kecuali menjaga kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan pelengkap manusia. Inilah kemaslahatan bagi mereka.
Imam Abu Ishak As Syathibi telah menjelaskan dalam permualaan juz kedua dari kitabnya, Al-Muwafaqaat, dalam kekuatan penjelasan tersebut dengan tidak menambah keterangan lain. Setelah beliau menyebutkan beberapa contoh hukum syara’ dan hikmahnya yang menunjukkan bahwa semua hukum syara’ tidak dimaksudkan kecuali satu diantara tiga hal yang dapat menciptakan kemaslahatan pada manusia, dia berkata: “dari lafal yang dhahir, umum, mutlak dan terbatas, serta juz (bagian) tertentu dari bermacam-macam barang, dan kejadian yang berbeda dalam masalah fikih sekaligus salah satu hal diantara pembahasannya, dapat diambil kesimpulan bahwa pembentukan hukum itu tidak selalu berkisar antara menjaga tiga hal di atas, yang merupaka dasar kemaslahatan manusia.”
Hikmah syari’ islam dan keinginannya untuk menjaga tiga hal tersebut dengan cara yang sempurna, menuntut agar ditetapkan beserta hukum yang menjaga tiga hal itu, hukum yang dapat menyempurnakannya dalam merealisir tujuan-tujuan itu.
Dalam kebutuhan primer, ketika syari’ menetapkan kewajiban shalat demi menjaga agama, maka ditetapkan pula pelaksanaannya secara berjamaah dan diumumkan dengan azhan untuk menegakkan agama dan menjaganya secara lebih sempurna dengan menampakkan syiarnya dan dilakukan secara berkelompok.
Ketika hukum qishash ditetapkan untuk memelihara jiwa manusia, maka di tetapkan pula “kesamaan” agar sampai kepada tujuan qishash tanpa menimbulkan permusuhan dan kebencian. Karena pembunuhan yang dilakukan oleh pembunuh pada satu gambaran dapat lebih keji dari apa yang telah terjadi, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah dan rusaknya tujuan qishash itu sendiri.
Ketika zina diharamkan karena menjaga harga diri, maka di haramkan pula menyendiri dengan wanita yang bukan muhrimnya untuk menutup jalan perzinaan. Ketika minum khamer diharamkan untuk memelihara akal, maka diharamkan pula minum sedikit saja meskipun tidak sampai mabuk. Ditetapkan pula kaidah: kewajiban yang tidak sempurna tanpa suatu hal, maka suatu hal itu dihukumi wajib, dan sesuatu yang dapat mengarah kepada yang dilarang maka sesuatu itu juga dilarang. Islam banyak mengingatkan hal-hal yang mudah, membatasi yang mutlak, dan mentakhsish hal-hal yang umum demi menutup kemungkinan yang bakal terjadi. Ketika perkawinan itu di syariatkan untuk beranak dan berketurunan, maka disyaratkan adanya keseimbangan antara suami istri demi keselarasan dan hubungan keluarga yang harmonis. Jadi, hukum yang disyariatkan untuk menjaga kebutuhan primer manusia, di sempurnakan dengan menetapkan hukum yang dapat merealisir tujuan itu dengan cara yang sempurna.
Dalam kebutuhan sekunder, ketika disyariatkan berbagai bentuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, koperasi dan bagi hasil, maka bdisempurnakan dengan larangan melakukan penipuan, pemalsuan, dan jual beli barang yang tidak ada (ditempat akad). Dijelaskan hal-hal seperti syarat, yang dapat menjadikan sah atau tidaknya akad, dan hal-hal lain yang menjadikan muamalah itu dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa menimbulkan pertengkaran dan kedengkiyan.
Dalam kebutuhan pelengkap, ketika disyaratkan hukum bersuci, disunnahkan pula hal-hal yang dapat menyempurnakan hukum itu. Ketika ditetapkan hukum sunnah,  maka dijadikan pula ketentuan yang wajib dilakukan dalam kesunnahan itu, agar mukallaf tidak terbiasa membatalkan perbuatannya sebelum sempurna. Ketika disunnahkan berinfak (bersedekah) maka disunnahkan agar yang disedekahkan itu dari hasil kerja yang halal. Barang siapa mau memperdalam penelitiannya terhadap hukum-hukum syariat islam, maka akan jelas bagi dia bahwa tujuan dari semua hukum syariat itu adalah menjaga kebutuhan primer, sekunder, tersier atau menyempurnakan pemeliharaan kepada salah satu tiga kepentingan tersebut.[12]
D.  Tertib Hukum Syarat Menurut Tujuan
Dari apa yang telah kami jelaskan dimuka mengenai pengertian dharury (primer), hajjiy (sekunder), dan tahsiiniy (pelengkap) maka jelaslah bahwa dharuriy (kebutuhan primer) adalah tujuan paling utama, karena tanpanya, aturan hidup menjadi cacat, banyak timbul kerusakan diantara manusia dan kemaslahatan jadi tersia-siakan. Urutan kedua adalah haajiy (kebutuhan sekunder) karena tanpa dia manusia akan mengalami kesempitan, kesulitan, dan beban berat yang harus dipikulnya. Berikutnya adalah tahsiiniy (kebutuhan pelengkap), karena meskipun tanpa dia aturan hidup manusia itu tidak rusak dan tidak pula ditimpa kesulitan, tetapi manusia akan keluar dari tuntutan menjadi manusia sempurna dan bermartabat serta yang di anggap baik menurut akal sehat.
Atas dasar ini, maka hukum syara’ yang diundangkan demi menjaga kebutuhan primer adalah hukum yang paling penting dan lebih berhak untuk diperhatikan, menyusul kemudian hukum yang diundangkan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, dan hukum yang di undangkan untuk mempercantik dan menghiasi kehidupan manusia. Adapun hukum yang diundangkan untuk keindahan ini dianggap sebagai penyempurna bagi hukum yang diundang untuk kebutuhan sekunder. Sedangkang hukum yang di undang untuk kebutuhan sekunder dianggap sebagai penyempurna bagi hukum yang diundangkan untuk menjaga kebutuhan primer.
Hukum tentang kebutuhan pelengkap tidak boleh dijaga jika dalam penjagaannya dapat merusak hukum tentang kebutuhan primer dan sekunder. Karena penyempurna tidak perlu dijaga jika dapat merusak kepada yang disempurnakan. Oleh karena itu:
1.      Diperbolehkan membuka aurat jika dituntut dalam pengobatan atau penyembuhan luka, karena menutup aurat adalah perbuatan tahsiiniy sedangkan pengobatan adalah dharuriy.
2.      Diperolehkan menggunakan barang najis jika berupa obat atau dalam keadaan terpaksa, karena menjaga najis adalah tahsiiniy sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharuriy.
3.      Diperbolehkan akad pada barang yang tidak ada, seperti dalam salam (pesanan) dan pekerja industri, diperbolehkan akad yang tidak jelas, dalam muzaara’ah (menggarap tanah pertanian), pengairan dan jual beli barang yang tidak ada, karena dituntut oleh kebutuhan manusia untuk mengindahkan kebutuhan-kebutuhan ini.
Hukum haajiy (kebutuhan sekunder) tidak boleh dijaga jika dapat merusak kepada hukum dharuriy (kebutuhan primer). Oleh karena itu, melaksanakan fardhu dan wajib adalah keharusan bagi mukallaf yang tidak dalam keadaan diperbolehkan melaksanakan rukhshah, meskipun beban yang mereka tanggung sangat berat. Karena semua pembebanan mesti mengandung beban dan payah. Maka, seandainya diperhatikan agar mukallaf tidak tertimpa kesulitan apapun, maka banyak sekali hukum dharuriy yang sia-sia, seperti ibadah, hukuman dan lain-lain. Karena dalam mematuhi semua yang diperintahkan atau tidak boleh dilakukan mukallaf tidak lepas dari kesulitan. Tetapi menanggung beban kesulitan ini adalah dalam upaya menjaga kebutuhan primer manusia.
Adapun hukum dharuriy itu wajib dijaga. Tidak boleh merusak salah satu hukumnya kecuali jika dalam penjagaannya dapat merusak kepada hukum dharuriy yang lebih utama. Oleh karena itu:
1.      Wajib berjihad untuk mempertahankan agama, meskipun terjadi pengorbanan jiwa, karena mempertahankan agama lebih penting dari pada mengorbankan jiwa.
2.      Boleh minum khamer jika dipaksa meminumnya (dengan ancaman) dibunuh, dipotong anggota tubuhnya, atau terpaksa karena sangat haus, karena menjaga jiwa lebih penting dari pada menjaga akal.
3.      Jika dipaksa merusak harta orang lain, maka boleh menjaga diri dari kematian meskipun dengan mengorbankan harta orang lain.
Hukum-hukum ini menyia-nyiakan hukum dharuriy karena menjaga hukum dharuriy yang lebih penting.
Sudah dibuktikan bahwa tujuan syari’ dalam menetapkan hukumnya tidak lepas dari penjagaan pada salah satu dari tiga hal itu, atau dari hal yang dapat menyempurnakannya. Dan tujuan-tujuan itu dalam penjagaannya bertingkat sesuai dengan prioritasnya. Berdasarkan urutan prioritas ini ditetapkan hukum yang dapat merealisir tujuan-tujuan tersebut.
Dari kaidah dasar hukum syara’ yang pertama ini, diletakkan dasar hukum syara’ yang khusus untuk menolak bahaya dan dasar hukum syara’ yang khusus menghilangkan kesulitan. Dari setiap dasar hukum ini bermunculan beberapa cabang dan dapat dikeluarkan beberapa hukum.
Berikut adalah dasar hukum syara’ yang khusus untuk menolak bahaya dan contoh cabang yang timbul dari setiap dasar hukum itu:
1.                         الضَّرَرُ يُزَالُ شَرْعًا
bahaya itu menurut syara’ harus dilenyapkan”. Diantara cabangnya: ketetapan hak syuf’ah (menutup harga) bagi pemilik bersama atau tetangga, ketetapan hak khiyar (memilih) bagi pembeli dalam mengembalikan barang sebab cacat dan hak khiyar yang lain, menutup sebagian harga jika sekutu tidak mau menutup harga, keharusan menjaga diri dan berobat jika sakit, wajib membunuh binatang buas yang berbahaya, wajib melaksanakan hukum had, ta’zir dan denda atas orang yang melalukan tindak pidana.
2.                           الضَّرَرُ لاَيُزَالُ بِالضَّرَرِ
bahaya tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya” cabang-cabangnya diantara lain: tidak boleh bagi seseorang untuk mempertahankan tanahnya agar tidak tergenang air dengan menggenangi tanah orang lain, orang yang kelaparan tidak boleh mengambil makanan orang lain yang juga kelaparan.
3.                           يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ العَامْ
bahaya yang bersekala kecil ditangguhkan demi menolak bahaya yang berskala  besar.” Cabang-cabangnya diantara lain: seorang pembunuh dibunuh demi menjaga jiwa manusia yang lain, tangan pencuri dipotong demi menjaga harta manusia, merobohkan tembok yang sudah hampir roboh dijalan umum, memenjarakan seorang mufti yang gila, seorang dokter yang bodoh, dan penyewa yang pailit, menjual harta seorang kreditur secara paksa jika ia tidak mau menjual dan membayar hutangnya, menaikkan harga barang kebutuhan sekunder jika pemiliknya menaikkan harga barangnya, menjual makanan secara paksa jika pemiliknya menimbunnya sedangkan manusia membutuhkannya dan ia tidak mau menjualnya, kios tukan besi dilarang berada diantara para pedagang kain.
4.                         يُرْ تَكَبُ أَخَفُّ الضَرَرَيْنِ لاتِقَاءِ أَشَدِّهِمَا
melaksanakan bahaya yang lebih ringan demi terhindar dari bahaya yang lebih berat.” Diantara cabangnya: menahan seorang suami jika menunda-nunda pemberian nafkah kepada istri, menahan seorang kerabat jika tidak memberi nafkah kepada kerabat (yang menjadi tanggungannya). Seorang istri ditalak karena berbahaya dan kesulitan ekonomi, jika seorang yang sakit terpaksa makan bangkai atau harta orang lain, ia boleh mengambilnya, jika orang yang hendak solat itu tidak mampu bersuci, menutup aurat dan menghadap kiblat, maka ia boleh shalat sesuai kemampuannya, karna meninggalkan syarat-syarat ini lebih ringan dari pada meninggalkan shalat.
5.                         دَفْعُ الْمَضَارِّ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَنَافِعِ 
menolak bahaya harus dilakukan dari pada menarik manfaat.” Oleh karena itu dalam sebuah hadis dikatakan yang artinya: “sesungguhnya yng telah aku larang maka jauhilan dan sesuatu yang aku perintah maka laksanakan semampu kalian.” Diantara cabangnya adalah: pemilik harta dilarang membelanjakan hartanya jika pembelanjaan itu membahayakan orang lain, orang yang berpuasa dilarang berkumur atau menghirup air kehidung secara berlebihan.
6.                         الضَّرُورَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
keadaan darurat itu menjadikan boleh melakukan yang dilarang.” Diantara cabangnya: orang yang terpaksa karena kelaparan memakan bangkai, darah atau barang yang diharamkan maka ia tidak berdosa memakannya, Orang yang tidak mampu mempertahankan diri kecuali dengan membahayakan orang lain, maka ia boleh mempertahankan diri dengan membahayakan orang lain: orang yang tidak mau membayar hutang, maka boleh mengambil hartanya untuk membayar hutang tanpa seizinnya.
7.                         الضَّرُورَةُ تُقَدِّرُ بِقَدَرِهَا
darurat itu diukur menurut ukurannya.” Diantara cabangnya: orang yang terpaksa memakan barang yang diharamkan, tidak boleh memakannya kecuali sekedar menghindari kerusakan (sudah tidak dianggap terpaksa) , najis itu tidak di ma’fu kecuali sekedar tidak mampu menghindarinya, hukum rukhshah menjadi batal jika sebabnya hilang, tayammum menjadi batal jika mudah bersuci dengan air, berbuka disiang hari bulan Ramadhan diharamkan jika seorang musafir yang sehat sudah bermukim lagi, dan semua yang diperbolehkan karena uzur, menjadi batal jika uzur itu tidak ada.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai dasar-dasar yang khusus menghilangkan kesulitan, sekaligus contoh cabang dari dasar-dasar itu:
1.                         الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرَ
kesulitan itu mendatangkan kemudahan.” Diantara cabangnya: semua hukum rukhshah yang disyariatkan oleh Allah swt. Untuk kesenangan dan keringanan mukallaf karena ada sebab yang menuntut keringanan itu. Sebab-sebab ini menurut penelitian ada tujuh:
a.       Bepergian, karena bepergian maka boleh berbuka dibulan Ramadhan, mengqashar shalat yang empat rakaat (menjadi dua rakaat), gugurnya kewajiban shalat jum’at, berjamaah dan diperbolehkannya tayammum.
b.      Sakit, karena sakit maka boleh berpuka dibulan Ramadhan, tayammum, shalat dengan duduk dan memakan yang haram sebagai obat.
c.       Terpaksa, karena terpaksa maka boleh bagi orang yang dipaksa untuk mengucapkan kata-kata kafir, meninggalkan kewajiban, merusak barang orang lain, memakan bangkai dan meminum khamer.
d.      Lupa, karena lupa maka dihapuslah dosa itu bagi orang yang melakukan maksiat, puasa tidak batal sebab makan dan minum disiang hari bulan Ramadhan karena lupa, binatang yang disembelih karena tidak menyebut nama Allah swt itu tidak haram karena lupa menyebutnya.
e.       Tidak tahu, karena tidak tahu maka boleh mengembalikan benda yang dijual sebab ada cacat karena pembeli tidak tahu barangnya. Boleh merusak nikah sebab ada cacat bagi orang yang tidak tahu adanya cacat, bertentangan dalam pengakuan nasab dimaafkan karena tidak tahu, begitu juga dimaafkan bertentangan bagi ahli waris, penerima wasiat dan pemelihara wakaf karena tidak tahu.
f.       Gangguan umum, karena gangguan yang umum maka dimaafkan percikan najis dari tanah jalan raya atau yang lain karena sulit menghindarinya, sedikit penipuan dalam penukaran barang juga dimaafkan.
g.      Kurang, karena kekurangan maka pembebanan kepada anak kecil dan orang gila itu dihapuskan, penghapusan sebagian kewajiban bagi para budak dan wanita, sehingga mereka tidak wajib shalat jum’at, berjamaah dan berjihad.
2.                         الْحَرَجُ شَرْعًا مَرْفُعٌ
kesulitan itu menurut syara’ dapat dihingkan.” Diantara cabangnya: menerima kesaksian satu orang wanita dalam hal yang tidak boleh dilihat oleh kaum laki-laki, seperti cacat perempuan dan keadaannya, cukup dengan dugaan yang kuat, tidak perlu kemantapan dan keyakinan, dalam menghadap kiblat, kebersihan tempat, air, putusan hukum dan kesaksian. Dan termasuk cabangnya adalah ketetapan para ulama bahwa jika sesuatu itu sempit, maka menjadi longgar.
3.                         اَلحَاجَاتُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةً الضَّرُورَاتِ فِى اِبَاحَةِ الْمَحْظُوْراتِ
kebutuhan itu menempati kedudukan darurat dalam kebolehan memperoleh sesuatu yang haram.” Diantara cabangnya: keringanan dalam akad pesanan, jual beli secara waafa, pekerja industri, jaminan susulan, boleh meminjam dengan bunga bagi orang yang membutuhkan, dan akad lain serta pengelolaan atas sesuatu yang tidak diketahui atau tidak ada tetapi dituntut oleh kebutuhan.
Diantara hal-hal yang timbul dari kaidah ini adalah hukum-hukum seperti akad muamalah, membentuk koperasi yang terjadi dikalangan manusia dan dituntut oleh kebutuhan dalam perniagaan mereka. Sesungguhnya, jika terdapat bukti yang shahih dan penelitian yang sempurna menunjukkan bahwa bentuk akad ini diharamkan atas mereka, maka akad ini diperbolehkan bagi mereka sekedar dapat menghilangkan kesulitan, meskipun hal itu dilarang karena mengandung riba dan ketidak jelasan. Hal ini didasarkan pada kebutuhan itu membolehkan yang dilarang seperti darurat dan ukurannya pun seperti darurat.
Pengarang kitab “Ashbah wan Nazhaa’ir” berkata: termasuk diantaranya adalah memberi fatwa tentang sahnya jual beli secara wafaa ketika utang piutang melanda msyarakat bukhara, dan begitu juga dimesir. Mereka memberi istilah dengan jual beli amanah. Dalam hal benda yang dimiliki dan dicari, maka bagi orang yang membutuhkan boleh meminjam dengan bunga[13]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara umum pembentukan sistem syara’ adalah bertumpu pada tujuan untuk kemaslahatan manusia dengan memenuhi kebutuhan dharuriy, hajati maupun tahsini. Maka setiap hukum syatra’ tentulah tidak keluar dari salah satu tiga hal di atas, karena dari tiga hal inilah kemaslahatan manusia bisa tercapai
Yang menjadi tujuan umum bagi syari’ dari pembentukan hukum ialah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan dharuriyah (primer)nya, memenuhi kebutuhan hajjiyah (sekunder), serta kebutuhan tahsiniyyah (pelengkap)nya.
Setiap hukum syara’ tidak memiliki tujuan kecuali satu diantara tiga hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan manusia ini


[1] http://jalanbaru92.blogspot.com/2012/01/kaidah-fiqhiyyah.html
[2] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[3] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih, (Jakarta: Darul Qalam, Kuwait, 2003) hlm: 291-294
[4] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[5] Ibid, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 294
[6] Ibid, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 295-297
[7] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[8] Ibid, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 294
[9] Ibid, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 297-299
[10] http://kasroni.blogspot.com/2009/07/ushul-fiqh.html
[11] Ibid, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 294-295
[12] Ibid, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm:299-302
[13] Ibid, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, ilmu ushul fikih... hlm: 302-309

1 komentar:

  1. untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
    thanks berat udah pada berkunjung kesini :)

    BalasHapus