Senin, 06 Juni 2016

METODE PENGAMBILAN MAKNA NASH (THORIQOTUT DULALATUN NASH)



METODE PENGAMBILAN MAKNA NASH
(THORIQOTUT DULALATUN NASH) 



PENULIS : AHMAD ADABY A.R
NIM          :                130721100061






KATA PENGANTAR
AsalamualaikumWrWb…………….
Pujisyukur  Alhamdulillah senantiasa Kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-NYA, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dan sebagai pembelajaran.
Kami berusaha untuk membuat Makalah ini sesempurna mungkin, namun Kami juga menyadri dalam makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran sangat diharapkan.
            Ahirnya, Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita atau para pembaca sekalian
WasalamualaikumWrWb………


Daftar Isi

Kata pengantar.................................................................................... 1
Daftar  isi............................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang................................................................................... 3
B.     Rumusan masalah............................................................................. 3
C.     Tujuan .............................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Dilalah............................................................................. 5
B.     Metode Pengambilan makna nash.................................................... 5
C.     Tingkatan dilalah dari segi kuat dan lemahnya …………..……......13

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................ 16
B.     Saran.................................................................................................. 16
Daftar Pustaka.................................................................................... 17




                                                                                    Bangkalan, 03, 03, 2015

                                                                                    Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan Assunah merupakan sumber hukum islam yang menggunakan bahasa arab. Jika ingin memahami dan mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut maka harus mengetahui seluk beluk bahasa arab dan harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). 
Dalam memahami petunjuk nash, bukan hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu, dan mencari ilat yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertianya menjadi rasional. Jalan tersebut oleh ahli ushul fiqih dinamai dilalat al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat al-nass, dan dilalat al-iqtida.
. Dalam makalah ini membahas Thoriqotut dilalatun nash (methode pengambilan makna nash).

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimakasud dilalah ?
2.      Ada berapa metode pengambilan makna nash (Thoriqotut dilalatun nash ) ?
3.      Bagaimana tingkatan dilalah jika dilihat dari segi kuat dan lemahnya?

C. Tujuan
1.      Mengetahui devinisi dilalah
2.      Memahami metode pengambilan makna nash (Thoriqotut dilalatun nash ).
3.      Mengetahui dan memahami tingkatan dilalah dari segi kuat dan lemahnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dilalah
Nash adalah raf’u atau munculnya segala sesuatu yang tampak, nash juga sering disebut dengan munashahat[1] sedangkan Dalalah adalah suatu petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Adapun pengertian yang lain Dalalah (الدلالة) itu sendiri menurut bahasa adalah maksud tertentu. Dan dalam ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah hubungan antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh. [2]
Contoh : الصلاة (sholat). ini namanya al-dal. dan madlulnya adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan yang diakhiri dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka penunjukan ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam namanya Dalalah.
B.  Metode Pengambilan Makna Nash
Dalam khazanah literatur ushul fiqh aliran Hanafiyah, disebutkan bahwa dilalat al-alfaz dibedakan menjadi empat maca, yaitu  dilalat al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat al-nass, dan dilalat al-iqtida’. Menurut mereka pula, Alquran atau hadis dapat menjadi suatu hukum bisa dengan media lafal dan adakalanya tidak dengan media lafal.
Dalam penunjukan nash dengan media lafal, terdapat dua kemungkinan yaitu hukum yang ditunjukan memang dikehendaki oleh konteks nash (siyaq al-nash) atau hukum yang ditunjukan tidak dikehendaki oleh konteks nash. Penunjukan terhadap hukum yang dikehendaki oleh konteks nash tersebut dinamakan dilalat al-ibarah atau ibarat ala-nass; sedang penunjukan terhadap hukum yang tidak dikehendaki oleh konteks nash disebut dilalat al-isyarah atau isyarat al-nass. Selanjutnya, penunjukan nash yang tidak melalui media lafal juga terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, hukum yang ditunjukan dapat disimpulkan dari lafal berdasarkan logika kebahasaan; dan penunjukan ini dinamakan dilalat al-dilalah atau dilalah al-nash. Kemungkinan kedua, hukum yang ditunjukan dapat disimpulkan dari lafal bedasarkan logika yuridis atau logika rasionalitas; dan penunjukannya ini disebut dilalat al-iqtida’ atau iqtida’ al-nass.[3] Untuk lebih jelas lagi kami uraikan sebagai berikut:
1.Ungkapan Nash (dilalat al-ibarah)
Yang dimaksud ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan kalimat. Yang dimaksud dengan pemahaman dari ungkapan nash adalah arti yang langsung dapat dipahami dari bentuk, dan itulah maksud dari redaksi nash. Jika makna jelas dapat dipahami dari bentuk nash, sedangkan nash itu disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka itu adalah madlul (yang ditunjukkan) oleh ungkapan nash, dan disebut juga makna harfiyah (menurut kata-kata) nash.  Jadi Dilalah ibarah merupakan  petunjuk dari bentuk kata yang langsung dapat dipahami makna yang dimaksud dari redaksi itu; baik maksud redaksi itu menurut aslinya maupun konsekuensinya[4] bisa juga diartkan Ma’na yang difahami dari lafazh, baik lafazh tersebut berupa zhahir maupun nash, muhkam maupun tidak. [5] seperti firman Allah yang berbunyi:
Contoh lain seperti firman Allah Swt :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya :
Padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-baqarah: 275)
Bentuk nash ini menunjukkan dalalah yang jelas kepada dua makna yang masing-masing merupakan maksud dari redaksinya; pertama, bahwa jual beli tidak seperti riba, kedua, hukum jual beli adalah halal, sedangkan riba adalah haram. Keduanya merupakan makna yang dipahami dari ungkapan nash dan tujuan dari redaksi nash. Hanya saja makna pertama adalah maksud asli dari redaksi, karena ayat tersebut disusun untuk membantah orang-orang yang mengatakan: sesungguhnya jual beli adalah seperti riba. Sedangkan makna kedua adalah maksud konsekuensi dari dari redaksi, karna menghilangkan kesamaan adalah menjelaskan kedua hukum jual beli dan riba sampai ditemukan perbedaan hukum bahwa keduanya tidak sama. Seandainya orang meringkas arti yang dimaksud dari redaksi asal nash itu, dia akan berkata “ Tidaklah jual beli itu seperti riba.[6]
Allah Swt. Berfirman:
وإن خفثم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحواما ظاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع  فاء ن خفتم  ألاتعد لوا فواحدة.(النساء:3)
Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)           perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, empat kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang orang saja.(QS. An-nisaa’:3)
Dari nash ini dapat di tarik tiga makna: boleh menikahi perempuan yang baik, membatasi jumlah maksimal empat orang istri, dan kewajiban untuk beristri seorang saja jika kawatir berbuat aniaya karena banyak istri. Ketiga makna itu dengan jelas telah ditunjjukkan oleh kata-kata nash dan dimaksudkan oleh susunan katanya. Hanya saja, pengertian pertama adalah maksud konsekuensi nash dan pengertian kedua dan ketga adalah maksud assli dari nash, karna ayat itu disusun sesuai dengan kondisi para penerima wasiat agar membatasi diri; yaitu orang-orang yang enggan menerima wasiat karena takut berbuat aniaya dalam mengelolah harta anak yatim. Maka allah Swt. Mengingatkan mereka bahwa takut aniaya juga harus dengan membatasi diri dan membatsi jumlah istri yang tak terbatas dan tanpa kendali. Sehingga mereka cukup beristri dua, tiga atau empat, dan jika kalian takut tidak adil ketika beristri lebih dari satu, maka cukuplah satu istri. Membatasi jumlah istri menjadi dua, tiga, empat atau satu itulah yang wajib atas orang yang takut berbuat aniaya dan itulah maksud asli dari susunan ayat.
Dari uraian ini muncul makna konsekuensi tentang kebolehan menikah. Kebolehan menikah adalah maksud konsekuensi, bukan maksud asli, sedangkan maksud aslinya adalah membatasi jumlah istri sampai empat atau satu. Seandainya orang meringkas petunjuk makna dari susunan ayat itu niscaya akan berkata, “ jika kalian takut tidak mampu berbuat adil dalam memelihara anak yatim, maka cukuplah dengan jumlah istri yang tidak lebih dari empat. Dan jika kalian takut tidak adil terhadap beberapa istri, maka cukuplah satu istri.” [7]
2.Isyarat Nash (dilalat al-isyarah)
Yang dimaksud pemahaman dari isyarat nash adalah makna yang tidak secara tidak langsung dipahami dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan katnya, melainkan makna lazim (biasa) yang sejalan dengan makna yang langsung dari kata-katanya. Itulah makna kata dengan jalan ketetapan. Karena ia merupakan makna ketetapan dan bukan makna yang dimaksud dari sususnan kata, makna petunjuk nashnya dengan isyarat, bukan dengan ungkapan. Bentuk ketetapan itu kadang-kadang nyata dan kadang-kadang samar. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa sesuatu yang diisyaratkan oleh nash kadang-kadang memerlukan penelitian yang mendalam dan pemikiran yang sungguh-sungguh, kadang-kadang hanya dengan pemikiran yang sekedarnya. Jadi petunjuk isyarat adalah petunjuk nash tentang makna lazim bagi sesuatu yang dipahami dari ungkapan nash yang bukan dimaksud dari susunan katanya yang memerlukan pemikiran mendalam atau sekedarnya tergantung bentuk ketetapan itu nyata atau samar. [8]
Seperti firman Allah yang berbunyi :       
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya : sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (QS. Asy-syura : 38)
Secara eksplisit (ibarat) ayat tersebut menjelaskan bahwa pemerintahan yang islami adalah didasarkan atas musyawarah di antara umat islam. Sebagai konsekuensi logisnya, umat islam harus menunjuk (memilih) sekelompok kaum muslimin yang selalu mengawasi dan menyertai pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan dan undang-undang.[9]
Seperti firman Allah Swt.:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ 
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian  kepada para ibu dengan cara makruf.(QS. Al-baqarah: 233)
Dari nash ini dapat dipahami bahwa nafkah yang berupa makanan dan pakaian para ibu adalah kewajiban para bapak. Karena makanan inilah yang dapat dipahami secara secara langsung dari nash dan yang dimaksud dengan kata-katanya. Dari isyarat nash dapat dipahami bahwa para bapak bersama dengan yang lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak itu adalah miliknya bukan milik orang lain. Jika ayah suku Quraisy sedangkan ibu bukan suku Quraisy, maka anak itu ikut kepada ayahnya yaitu suku Quraisy karena ia adalah anaknya, bukan anka orang lain. Seorang ayah ketika membutuhkan sesuatu milik anaknya berhak mengambil barang itu tanpa pengganti sekedar menutupi kebutuhanya. Karena anaknya dalah miliknya dan harta anaknya adalah miliknya. Hukum-hukum ini dipahami dari isyarat nash. Karena pada kata-kata nsh terdapat penghubungan antara anak dengan ayahnya yang menggunakan huruf laam (li) yang bermakna khusus:
وعل المولود له
Yang dilahirkan untuknya, (sama dengan bapaknya). Kekhususan inilah yang diungkapkan dalam hadist nabi Saw.:
انت ومالك لأبيك
Engkau dan harta (milik)mu adalah untuk bapakmu.
 Dari khususan ini maka muncul hukum-hukum tersebut, yaitu hukum sejalan dengan makna yang dipaham dari ungkapan nash dan bukan maksud dari susunan katanya. Jadi pemahaman itu dari isyarat nash, bukan dari ungkapan nash.
Dari beberapa contoh di atas dapat diketahui bahwa pengertian implisit (isyaratu nash) adalah pengertian logis dan rasional yang diambil dari apa yang ditunjukan  oleh suatu ungkapan (ibarat) suatu teks. Tentu setiap orang akan berbeda-beda dalam menggali pengertian-pengertian yang implisit tersebut sesuai dengan perbedaan pemikiran dan pemahamanya. Hanya orang yang berpengalaman dalam memahami teks-teks hukum syara’ dan perundang-undangan, tentunya yang mempunyai kemampuan dalam menggali pengertian – pengertian implisit yang logis tersebut. Pengertian suatu teks (nash) secara eksplisit mungkin dapat difahami oleh setiap orang baik ia ahli dalam bidang fiqh maupun tidak, akan tetapi pengertian secara implisit pada umunya hanya diketahui oleh para ahli dalam hukum syariat dan perundang- undangan, sekaligus ahli dalam bidang bahasa. Oleh karena itu tidak ada yang mampu untuk menggali hukum-hukum syara’ dan perundang-undangan, kecuali orang yang benar-benar mahir dan menguasai bahasa arab sampai pada akar-akarnya, sehingga ia mengetahui rahasia dan makna yang di maksud bahasa arab tersebut.[10]
3.Petunjuk Nash (Dilalah an-Nash)
Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipaham dan petunjuk nash adalah makna yang dipahami dari jiwa dan rasionalitas nash. Apabila ada nash yang ungkapannya menunjukkan suatu hukumatas kejadiandengan suatu illat tersebut. Kemudian ditemukan kejadian lain yang sama dalam illat hukumnya atau lebih utama illat itu. Sedangkan persamaan atau keutamaan itu langsung dapat dipaham dari bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau kias, maka nash itu secara bahasa berarti mencakup dua kejadian dan hukum yang telah ditetapkan dari yang tercakup ditetapkan pula untuk yang tersirat yang sesuai dalam illatnya; baik sama maupun lebih utama.[11]
Seperti Firman Allah SWT:
 فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.(QS. Al-Isra’ :23)
Ungkapan nash ini menunjukkan larangan kepada anak untuk mengatakan “ah” kepada kedua orang tuanya. Illat dalam larangan ini adalah sesuatu yang terkandung dalam “ucapan”kepada keduanya, berupa menyakiti. Kemudian ada bentuk yang lain yang lebih menyakitkan dari sekedar berkata seperti memukul dan mencaci. Maka dapat segera dipahami bahwa larangan itu mencakup kejadian yang baru ini. Artinya, ia diharamkan oleh nash yang mengharamkan berkata “ah”. Karena secara bahasa langsung dapat dimengerti bahwa larangan berkata “ah” berarti larangan berbuat sesuatu yang lebih dari itu, yaitu apalagi menyakiti kedua orang tua. Dari sini diketahui bahwa arti orang tua. Dari sini diketahui bahwa arti yang sesuai yang tak terucap lebih utama hukumnya dari pada yang terucap.[12]
4.Kehendak Nash (Dilalat al- Iqtida)
Kehendak nash dengan pahaman dari kehendak nash adalah makna logika yang mana kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan mengira-ngirakan makna itu. Sedangkan bentuk nash tidak ada kata yang menunjukkan makna tersebut, tetapi kebenaran arti menghendaki makna itu atau membenarkan dan menyesuaikannya dengan kenyataan.[13]
Seperti sabdah Nabi Saw:
 رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عنه.
Dihapus dari umatku (dosa) keliru, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.
Ungkapan hadist ini, dapat dijelaskan bahwa entitass kealahan dan kelupaan tidaklah dapat diangkat / dilepaskan dari umat Islam, terbukti kedua hal itu tetap dialami oleh mereka; dan ini tidak logis secara syar’I atau aqli.  Oleh karena itu pasti ada makna tersemunyi yang dapat diasumsikan, yakni dosa; sehingga makna yang dimaksud adalah setiap perbuatan salah, lupa, dan terpaksa dibebaskan/dilepaskan pelakunya dari beban dosa. Inilah makna / pemahaman yang logis secara syar’I  atau aqli dari nash tersebut.[14]
Contoh lain seperti dalam Al-Qur’an, seperti:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan
أُمَّهَاتُكُمْ  Diharamkan atas kamu , ibu-ibumu.”  Ini menunjukan (Lafazh)b yang dikira-kirakan akan dibuang. Kata-kata itu berbunyi:
أُمَّهَاتُكُمْ ْزَوَاجُ Mengawini ibu-ibumu. Karena menyandaran keharaman kepada pribadi ibu adalah tidak tepat. Maka enyadaran  yang tepat adalah menghendak kata yang dikira-kirakan ini (zawaaj.)[15]
C. Tingkatan Dilalah Dari Segi Kuat Dan Lemahnya
Semua dilalah di atas, kecuali dilalah an-nash adalah termasuk dalam kategori dilalah manthuq, karena dilalah-dilalah tersebut didasarkan pada pengertian lafazh, baik pengertian eksplisit (ibarat) maupun implisit (isyarat) atau didasarkan pada kebutuhan lafazh tersebut kepada dilalah. Dilalah manthuq adalah kebalikan dilalah mafhum.
Sebelum beralih pada pembahasan dilalah mafhum perlu dijelaskan bahwa tingkatan dilalah-dilalah tersebut dalam istinbath hukum tidaklah sama. Dilalah ibarat (eksplisit) yang paling kuat, dan dilalah iqtidha’ yang paling rendah.
Ditinjau dari segi kuat dan lemahnya, menurut madzhab Hanafi, tingkatan dilalah adalah berikut :
1.Dilalah al-‘ibarah
2.Dilalah al-isyarah
3.Dilalah an-Nash
4.Dilalah al-iqtidha’[16]
Pngabilan makna ungkapan lbih kuat dari pada isyarat. Karna ungkapan mnunjukan makna yang langsung dipaham maksudnya dari susunan kata, sdangkan isyarat mnunjukan makna lazim yang tidak dimaksud olh susunan katanya. Kdua cara itu lbih kuat dari pada pngambilan makana scara dalalah (ptunjuk). Karna kduanya trucapkan dalam nash dan yang ditunjuk nash ada pada bntuk dan kata-katanya, ttapi cara dalalah adaah pmahaman nash yang ditunjukkan olh jiwa dan rasionalitas nash. Karna kkuatan inilah maka ktika trjadi prtntangan makna nash, maka yang dimnangkan adalah pmahaman dari ungkapan dari pada pmahaman scara isyarat. Dan salah satunya  dimnangkan dari pada pmahaman dari ptunjuk nash.
Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi (ta’arudl) antara satu dilalah dengan dilalah yang lain, seperti:
a.       Pertentangan makna antara  ibarah dan isyarat nash.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;  (QS. Al-Baqarah :  178)
Dengan  firman Allah SWT:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam  kekal ia di dalamnya…  (QS. An-Nisa’ : 93)

Ayat pertama , ungkapanya menunjukan kewajiban qisas bagi pembunuh. Sedasedangkan ayat kedua , menurut isyaratnya menunjukan bahwa pembunuh yang sengaja tidak harus menerima qisas,  karena ayat tersebut menganggap cukup bahwa balasanya adallah neraka jahanam. Bila ringkasan ini dijadikan penjelasan, maka pembunuh itu tidak wajib menerima hukuman lain. Tetapi makan dari ungkapan harus dimenangkan daru pada isyarat maka ia wajib diqisas.
b.      Pertentangan antara makna secara isyarah dan an- nash

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman  (QS.an nisaa’:92)

Menurut petunjuknya, dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa orang yang embunuh seran mukmin yang sengaja wajib memerdekakan seorang dudak adalah sarana dari menebus dari dosa pembunuhan. Orang yang sengaja lebih utama dari pada orang yang tidak sengaja dalam penebusan dosa.
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya… (QS. An nisaa’ : 93)
Menurut isyaratnya dari ayat ini dapat diambil pengertian: pembunuhan tidak wajib memerdekaan budak karena ayat itu member I isyarat bahwa tidak ada penebusan bagi dosanya di dunia, tidak yang lain.
Dengan demikian Ketika menjadi pertentangan antara isyat dan petunjuk maka yang dimenangkan adalah isyarat. Jadi pemmbunuh yang sengaja tidak wajib memerdekakan budak.[17]


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu. Dalam memahaminya dibutuhkan empat metode yaitu, dilalat al-ibarah, dilalat al-isyarah, dilalat al-nass, dan dilalat al-iqtida. Sementara,  jika dilihat dari segi kuat dan lemahnya maka tingkatan dilalah adalah sebagai berikut :
1.      Dilalah al-‘ibarah
2.      Dilalah al-isyarah
3.      Dilalah an-Nash
4.      Dilalah al-iqtidha.

B.     Saran
Jika ada kesalahan dalam masa dalam penyusunan makalah ini baik penulisan, isi, judul, diatas kami mohonmaaf kepada pera pembaca makalah ini. Dan tidak lupa pula ucapan trima kasih kepada semua pihak yang membantu kami menyelesaikan makalah ini semoga jerih payah kami selama penyusunan makalah ini tidaklah sia-sia.



DAFTAR PUSTAKA


Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh,  Jakarta:  Amzah, 2011

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amanai, 2003.

Zahra, Muhammad Abu, Ushul fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.

Syafi’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.



[1] Rachmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 153.
[3] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh,  (Jakarta:  Amzah, 2011), 177.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amanai, 2003), 203.
[5] Muhammad Abu Zahra, Ushul fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013),  203.
[6] Abdul Wahab Khallaf,.. 203.
[7] Ibid, 205.
[8] Ibid,206.
[9] Muhammad Abu Zahra, 207
[10] Muhammad Abu Zahra,..opcit.
[11] Abdul wahhab Khalaf,..209.
[12] Asmawi,..182.
[13] Abdul Wahab Khalaf,..212.
[14] Asmawi.,,187.
[15] Abdul Wahab, opcit, 215.
[16] Muhamad Abu Zahra,..214.
[17] Abdul Wahab Khallaf,..216-218.

1 komentar:

  1. untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
    thanks berat udah pada berkunjung kesini :)

    BalasHapus