JUDUL : TA’ARULD
WA TARJIH
PENULIS : AHMAD ADABY A.R
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu ushul fiqh merupakan
salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin
menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istimbat hukum dalam islam.
Itulah ebabnya tidak mengherankan jika dalm pembahasan kriteria seorang mujtahid,
penguasaan akan ilmu inidimasukan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau
dapat dikatakan untuk enjaga agar proses ijtihad dan istimbad tetap berada
dalam korido yang semestinya atau tidak menyalahi peraturan-peraturan dalam
islam.
Meskipun demikian ada satu
faktor yang tidak dapat dipungkiri bahwa pebguasaan ilmu ushul fiqh tidaklah
mudah serta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istimbad para mujtahid.
Disamping faktor eksternal ushul fiqh itu sendiri seperi penentuan dalam
keshahihanya. Sedangkan internal ushul fiqh sendiri pada bagian masalahnya
mengalami perdebatan dikalangan para ushuluyyin. Dan kemudian muncullah
ilmu-ilmu seperti tentang ta’arudh dan tarjih yang akan dipaparkan dimakalah
ini.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian ta’aruld
wa tarjih?
2. Bagaimana contoh dari ta’aruid
wa tarjih?
3. Bagaimana prosedur dari ta’ruld
wa tarjih?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’aruld wa
tarjih
Kata ta’aruld secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal.
Sedangakan menurut istilah, seperti yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu
dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki
oleh dalil yang lain.[1]
Adapun menurut para ulama’
memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’aruld,
diantaranya:
1. Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’aruld, adalah suatu dalil yang
menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain
menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu.
2. Menurut Kamal Ibnu Al-Humam
dab At-Taftazani, ta’aruld adalah
pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara
keduanya.
3. Ali Hasaballah berpendapat
bahwa ta’aruld adalah terjadinya
pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam
dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.[2]
Pada dasarnya, seperti yang
ditegaskan oleh Wahbah Zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan
Rasulnya. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’aruld
antara dua atau bebebrapa dalil,
hanyalah dalam pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangkan pikir
ini, maka ta’aruld mungkin terjadi
baik pada dalil-dalil yang qath’i, maupun
dalil yang zhanni. [3]
Begitu pun Imam Asy-Syatibi
berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang
bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qathi’ (di anggap kebenaranya) maupun pada dalil yang zhanni (kebenaran di anggap relatif),
selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi
pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat
kualitasnya. Misalnya Al-Qur’an dengan Hadist Ahad, maka yang diambil adalah
Al-Qur’an.[4]
Tarjih secara bahasa
(etimologi) berarti “menguatkan”, atau membuat sesuatu cenderung atau
mengalahkan. Sedangkan secara istilah (terminologi), ada beberapa definisi dari
ulama ushul fiqh yaitu
1. Menurut Ulama Hanafiyah, “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah
satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri
sendiri.” Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sedeajat
dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat dalil tambahan yang
menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukung.
2. Menurut Jumhur Ulama, “menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari
yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.” Maksudnya
jumhur ulama mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qathi. Juga tidak termasuk antar yang qath’i dengan yang zhanni.[5]
3. Menurut al-Baidawi, ahli
Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, adalah menguatkan salah satu dari dua
dalil yang zhanni untuk diamalkan.[6]
Para ulama’ sepakat bahwa
dalil yang rajih (dikuatkan) harus
diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh
(dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Diantara alasanya, para sahabat dalam
banyak kasus telah melakukan pen-tarjih-an
dan tarjih tersebut diamalkan,
seperti para sahabat lebih menguatkan hadist yang dikeluarkan oleh Siti Aisyah
tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu alat vital lelaki maupun lata
vital perempuan (H.R. Muslim dan Turmudzi), dari pada hadist yang diterima dari
Abu Hurairoh, “Air berasal dari air”. (H.R.
Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban).[7]
Dari definisi itu diketahui
bahwa dua dalil yang bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah
sama-sama zhanni . berbeda dengan itu
menurut kalangan Hanafiyah, dua dalil yang bertentangan yang akan di tarjih salah satunya itu bisa jadi
sama-sama qathi, atau sama-sama zhanni. Oleh sebab itu, mereka
mendefinisikan tarjih sebagai upaya
mencari keunggulan salah satudari dua dalil yang sma atas yang lain. Dlam
definisi itu tidak dibatasi dengan dua dalil yang Zhanni saja.[8]
Jadi ta’aruld wa Tarjih adalah kontradiksi antara dua nash dan
memenangkan salah satu antara dua dalil.
Jika terdpat dua nash yang
kontradiktif menurut arti lahirnya, maka harus di adakan pembahasan untuk
memadukan keduannya dengan cara-cara memadukan yang shahih. Jika tidak mungkin
maka harus diadakan pembahasan dan ijtihad untuk memenangkan salah satunya
dengan cara memenangkan dalil. Jika keduanya tidak mungkin dipadukan dan tidak
mungkin dipadukan dan tidak mungkin dipadukan salah satu tetapi diketahui waktu
datangnya lebih akhir menasakh yang lebih dulu. Dan jika tidak diketahui waktu
turunya, maka pelaksanaan keduanya mauquf
(dihentikan).[9]
Kontradiksi antara dua dalil syara’ itu tidak terjadi
kecuali kedua dalil itu sama kuatnya. Jika salah
satunya lebih kuat, maka hukum yang diikuti adalah yang dituntutoleh dalil yang
lebih kuat, tidak perlu memperhatikaan lawannya yang dituntut oleh dalil yang
lain. Atas keterangan ini, maka tidak terjadi kontrakdiksi antara nash yang
pasti dan nash yang dugaan dan tidak terjadi pula antara nash, ijma’ dan qiyas.
Kontradiksi itu mungkin terjadi antara dua ayat, dua hadist mutawatir, anara
ayat dengan hadist mutawatir, dua hadist yang tidak mutawatir atau antara dua
qias.
Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tidak ada kontradiksi yang hakiki antara dua ayat, antara dua
hadist shahih atau antara ayat dengan hadist shahih. Jika tampak kontradiksi
antara dua nash diantara nash-nash ini, maka kontrakdiksi itu hanya pada
lahirnya saja, yang tampak menurut pandangan kita, dan bukan kontradiksi yang
hakiki. Karena syari’ yang Maha Esa dan Maha Bijaksana tidak mungkin
mengeluarkan satu dalil yang menuntut suatu hukum dalam suatu kejadian dan juga
mengeluarkan dalil lain yang menuntut suatu hukum dalam kejadian yang sama,
yang sama hukum itu berlawanan dengan hukum pertama dalam waktu yang bersamaan.
Jika terdapat dua nash yang
lahirnya terdapat kontradiksi maka harus berijtihad untuk mengalihkan keduanya
dari makna lahir. Keduanya tidak diartikan secara hakiki adalah demi mensucikan
Dzat Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha bijakasana dari kontradiksi dari
perundangannya . jika mungkin untuk menghilangkan kontradiksi lahir antara
kedua nash dengan jlan memandukanya, maka harus dipadukan dan keduanya harus
diamalkan. Paduan ini adalah sebagai penjelasan, karena hakikatnya tidak ada
kontradiksi antara keduanya.[10]
B. Contoh Ta’aruld wa tarjih
Contoh dari Ta’aruldwatarjihadalah :
1.
Firman Allah Swt
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك جيرا الوصية للولدين والأقربين
بالمعرف حقا على المتقين
Artinya : “Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib
kirabatnya yang makruf. (QS. al-Baqarah:180)
Dan firman Allah Swt
وأولات الأحمال أجلهن
أن يضعن حملهن
Artinya: “Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS.
an-Nisaa’: 11) sampai akhor ayat waris
Ayat pertama mewajibkan kepada muwarist (yang
mewaristkan) jika telah mendekati kematian untuk berwasiat tentang hartanya
kepada kedua orang tua dan kerabatnya yang makruf. Sedangkan ayat kedua
mewajibkan hak bagian warist bagi masing-masing orang tua, anak dan kerabat
dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewaristkan. Kedu ayat ini
lahirnya bertentangan dan mungkin memadukan diantara keduanya yang dimaksud
pada ayat dalam surat al-Baqarah adalah orang tua dan kerabat yang terhalang
mendapat bagian waris, misalnya karena berbeda agama.
2.
Firman Allah Swt
والذ يتوفون منكم
ويدرورن ازواجا يتر بصن با نفسهن اربعة
اشهر وعشرا
Artinya: “orang-orag yang meninggal diantaramu dengan
tidak meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari ...(QS. al-Baqarah: 234)
Dan
firman Allah Swt.:
. واولات اللأ حمال أ جلهن أنيضعن حلهن
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah samapi mereka melahirkan kandungannya. (Qs. at
Thalaq: 4)
Mungkin memadukan kedua ayat
ini dengan pengertian bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya beriddah
dengan waktu yang paling lama, jika melahirkan kandunganya sebelum masa empat
bulan sepuluh hari sejak waktu kematian suaminya, maka menunggu sampai empat
bulan sepuluh hari, jika telah lewat empat bulan sepuluh haridan belum
melahirkan kandunganya.[11]
3.
Hadist
Hadist
pertama:
Dari Ibn Abbas bahwa ia pernah berkata: “Rasulallah Saw telah menikah dengan Maimunah, sedang Nabi Saw dalam
keadaan ihram haji”. (HR. Muslim)
Hadist
kedua:
Dari Yazid Ibn Al-Asham, ia berkata: “Maimunah binti Al-Harist telah menceritakan
kepadaku bahwa Rasulallah Saw nikah dengan dia, sedang beliau dalam halal
(tidak dalam ibadah haji)”. (HR. Muslim)
Dari dua riwayar tersebut kelihatannya
bertentangan, pada riwayat hadist pertama, Nabi menikah dalam keadaan ihram
haji, sedangkan pada hadist kedua, beliau menikah sedang tidak menjalani ibadah
haji.[12]
C. Prosedur Ta’aruld wa tarjih
Menurut kalangan Syafi’iyah. Seperti yang dijelaskan Wahbah Zuhaili, jika
terjadi ta’arud antara dua dalil, langkah-langkah yang harus ditempuh
adalah:
a.
Denganmengkompromikanantaraduadalilituselamaadapeluanguntukitu,
karenamengamalkankeduadalilitulebihbaikdarihanyamengfungsikansatudalilsaja.
Contohnya, dalamayat 234 surat Al-Baqarah Allah berfirman:
والذ يتوفون منكم ويدرورن ازواجا يتر بصن با نفسهن
اربعة اشهر وعشرا
Orang-orang
yang meninggalduniadiantaramudenganmeninggalkanistri-istri
(hendaklahparaistriitu) menangguhkandirinya (beri’ddah) empatbulansepuluhhari
..(QS Al-Baqarah : 234)
واولات اللأ حمال أ جلهن أنيضعن حلهن
Dan
perempuan-perempuan yang hamil,
waktuiddahmerekaituialahsampaimerekamelahirkankandungannya.(QS At-Thalaq: 4).
Ayatpertamatersebutbersifatumumyaitusetiapperempuan
yang ditinggalkanmatisuamibaikhamilatautidakhamilwajibber-iddahselamaempatbulansepuluhhari.
Dan ayatkeduatersebutjugabermaknaumum,
yaitusetiapwanitahamilbaikditinggalsuamimatiatauberceraihidupwajibber-iddahsampaimelahirkankandungannya.
Dengandemikianantaraduaayattersebutbilasepintaslaluterdapatpertentanganmengenai
‘iddahwanitahamil yang ditinggalmatisuami.Namunpertentanganitu,
sepertidikemukakanoleh Abdul-KarimZaidan, ahliUshulFiqhberkembangsaanIrak,
dapatdikompromikansehinggakeduaayattersebutdapatdifungsikan.Duaayattersebutbiladikompromikan,
makakesimpulan yang dapat di ambiladalahbahwa ‘iddahperempuanhamil yang
kematiansuamiadalahmasaterpanjangdarikeduabentuk ‘iddah,
yaitusampaimelahirkanatauempatbulansepuluhhari. Artinya,
jiakperempuanitumelahirkansebelumsampaiempatbulansepuluhharisejaksuaminyameninggal,
maka ‘iddahnyamenungguempatbulansepuluhhari,
danjikasampaiempatbulansepuluhhariperempuanitubelumjugamelahirkan, maka
;iddahnyasampaiiamelahirkankandungannya.
b. Jikatidakdapatdikompromikan,
makajalankeluarnyaadalahdenganjalantarjih.
c. Selanjutnyajikatidakadapeluanguntuk men-tarjihsalahsatudarikeduanya,
makalangkahselanjutnyaadalahdenganmenelitimanadiantaraduadalilitu yang
lebihduludatangnya. Jikasudahdiketahui, makadalil yang
terdahuludianggabtelahdinasakh (dibatalkan) olehdalil yang kemudian, dan
d. Jikatidakmungkinmengetahuimana yang terdahulu,
makajalankeluarnyadengantidakmemakaiduadalilitudandalamkeadaandemikian,
seorangmujtahidhendaklahmerujukkepadadalil yang lebihrendahbobotnya.
Alin bin Saif al-Din al-Mahdiahliushulfiqhdarikalangansyafiiyahmenjelaskansecararincimetodetarjih.
Metodetarjih yang berhubungandenganpertentanganantaraduanashataulebihantara
lain secara global adalah:
a. Tarjihdarisegisanad.
Tarjihdarisegiinimungkindilakukanantaralaindenganmenelitirawi yang
menurutjamhurulamaushulfiqh, hadis yang diriwayatkanolehperawi yang
lebihbanyakjumlahnya, didahulukanatashadist yang lebihsedikit.
b. Tarjihdarisegimatan yang
mungkindilakukandenganbeberapabentukantaralain; bahwabilamanaterjadipertentanganantaraduadaliltentanghukumsuatumasalah,
makadalil yang melarangdidahulukanatasdalil yang membolehkan.
c. Tarjihdarisegiadanyafaktorluar yang
mendukungsalahsatudariduadalil yang bertentangan. Dalil yang didukungolehdalil
yang laintermasukdalil yang merupakanhasilijtihad, didahulukanatasdalil yang
tidakterdapatdukungna[13].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ta’aruld secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal.
Sedangakan menurut istilah, seperti yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu
dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki
oleh dalil yang lain. Sedangkan, Tarjih secara bahasa
(etimologi) berarti “menguatkan”, atau membuat sesuatu cenderung atau
mengalahkan.
Jadi ta’aruld wa Tarjih adalah kontradiksi antara dua nash dan
memenangkan salah satu antara dua dalil. Kontradiksi antara dua dalil syara’
itu tidak terjadi kecuali kedua dalil itu sama kuatnya. Jika salah
satunya lebih kuat, maka hukum yang diikuti adalah yang dituntutoleh dalil yang
lebih kuat, tidak perlu memperhatikaan lawannya yang dituntut oleh dalil yang
lain. Atas keterangan ini, maka tidak terjadi kontrakdiksi antara nash yang
pasti dan nash yang dugaan dan tidak terjadi pula antara nash, ijma’ dan qiyas
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.
Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Prof.
DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010.
Prof. Dr.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih
Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Drs. Moh Riva’i, Ushul Fiqih, Bandung:
PT Alma’arif, 1993.
[1]
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 238
[2]Prof. DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 225
[3]Prof.
Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 239
[4]Prof.
DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010), 226
[5]Ibid,,,242-244
[6]Prof.
Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 241
[7]Prof.
DR. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh,,,243
[8]Prof.
Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul
Fiqh,,, 242
[9]Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 336
[10]Prof.
Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 337-338
[11]Ibid,,,
338-340
[12]Drs.
Moh Riva’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT
Alma’arif, 1993),131
[13]Prof.
Dr. H. Satria Effendi, M.Zein., M.A. Ushul
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 240-242.
untuk judul lain bisa di klik di ARSIP BLOG ya Adik-adik :D hehehe
BalasHapusthanks berat udah pada berkunjung kesini :)